Sabar bukan terhadap segala sesuatu yang tidak enak saja. Menghadapi kenikmatan juga butuh kesabaran. Sabar dalam kenikmatan. Perlunya agar tidak lupa daratan. Jika direnungkan maka akan sampai pada ketauhidan. Segala sesuatu ada yang menggerakkan. Kelak ada pertanggungjawabannya.
Soemijat juga percaya. Setiap manusia yang bertindak  pasti mempunyai alasan. Baik alasan  ekonomi maupun sosial. Bisa saja  dua orang melakukan tindakan yang sama tapi  dengan alasan untuk melakukan tindakan itu berbeda. Triger untuk melakukan itu bisa bermacam-macam. Karena takut, gembira, tertekan, cinta, serakah dan lain-lain.
Malam Pertama
Malam pertama dilewati dengan suka cita. Wiyuripah yang memang sejak awal mempunyai kepedulian dan ketertarikan terhadap anak kecil, bisa langsung  nge-blend. Soemijat memang seorang seniman. Tapi dalam keseharian sangat logis dan berpikir praktis.  Keputusan-keputusan hidup lahir bukan karena perasaan. Tapi logika.Â
Begitu akad dilakukan, berarti mulai saat itu juga, Â Wiyuripah bertanggung jawab terhadap pendidikan Citeng. Wiyuripah seorang yang lembut dan berani. Berani berkata benar.
Berani menyuarakan ketidakadilan. Karakter itu kelak diwariskan kepada Citeng. Memang tidak melalui jalur DNA. Tapi melalui perilaku dan tutur kata.  Itu sebabnya, Citeng tumbuh menjadi anak yang berani dan cerdik. Bukan hanya itu, Citeng juga tak mau ada orang yang lebih pintar dan lebih cerdik dari dirinya. Jiwa kepemimpinannya tinggi. Citeng juga yang kelak mewarisi keberanian Soemijat. Selalu berpikir positif. Kata orang,  anak, itu sebagai perekat  hubungan cinta. Dalam sebuah rumahtangga, kehadiran anak makin menguatkan hubungan. Dan kebahagiaan pun tiba pada 18 Juni 1942. Pada tanggal itu, seorang bayi laki-laki buah cinta antara Soemijat dan Wiyuripah lahir. Bayi berkulit putih bermata sedikit sipit itu diberi nama Sumiyatno Ibnu Radyo.
Soemijat bahagia. Tapi Soemijat tak mau melampiaskan kebahagiaan itu secara berlebihan. Soemijat bahagia tapi dengan cara wajar. Soemijat selalu ingat pesan tokoh ponakawan Semar. Semar jika melewati jalan menanjak, dia kan tertawa. Sebab setelah jalan menanjak akan ada jalan datar atau menurun. Sebaliknya jika melewati jalan menurun akan  terdiam. Tidak mau bahagia. Sebab setelah itu akan ada jalan menanjak.  Â
 Prinsipnya segala sesuatu ada akhirnya. Segala sesuatu ada batasnya. Yang istimewa dari anak Wiyuripah adalah, dia menggunakan nama seperti nama ayahnya. Sumiyatno, diambil dari nama 'Soemijat' ditambah 'no'. Citeng juga menyambut gembira. Dia tidak sendiri lagi. Tapi sudah punya teman. Wiyuripah mengenalkan pada Citeng, bahwa Debleng, panggilan Sumiyatno Ibnu Radyo setelah tumbuh anak-anak, adalah adik yang harus dijaga. Nanti kelak setelah besar Debleng yang akan menjaga Citeng.
Suasana bahagia pengantin baru Soemijat -- Wiyuripah sedikit terganggu karena masuknya penjajah Jepang. Tentu bukan hanya pengantin baru Soemijat -- Wiyuripah. Semua masyarakat Indonesia terutama yang di Jawa merasa terusik.
Masuknya Jepang artinya, pindahnya pemerintahan dari Belanda ke Jepang. Bagi pegawai negeri seperti Soemijat, harus menyesuaikan lagi bahasa Jepang. Harus mengerti bahasa Jepang dan harus paham huruf Kanji. Â Soemijat yang biasa hidup dengan standar dan gaya Eropa harus berganti menjadi gaya hidup Jepang. Pagi-pagi sebelum masuk ke ruang kelas untuk mengajar, seluruh guru dan murid harus melakukan senam pagi. Â
Awalnya berat. Tapi lama-lama karena dijalani setiap hari menjadi ringan. Tepatnya menjadi terbiasa. Tapi yang pasti Soemijat sudah mempunyai istri. Untuk urusan rumah tangga sudah ada yang bertanggung jawab.