Mohon tunggu...
Teguh puryanto
Teguh puryanto Mohon Tunggu... -

Jurnalis, penyuka sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Sonya Tandailah Aku Dek"

8 April 2016   18:44 Diperbarui: 8 April 2016   18:55 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sonya ekarina depari dan sahabatnya"][/caption]Gadis cantik berambut panjang bernama Sonya Ekarina Sembiring atau dikenal dengan Sonya Depari , seorang siswi SMA Methodist kota Medan mendadak namanya menjadi trending setelah videonya saat membentak Polwan tersebar secara viral di dunia maya.

Polisi lalu lintas memberhentikan mobil Honda Brio BK 1428 IG yang di kendarai Sonya saat melintas dengan pintu belakang terbuka di Jalan Sudirman, Medan, Rabu (6/4/2016) sore. Merasa keberatan dengan tindakan polisi lalu lintas tersebut, Sonya bereaksi membela teman-temannya,

“Oke Bu, aku enggak main-main ya, kalau sampai fotoku masuk koran, aku tandai Ibu. Aku anak Arman Depari," katanya sambil menunjuk-nunjuk polwan tersebut, Rabu (6/4/2016).

Seperti yang diketahui Arman Depari merupakan seorang perwira tinggi polri yang saat ini menjabat sebagai Deputi Bidang Pemberantasan BNN. Belakangan di ketahui Sonya adalah keponakannya.

Tak perlu menunggu lama, video Sonya-pun tersebar. Mediapun kompak berpesta mendapat bahan berita. Netizen, tak ketinggalan meradang dan menghujat Sonya yang menurut mereka arogan. 


 Seperti sebuah orchestra, serentak media online, cetak, dan Televisi membuat ulasan berita mengenai gadis belia yang memang sudah di kenal dalam dunia modeling di kota Medan ini.

Malu, sedih, menyesal tentu itu yang di alami Sonya. Bahkan iapun mengurung diri di kamar. Keluargapun di buat repot, Arman Depari sang paman membuat pernyataan maaf secara terbuka di hadapan pers atas kelakuan keponakan yang kerap memanggilnya Pa uda ini.

“Nah, saya melihat ini memang ada sesuatu yang salah. Kemudian saya juga melihat bahwa ini mungkin karena dia mau jadi pahlawan di antara teman-temannya mungkin begitu ya. Kalaupun saya harus marah apakah saya harus gampari? Atau dengan anak-anak seperti ini apakah harus saya laporin polisi untuk dipenjara?,” jelas Arman.

“Saya meminta maaf terutama kepada Polri bahwa apa yang telah dilakukan keluarga saya ini memang sungguh tidak terpuji,” tambahnya.

Patut di puji Jenderal satu ini. Memilih untuk mengakui bahwa Sonya masih keluarganya, dan meminta maaf pada publik atas nama diri dan keluarga.

Namun sayangnya, Ayah Sonya, Makmur Sembiring Depari (58) tak setegar adiknya. Ia jatuh sakit hingga akhirnya meninggal di RS Mitra Sejati Medan karena tak kuat menahan tekanan batin dari hujatan publik yang terus berdatangan lewat lini masa media sosial.

Media sosial kadang memang mampu menjadi arus perlawanan luar biasa untuk ketimpangan. Namun terkadang ia juga mampu menjelma mesin pembunuh yang mendorong orang untuk terserang jantung hingga meninggal. Dan Makmur Sembiring Depari, adalah salah satu korbannya.

Siapa yang salah dalam peristiwa ini? Sonya, Media ataukah polisi yang memberhentikan konvoi mobil Honda Brio Sonya dan kawannya?

Tak ada yang salah dari mereka. Tetapi kita, iya kita sosok terhormat yang mungkin juga ikut memb-bully Sonya. Kenapa musti kita? Apa yang salah?

Sonya adalah gadis remaja produk modernitas yang di besarkan oleh gadget dan gempita panggung hiburan televisi. Ia adalah anak hasil mutasi genetik yang di tularkan sinetron kita. Gaya hidup, cara berbicara, pola hubungan sosial yang di pertontonkan dalam sinetron tersebut bermutasi dalam selaput otaknya menjadi karakter pribadnyai. Meledak dalam ritme persis dalam karakter sinetron anak jalanan.

Sonya, adalah remaja modern kita. Dan kitalah yang membumikan budaya hedonis, angkuh, arogan, pamer, hilang respect pada orang tua. Jiwa mereka adalah jiwa yang hampa, kitalah yang mengisinya dengan gemerlap ilusi lewat sinetron.

Sonya adalah wajah dosa kita. Ia adalah korban dari kejahatan koorporasi media yang mendominasi ruang informasi dengan sampah hedonitas. Ia adalah korban dari kelemahan negara yang tunduk pada pemilik modal. Hedonitas sinetron mengibiri habis keluhuran budi masa lalu kita.

Kita melihat acara Televisi begitu menyedihkan. Merusak. Bak virus memangsa pikiran sehat kita. Epidemi. Sesungguhnya, dari sanalah Sonya belajar melihat, mendengar dan merekam. Mencontohnya dan menjadikannya sebagai sesuatu yang tidak salah.

Sonya adalah wajah birokrasi kita yang begitu Oligopoli dan hierarkis. Birokrasi kita yang melupakan semangat pelayanan dan menganggap jabatan, posisi , kedudukan dan beking sebagai sesuatu yang sakral dan harus di dewakan. Wajah Demokrasi kita yang begitu rabun menjadikan uang dan ‘beking’ sebagai alat ampuh untuk selamat dari masalah.

Ketika Sonya, berteriak sambil menunjuk-nunjuk bahwa ia punya ‘beking’ pada sang polwan, kitalah yang harus malu, karena produk pendidikan kita telah gagal membentuk karakter luhur. Kita pula yang harus tertunduk merenungi seperti apa wajah keadilan hukum kita saat ini. Dimana jamak dan umum bahwa memiliki ‘beking’ dan kekuasan maka hukumpun bisa kita taklukan.

Dan untukmu dek Sonya, tak perlu aku berkhutbah tentang moral dan agama. Tunjuklah mukaku, tandailah aku dek, akulah yang berdosa telah ikut gagal mendidikmu. Akulah pendosa itu yang membiarkanmu di besarkan oleh sinetron.

Tandai, tandai, tandailah aku Sonya…akulah yang berdosa dek....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun