Tidak seperti biasa, pada pagi  itu,  Balai Desa kampungku  ramai dijejali  orang. Mereka  datang dari berbagai dusun. Seperti tak mau ketinggalan berita, mereka banyak yang terpaksa meninggalkan pekerjaan hanya demi datang ke Balai Desa tersebut.
Sudah menjadi kebijakan para tetua adat. Di kampung itu, jika ada masalah hukum, tidak langsung diajukan ke meja hijau. Tapi dilakukan musyawarah. Dirembug bersama-sama. Sekiranya bisa diselesaikan secara kekeluargaan, maka itu yang  ditempuh.
Semangat yang selalu dipegang oleh para tetua adat, bahwa seluruh kampung itu bersaudara. Dulu saat kampung itu masih berupa hutan belukar, maka orang yang pertama membuka hutan tersebut sehingga menjadi kampung, tak lain  dua keluarga yang mempunyai hubungan saudara.
 Kemudian anak keturunan mereka saling menikah sehingga beranak-pinak dan terbentuk menjadi sebuah kampung. Ketika antar keluarga timbul persoalan, maka mereka yang dituakanlah yang menyelesaikan masalah itu.
Dan mereka harus melihat persoalan  dengan obyektif dan bijaksana. Sebab semua adalah anak-anaknya yang semua harus dibela. Mempunyai hak dan kewajiban sama di mata hukum.  Â
Mereka mempunyai pertimbangan yang sangat masuk akal. Hukum menurut para tetua adat di kampung itu adalah untuk melindungi masyarakat. Â Agar setiap anggota masyarakat merasa mendapat keadilan. Pernah pada suatu hari ada salah seorang warga kedapatan mencuri pohon pisang.
 Oleh pemilik pohon pisang itu tidak lantas dilaporkan ke polisi. Tapi ke tetua adat. Para tetua adat lalu berembug menyelidiki kenapa sampai ada orang mencuri buah pisang dari pohonnya.  Dari hasil investigasi  ternyata orang tersebut mencuri karena terpaksa.  Di rumahnya tidak ada beras. Murni untuk makan.Â
Tetua adat memutuskan para warga diminta untuk patungan. Uang yang terkumpul itu sebagian diberikan kepada pemilik pisang sebagai ganti kerugian. Sebagian lagi diberikan kepada pelaku agar tidak mencuri lagi. Tapi sebagai pelajaran, pelaku diganjar kerja bakti selama tiga bulan. Â Kerja bakti mebersihkan fasilitas umum. Seperti jalan, dan rumah ibadah.Â
Nah dengan adanya hukuman seperti ini, pelaku merasa jera dan malu. Masyarakat begitu peduli atas nasib warga lain. Warga pun juga merasa tersindir, sampai tidak tahu kalau ada tetangga yang tak bisa makan sehingga sampai  mengambil milik orang lain.
Dengan cara seperti ini, relatif ampuh. Pelaku benar-benar tidak mau mengulangi lagi. Akan berbeda jika dibawa ke ranah hukum. Inti dari hukum adalah selain untuk mencari keadilan juga ada pendidikan moral di sana.
Bayangkan saja, andai kasus pidana pencurian buah pisang dari pohonnya dibawa ke meja hijau, tentu persoalan akan menjadi rumit dan menjadi besar.  Negara harus mengeluarkan uang  untuk biaya sidang. Setelah selesai putusan, negara juga harus menanggung biaya hidup beberapa tahun selama pelaku dipenjara.
Kasus pencurian yang semula nilai kerugiannya hanya sekitar 300 ribu, bisa membengkak menjadi puluhan juta. Sudah itu, pelaku belum tentu jera. Begitu di dalam, dia bisa terpengaruh oleh mereka yang memang berprofesi sebagai pencuri.Â
Itu sebabanya, jika kerugian yang ditimbulkan masih bisa diatasi warga setempat, sedapat mungkin tidak dilimpakan ke pengadilan. Para tetua adat juga mengancam, jika perbuatan tidak baik itu tidak dihentikan, akan langsung dilaporkan ke pihak berwajib yang tentu saja akan mempunyai hukuman  lebih berat.   Â
Untuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak muda dan karena alasan terpaksa, sedapat mungkin tetua adat akan menyelesaikan secara kekeluargaan. Akan tetapi, pada kesempatan itu, para tetua adat juga memperkenalkan pasal-pasal pidana jika pelaku dibawa ke meja hijau.Â
Menurut warga kampung itu, jika persoalan hukum diselesaikan secara adat, pihak yang dirugikan bisa mendapat ganti rugi. Bagi yang berbuat salah pun merasa  lega karena telah menebus kesalahannya. Berbeda dengan penyelesaian dibawa langsung ke meja hijau.
Menurut mereka, belum memenuhi rasa keadilan. Pengadilan tidak pernah melihat bahwa seseorang melakukan ini dan itu ada motif yang bisa ditolerir. Tapi untuk kasus-kasus yang berat, para tetua adat sepakat akan membawa ke meja hijau. Terutama mereka yang melakukan berulang-ulang. Atau untuk kasus-kasus hukum yang  pelik.Â
Seperti yang terjadi pada pagi itu. Bisa dibilang pelik. Persoalannya walau sudah mempunyai dua alat bukti, para tetua adat belum berani memutuskan pihak pelaku bersalah. Dan pelaku pun tidak mengakui perbuatannya. Jadi ada salah seorang keluarga mengaku kehilangan peralatan dapur berupa penggorengan, panci, dandang, dan ceret air yang semua terbuat dari tembaga.
Pemilik peralatan dapur menuduh tetangganya yang telah mengambil barang-barang itu. Biasanya kalau pelaku segera mengaku kesalahannya, masalah akan segera tuntas. Persoalannya, pelaku tetap kekeuh mengaku semua barang-barang itu miliknya. Dia tidak melakukan pencurian seperti yang telah dituduhkan. Dan pelaku  juga mempunyai alasan  kuat yang mendukung pembelaannya. Para tetua adat benar-benar dibuat bingung.   Â
Lalu para tetua adat meminta korban pencurian untuk diajukan di depan majelis hakim menceritakan kronologisnya.
"Wahai korban, apakah  barang-barang yang berada di depan ini, memang benar milik Anda?" tanya ketua Mejelis Hakim yang tak lain salah seorang tetua adat yang sangat dihormati. Â
"Benar yang mulia, semua barang -- barang itu milik saya. Saya hapal  semua barang -- barang saya. Sebab semua saya tandai  di bagian gagangnya dengan cat warna merah dan ada nama saya di situ," jawab korban dengan tegas dan meyakinkan.
"Baiklah, jika memang ini semua barang -- barang Anda, kenapa sekarang berada di rumah terdakwa?" tanya  Ketua Majelis Hakim.
"Saya tidak tahu yang Mulia. Karena saya  merasa belum pernah menjual kepada terdakwa, maka besar kemungkinan terdakwa telah mengambil barang -- barang tersebut," papar korban.
"Saudara korban, jadi Anda tidak melihat sendiri bahwa terdakwa telah mengambil barang-barang itu?" tanya Majelis Hakim menyelidik.
"Tidak yang mulia. Dugaan saya, kalaupun terdakwa tidak mengambil langsung barang itu dari saya setidaknya telah membeli dari orang yang telah mengambil dari saya. Dia bisa kena pasal penadah yang mulia ," jawab korban.
Setelah menggali informasi dari korban, Majelis Hakim lalu mempersilahkan korban untuk kembali duduk. Ketua majelis kemudian memanggil terdakwa untuk duduk di kursi pesakitan untuk memberikan keterangan.
Tampak terdakwa duduk di kursi pesakitan. Dia terlihat tertunduk. Setelah menyebut nama dan alamatnya, pihak majelis hakim lalu menanyakan kronologis kepemilikan barang-barang itu.
"Wahai saudara terdakwa, apakah Anda sehat untuk mengikuti sidang ini?" tanya hakim.
"Saya sehat yang mulia. Sehat jasmani maupun ruhani," kata terdakwa.
"Bisa diceritakan dari mana barang-barang yang ada di depan ini?" tanya hakim. Â
"Saya tidak tahu yang mulia. Barang-barang itu sudah ada sejak lama. Sejak orangtua saya masih hidup, semua peralatan itu sudah ada di tempatnya. Karena masih baru dan tidak pernah digunakan," jawab terdakwa.
"Apakah Anda pernah menggunakan barang-barang itu?' tanya hakim. Â
"Tidak yang mulia. Bagaimana saya mau menggunakan barang -- barang itu? Yang Mulia lihat sendiri, saya tidak mempunyai kedua telapak tangan. Untuk aktivitas sehari-hari  yang sederhana saja kesulitan," kata terdakwa.
"Iya tapi, tetangga Anda menuduh, Anda telah mencuri barang-barang itu dari dia.   Barang -- barang itu milik dia terbukti tertera namanya  di setiap barangnya," tuduh hakim.
"Yang Mulia lhat sendiri. Bagaimana cara saya mengambil barang -- barang itu? Sedang kondisi saya seperti ini?" jawab terdakwa. Â
"Baiklah kalau begitu, saudara benar ya tidak mengambil barang -- barang itu?" tanya hakim.
"Benar yang Mulia," jawab terdakwa.
Suasana sidang di Balai Desa yang semula gaduh mendadak sepi. Banyak yang berpikir. Benar juga bagaimana terdakwa melakukan aksinya? Sedangkan dia tidak mempunyai tangan. Orang yang mengaku sebagai pemilik barang -- barang itu juga bingung. Dia mengaku dirinya benar. Tapi tidak bisa membuktikan kebenarannya. Â Apalagi dia tidak memergoki langsung saat pelaku beraksi. Setelah diam untuk beberapa saat, para tetua adat berembuk untuk memutuskan hasil sidangnya.
"Baiklah saudara-sadara semua mohon tenang. Sekarang saatnya pembacaan putusan," kata ketua Majelis Hakim yang tak lain tetua adat. Â Â
Semua yang hadir pun tenang. Menyimak dengan seksama kata-kata yang diucapkan majelis hakim.
"Berdasarkan hasil rapat, kami memutuskan bahwa, korban tidak bisa membuktikan tuduhannya. Apalagi, terdakwa mempunyai bukti kuat dirinya tidak mencuri. Yaitu tidak mempunyai tangan. Dengan demikian, silahkan korban melakukan banding, jika mempunyai bukti-bukti kuat yang lain. Kepada terdakwa, silahkan  bawa barang-barang itu," papar hakim.
Begitu hakim mempersilahkan untuk membawa barang-barang itu dengan cekatan terdakwa bisa mengangkut semua barang-barang itu kendati tidak mempunyai tangan. Â Hakim tercengang melihat pemandangan itu. Begitu juga semua hadirin yang menyaksikan. Segera hakim memerintahkan kepada Hansip untuk menahan terdakwa.
"Tangkap terdakwa. Bawa ke kantor Polisi, barusan telah menunjukkan  kepada kita cara terdakwa membawa barang-barang itu dari pemiliknya," perintah hakim.
Para Hansip yang bertugas mengamankan jalannya sidang dengan sigap menahan pelaku dan kemudian digelandang ke kantor polisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H