Tapi, mengapa di kawasan Pantura yang memiliki kemiripan topografi dengan Jakarta, banjir belum banyak atau belum biasa terjadi?
Jawabannya sederhana saja. Di kawasan Pantura masih banyak ruang-ruang terbuka sebagai media penyerap air yang efektif. Bangunan-bangunan di jalur Pantura belum sebanyak Jakarta. Kepadatan penduduknya masih relatif rendah. Air masih mampu diserap dengan baik oleh tanah yang belum banyak diperkeras. Tanaman-tanaman masih memiliki ruang untuk tumbuh dan berkembang. Sungai-sungai masih cukup lancar dalam mengalirkan air. Penyerapan dan laju air di kawasan Pantura masih cukup baik.
Masalahnya, sampai kapan kawasan Pantura bakalan bertahan dari serangan air yang semakin lama semakin banyak?
Sesungguhnya, beberapa titik di kawasan Pantura telah terbiasa mengalami banjir. Kawasan Semarang adalah salah satu contohnya. Kawasan Semarang yang rendah dan berdirinya aneka bangunan di atas tanah-tanahnya seringkali tak kuasa menghadapi air yang datang bertubi-tubi. Bukankah apa yang terjadi di Semarang itu memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi di Jakarta? Semarang dan Jakarta sama-sama rendah. Semarang dan Jakarta sama-sama dipenuhi bangunan. Jakarta biasa mendapat kiriman dari kawasan Bogor. Semarang biasa mendapat kiriman air dari Ambarawa. Semarang dan Jakarta sama-sama seringkali terendam banjir.
Fenomena  ini lah yang saat ini saya pikirkan. Fenomena ini yang melandasi argumen saya bahwa jika tak ada upaya untuk memperbaiki tata kota dan tata ruang sejak hari ini, banjirnya seluruh kawasan Pantura, tinggal menunggu waktu saja. Kelak jika kawasan-kawasan sepanjang jalur Pantura semakin dipenuhi dengan bangunan, tanah-tanah diperkeras, saluran air dipenuhi sampah, serta tidak didukung dengan tata kota dan tata ruang yang benar, bukankah kawasan yang menjadi nadinya pulau Jawa itu akan sering terlanda banjir sebagaimana Jakarta? Dan bukankah gejala dari hal itu baru saja dimulai dengan terendamnya beberapa titik di kawasan tersebut seminggu belakangan ini?
Maka, sudah waktunya kawasan-kawasan Pantura mulai belajar dari apa yang terjadi di Jakarta. Bagaimana caranya? Sungguh panjang jika harus diuraikan dalam artikel ini. Yang pasti, dibutuhkan figur pemimpin di daerah yang memiliki pandangan jauh ke depan guna mengantisipasi hal ini di kemudian hari. Kita membutuhkan figur pemimpin yang peduli akan tata kota dan tata ruang di wilayahnya. Di sisi lain, pemerintah pusat juga harus mampu mengoordinir pembangunan satu daerah dengan daerah lain. Jangan sampai kawasan konservasi di daerah hulu sungai mengalami kerusakan sebagaimana yang terjadi di Bogor. Jangan sampai pembangunan di suatu daerah mengundang eksternalitas negatif bagi daerah itu sendiri maupun daerah lain. Jangan sampai pembangunan di kawasan yang lebih tinggi mendatangkan masalah bagi kawasan yang lebih rendah.
Masalahnya, hingga hari ini saya amat jarang mendapati figur pemimpin visioner seperti itu…
*****
Baca Juga:
- Mencintai Jakarta, Belajar dari BencanaMencintai Jakarta, Belajar dari Bencana
- Merawat Bakau, Menjaga Hutan Bambu, Melawan Pemanasan GlobalMerawat Bakau, Menjaga Hutan Bambu, Melawan Pemanasan Global
- Hutanku Dibabat, Mata Airku LenyapHutanku Dibabat, Mata Airku Lenyap
- Belajar tentang Harga Diri dari Pengasong KoranBelajar tentang Harga Diri dari Pengasong Koran
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI