Penangkapan sejumlah warga negara asing asal Eropa Timur, yang diduga kuat menjadi otak kejahatan perbankan di Indonesia, oleh aparat kepolisian belum lama ini, seperti membuka mata sejumlah kalangan, terutama instansi hukum negeri ini. Indonesia sudah masuk  ke area operasi para perampok bermodalkan teknologi canggih internasional.
Kecanggihan para penjahat internasional tersebut dilakukan dengan mengambil data nasabah tanpa disadari si nasabah, yang dikenal dengan istilah skimming dan phising.Â
Untuk skimming, metodenya dengan menggunakan sebuah alat scan yang dapat membaca kartu debit, saat nasabah bertransaksi di ATM. Sementara phising dilakukan dengan menanamkan virus malware ke sejumlah situs market online, bahkan virus tersebut bisa komputer nasabah, sehingga, tanpa disadari, dia sedang bertransaksi di situs si perampok.
Laporan Polda Metro Jaya menyatakan bahwa, Â melalui kedua modus tersebut, sindikat WNA itu telah berhasil membobol 64 bank, 13 di Indonesia, sisanya lagi bank di sejumlah negara.
Industri perbankan nasional sebenarnya tidak tinggal diam. Â Sama seperti negara lainnya, perbankan nasional juga telah meningkatkan sistem teknologi untuk melindungi data dan uang nasabah. Namun, kecanggihan teknologi tersebut hanya bersifat mengantisipasi dan tidak membuat pelaku jera. Mengingat bank bukanlah lembaga hukum, yang dapat menindak para pelaku tersebut.
Kondisi tersebut tentu membutuhkan kerjasama dengan instansi hukum terkait seperti Kepolisian dan Kejaksaan Agung, agar secara cepat dapat menangkap para pelaku kriminal perbankan tersebut. Sebab, semakin canggih sebuah sistem pengamanan, logikanya, akan makin canggih pula teknologi yang dipakai para perampok untuk membobolnya. Penangkapan sejumlah WNA pelaku skimming beberapa waktu lalu, adalah buah dari koordinasi yang cepat dan taktis antara perbankan dan kepolisian.
Kerjasama yang sistematis dan ciamik tersebut diharapkan juga dapat terus berlangsung, mengingat kejahatan perbankan tidak akan pernah hilang. Termasuk kejahatan konvesional seperti pengajuan kredit bernilai jumbo, dengan jaminan berupa aset bodong alias fiktif, maupun laporan keuangan yang di make up, dengan menggelembungkan nilai aset calon debitur. Tujuannya, agar nasabah bermental kriminal tersebut, mendapat kredit besar, jauh melebihi agunannya. Sebuah modus kuno yang tidak akan pernah pudar, meski teknologi pembobolan bank semakin canggih.
Proaktif Bersinergi
Perbankan dituntut proaktif dalam bersinergi dengan kepolisian dalam menangani kasus tersebut. Terlebih, di saat sekarang ini, menjelang pilkada dan pilpres, yang sudah menjadi rahasia umum, para kontestan membutuhkan modal besar dalam bersaing di pemilu. Perbankan adalah sektor yang paling rentan, menjadi sumber pendanaan hajatan besar tersebut. Hal ini yang berpotensi menjadi kredit macet dan mendorong peningkatan NPL perbankan.
Kerjasama dengan aparat penegak hukum dapat menjadi salah satu cara bagi para bankir untuk mengatasi maraknya tindak pidana kejahatan perbankan. Khususnya di sektor perbankan, Bank Mandiri bisa dikatakan sebagai pionir dalam menjalin kerjasama dengan aparat penegak hukum khususnya Kejagung RI. Kerjasama yang telah disepakati sejak 2017 lalu itu, Bank Mandiri dan Kejagung menyepakati lima nota kesepahaman untuk menghadapi risiko bisnis dari kejahatan perbankan dan debitur nakal.
Kerjasama tersebut meliputi antara lain; koordinasi penegakan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, yang tindak pidananya berasal dari tindak pidana korupsi, Koordinasi penegakan hukum tindak pidana perbankan dan tindak pidana umum lainnya, penanganan masalah hukum bidang perdata dan tata usaha negara, Optimalisasi kegiatan pemulihan aset dan tak ketinggalan tentang pengembangan sumber daya manusia.
Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, kerja sama tersebut untuk memperkuat pengelolaan keuangan Bank Mandiri. Dia mengatakan pihaknya memerlukan nasehat hukum maupun dukungan kejaksaan untuk memperbaiki kualitas kredit perseroan dan melakukan pemulihan aset. Terutama untuk kejahatan perbankan terkait fraud daln lainnya.
Tak hanya itu, Bank Mandiri sebagai salah satu perusahaan milik negara atau BUMN, juga bertindak proaktif dengan secara rutin malaporkan kemungkinan-kemungkinan risiko kredit macet hasil temuan audit internal kepada auditor negara yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jadi jika belakangan BPK mengeluarkan hasil auditnya dan menyatakan akan ada sejumlah piutang yang tak dapat ditagih, sesungguhnya itu bersumber dari laporan hasil audit internal Bank Mandiri yang diserahkan kepada BPK.
Sehingga, saat BPK melaporkan hal tersebut ke DPR, sejatinya Bank Mandiri telah melakukan berbagai upaya dalam menyehatkan kembali, serta mengoptimalkan pengembalian kreditnya dari para debitur nakal. Berbagai upaya restrukturisasi kredit berpotensi macet yang dilakukan, diantaranya seperti mencari investor baru yang dapat meningkatkan kinerja usaha para debitur, melaporkan debitur nakal ke Kejagung, serta melakukan pencadangan atas kredit tersebut.
Langkah-langkah proaktif semacam ini patut diapresiasi. Apalagi bagi badan usaha milik negara yang semua bisnisnya ditujukan untuk kemakmuran bangsa dan negara. Langkah-langkah semacam ini juga dipercaya dapat memperkuat komitmen perusahaan-perusahaan BUMN untuk lebih terbuka dengan menerapkan azas Good Corporate Governance.
Sinergi antara pelaku bisnis dengan aparat penegak hukum inipun dapat meminimalisir risiko-risiko yang kemungkinan timbul dan mempengaruhi bisnis dikemudian hari. Ambil contoh, Bank Mandiri yang di 2017 berhasil meminimalisir risiko bisnis dengan menggandeng aparat penegak hukum sekaligus lembaga audit negara, berdampak pada meningkatnya kinerja perusahaan di 2017.
Laba bersih bank berkode BMRI ini mencapai Rp 20,6 triliun pada akhir 2017 atau tumbuh 49,5 persen dibanding tahun sebelumnya. Pencapaian ini didorong oleh upaya Bank Mandiri dalam memperbaiki kualitas aset produktif dan meningkatkan fungsi intermediasinya.
Perseroan juga berhasil meningkatkan kualitas kredit. Tercermin dari penurunan rasio Non Performing Loan (NPL) dari 4,00 persen pada 2016 menjadi 3,46 persen di 2017. Sehingga memangkas alokasi pencadangan perseroan menjadi Rp 16 triliun dari Rp 24,6 triliun pada 2016.
Seiring dengan perkembangan bank yang diikuti oleh semakin kompleksnya risiko usaha perbankan, membutuhan tata kelola yang baik. Sinergi dan kerjasama dengan penegak hukum yang dilakukan secara profesional sesuai dengan kapasitas masing-masing, seperti yang dilakukan Bank Mandiri, hendaknya menjadi prototype bagi perusahaan lain baik swasta maupun negara. Karena, hal itu terbukti memberikan benefit dan efek positif terhadap kinerja bisnis perusahaan. Sudah bukan jamannya lagi, bank menutupi potensi kredit macet, yang muncul akibat tindak kriminal perbankan, dengan dalih menjaga reputasinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H