Media sosial kadang memang mampu menjadi arus perlawanan luar biasa untuk ketimpangan. Namun terkadang ia juga mampu menjelma mesin pembunuh yang mendorong orang untuk terserang jantung hingga meninggal. Dan Makmur Sembiring Depari, adalah salah satu korbannya.
Siapa yang salah dalam peristiwa ini? Sonya, Media ataukah polisi yang memberhentikan konvoi mobil Honda Brio Sonya dan kawannya?
Tak ada yang salah dari mereka. Tetapi kita, iya kita sosok terhormat yang mungkin juga ikut memb-bully Sonya. Kenapa musti kita? Apa yang salah?
Sonya adalah gadis remaja produk modernitas yang di besarkan oleh gadget dan gempita panggung hiburan televisi. Ia adalah anak hasil mutasi genetik yang di tularkan sinetron kita. Gaya hidup, cara berbicara, pola hubungan sosial yang di pertontonkan dalam sinetron tersebut bermutasi dalam selaput otaknya menjadi karakter pribadnyai. Meledak dalam ritme persis dalam karakter sinetron anak jalanan.
Sonya, adalah remaja modern kita. Dan kitalah yang membumikan budaya hedonis, angkuh, arogan, pamer, hilang respect pada orang tua. Jiwa mereka adalah jiwa yang hampa, kitalah yang mengisinya dengan gemerlap ilusi lewat sinetron.
Sonya adalah wajah dosa kita. Ia adalah korban dari kejahatan koorporasi media yang mendominasi ruang informasi dengan sampah hedonitas. Ia adalah korban dari kelemahan negara yang tunduk pada pemilik modal. Hedonitas sinetron mengibiri habis keluhuran budi masa lalu kita.
Kita melihat acara Televisi begitu menyedihkan. Merusak. Bak virus memangsa pikiran sehat kita. Epidemi. Sesungguhnya, dari sanalah Sonya belajar melihat, mendengar dan merekam. Mencontohnya dan menjadikannya sebagai sesuatu yang tidak salah.
Sonya adalah wajah birokrasi kita yang begitu Oligopoli dan hierarkis. Birokrasi kita yang melupakan semangat pelayanan dan menganggap jabatan, posisi , kedudukan dan beking sebagai sesuatu yang sakral dan harus di dewakan. Wajah Demokrasi kita yang begitu rabun menjadikan uang dan ‘beking’ sebagai alat ampuh untuk selamat dari masalah.
Ketika Sonya, berteriak sambil menunjuk-nunjuk bahwa ia punya ‘beking’ pada sang polwan, kitalah yang harus malu, karena produk pendidikan kita telah gagal membentuk karakter luhur. Kita pula yang harus tertunduk merenungi seperti apa wajah keadilan hukum kita saat ini. Dimana jamak dan umum bahwa memiliki ‘beking’ dan kekuasan maka hukumpun bisa kita taklukan.
Dan untukmu dek Sonya, tak perlu aku berkhutbah tentang moral dan agama. Tunjuklah mukaku, tandailah aku dek, akulah yang berdosa telah ikut gagal mendidikmu. Akulah pendosa itu yang membiarkanmu di besarkan oleh sinetron.
Tandai, tandai, tandailah aku Sonya…akulah yang berdosa dek....