Di satu sisi pemerintah menginginkan efesiensi dan beban negara tidak terlalu besar untuk mencukupi membayar bunga hutang. Tapi di sisi lain Jokowi butuh dipandang baik dan mendapat nilai positif. Untuk kenaikan tarif dasar listrik misalnya. Lewat Menteri ESDM Ignasius Jonan, pemerintah sudah final memutuskan tak ada kenaikan tarif listrik sampai Maret 2018.
Tentu saja, ini kabar baik dan menggembirakan. Tarif listrik tidak naik. Rakyat tenang. Pemerintah, khususnya Presiden Jokowi memperoleh persepsi positif di mata publik. Â
Di sisi lain, Perusahaan Listrik Negara (PLN Persero) sedang berjibaku menekan biaya produksi listrik yang tinggi. Terlebih ditengah naiknya harga Batubara di pasar dunia seperti saat ini. PLN sangat tergantung pada pasokan batubara. Buat PLN, batubara adalah nadi mereka. Begitu harga Batubara naik, biaya untuk produksi listrik juga ikut melonjak. Tahun 2016 kemarin, biaya pokok produksi(BPP) PLN naik Rp16,18 triliun akibat melonjaknya harga batubara. PLN harus mengencangkan ikat pinggang.
Walau sekitar tahun 2013-2014 PLN pernah merasakan manisnya berkah harga batubara murah dan menetapkan biaya pokok produksi (BPP) tinggi.
Dari catatan Badan Geologi Kemen ESDM saat ini cadangan batu bara Indonesia mencapai 26,2 miliar ton. Dengan produksi batu bara tahun 2017 lalu sebesar 461 juta ton  maka cadangan batu bara di Indonesia masih 56 tahun (jika tidak ditemukan lokasi cadangan baru). Selain itu, masih ada juga sumber daya batu bara yang tercatat sebesar 124,6 miliar ton.
Dilema DMO
Polemik harga Batubara ini menguat pasca keluarnya Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 Tentang Harga Batubara untuk Penyediaan Tenaga Listrik  Kepentingan Umum. Dalam peraturan tersebut ditentukan harga jual batu bara untuk penyediaan tenaga listrik sebesar US$ 70 per metrik ton dengan spesifikasi acuan pada kalori 6.322 kcal/kg GAR , total moisture 8%, total sulphur0,8% dan ash 15%.
Adapun jika spesifikasinya berbeda, maka menggunakan formula yang sudah ditentukan yang merupakan bagian tak terpisah dari kepmen tersebut. Harga acuan US$ 70 per ton, untuk kalori 6.322. Sementara batu bara yang diserap oleh pembangkit listrik umumnya di kisaran 4000-5000 kalori.
Untuk Batubara dengan kalori di atas 5000 hanya bisa diproduksi oleh perusahaan besar, sedangkan penambang kecil hanya mampu memproduksi batubara dengan kalori kisaran 3000-4000 an dengan harga jualnya sekitar US$ 30-40 per ton , dan yang termurah bahkan ada yang US$ 17 per ton.
Disinilah dilemanya karena biaya produksi penambang kecil justru di atas US$ 20 per ton. Ada imbas lain dari keberadaan Kepmen ini yang perlu dicermati, dalam hal ini adalah kelanjutan hidup matinya penambang kecil. Dalam kondisi ini ratusan penambang batu bara skala kecil diperkirakan bakal gulung tikar, menyusul adanya ketentuan harga jual batu bara untuk PLN yang telah dipatok oleh Permen ESDM, yang besaran harga belinya di bawah biaya produksi.
Bagi perusahaan besar, harga beli PLN yang rendah itu masih bisa ditutupi dengan adanya pendapatan dari ekspor. Tapi perusahaan kecil yang hanya mampu produksi batubara dengan kalori rendah terpaksa jual rugi atau tutup operasi jika tidak ingin gulung tikar.
Angka kemampuan produksi batubara dari penambang kecil yang jumlahnya ratusan ini sekitar 5 juta ton, atau kisaran 5 % dari total pasokan untuk PLN. Â Selebihnya dari adalah dari perusahaan besar. Saat batubara dunia mengalami kejatuhan, sekitar dua tahun lalu, para pengusaha memang masih bertahan, karena masih memiliki harapan bahwa satu saat harga akan membaik. Hari ini pasar dunia sedang membaik.
Jika mereka harus Eksport sekalipun para pengusaha kecil ini masih harus terbelit Permendag No. 82 Tahun 2017 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu. Dalam aturan itu pemerintah mewajibkan aktivitas eksport sawit, beras dan Batubara menggunakan angkutan laut perusahaan lokal dan asuransi nasional. Masalah makin pelik karena kebutuhan kapal untuk batubara sekitar 3.800 buah, sementara kapal nasional yang tersedia hanya 72 buah.
Pusing bukan? Semoga pemerintah makin bijak mencari jalan tengah. Makin elok jika bapak Jonan dan pak Jokowi mau blusukan ke Kalimantan bertemu penambang kecil ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H