Kegiatan Industri rokok dan tembakau di Indonesia terus mendapat tekanan dari rezim internasional melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). FCTC merupakan perjanjian internasional yang dimaksudkan untuk membatasi produksi, distribusi, dan penjualan tembakau di dunia dengan dalih kesehatan.
FCTC berisi dukungan bagi kegiatan kampanye anti-rokok secara internasional dan nasional yang dibiayai industri kesehatan dan farmasi. Salah satu target penting dari kampanye anti-rokok internasional adalah bagaimana melakukan penjualan produk pengganti nikotin (yang disebut dengan Nicotine Replacement Theraphy atau NRT) secara massal.
Belakangan ini kegiatan tersebut didukung oleh Bank Dunia (World Bank) dan telah masuk ke dalam satu program pencapaian pembangunan Millennium Development Goals (MDGs).
Pada tahun 2011, pemerintah dan DPR merancang Undang Undang (RUU) tentang pembatasan rokok untuk kesehatan. Jika membaca seluruh draft rancangannya maka dapat disimpulkan bahwa RUU ini mengadopsi sepenuhnya pasal-pasal dalam FCTC.
Di tingkat nasional, pemerintah mengadopsi FCTC dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.011/2009 tentang kenaikan cukai rokok. Peraturan ini mengakibatkan bangkrutnya sejumlah perusahaan rokok. Jumlah pabrik rokok di Malang Raya terus menurun dari 114 pabrik pada tahun 2009, menjadi hanya tersisa sekitar 30 pabrik rokok kecil saat ini.
Di tingkat daerah, rezim kesehatan internasional itu membiayai lahirnya berbagai peraturan daerah (Perda) yang substansi aturannya mereplikasi pasal-pasal dalam FCTC. Puluhan daerah di Indonesia telah secara resmi mengeluarkan perda anti-rokok tanpa harus mengacu pada aturan hukum nasional yang tingkatannya lebih tinggi.
Kebijakan menaikkan cukai merupakan salah satu klausul penting dalam FCTC. Kenaikan cukai merupakan rekomendasi dari lembaga keuangan global IMF dan Bank Dunia sebagai bentuk dukungannya pada FCTC.
FCTC melibatkan berbagai organisasi sosial (NGO atau LSM), organisasi kesehatan, organisasi kedokteran, dan bahkan organisasi keagamaan. Seluruh organisasi tersebut dibiayai langsung oleh rezim kesehatan internasional yang menyalurkan dananya lewat Yayasan Bloomberg.
Kebijakan “rezim kesehatan internasional” dan pemerintah Indonesia mengancam posisi industri tembakau dalam negeri. Meluasnya kampanye anti-rokok dan kenaikan harga cukai rokok yang berlangsung di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir justru meningkatkan agresivitas perusahaan-perusahaan multinasional dalam mengambil alih pasar nasional baik perusahaan kecil dan menengah maupun dari perusahaan besar nasional.
"Perusahaan rokok besar Sampoerna telah diambil alih oleh Philip Morris Internasional pada tahun 2005. Sebelumnya British American Tobacco telah mengambil alih saham pabrik rokok Bentoel pada tahun 2009"
Regulasi dan kampanye anti-rokok sangat menguntungkan perusahaan multinasional. Jika pemerintah tetap menyerah pada asing, bagaimana nasib berjuta manusia yang bergantung pada industri tertua di negeri ini.