Begitu mengetuk pintu dan dipersilakan masuk, Soemijat melihat ada ekspresi kaget di wajah peletak kembang itu. Soal diplomasi, Soemijat paling jago. Yang dipikirkan bagaimana mengetahui maksud lelaki itu, tanpa lelaki itu kehilangan muka di depan Soemijat.
Ringkas cerita, Soemijat sudah berbicara dengan lelaki itu. Rupanya lelaki itu masih keluarga dekat Wiyuripah. Â Wiyuripah bisa dibilang masih tergolong darah biru. Leluhurnya jika ditelusuri ke atas masih keturunan Bahurekso, Bupati Batang yang pertama. Â Â
 Dari penuturan, lelaki itu, Wiyuripah menaruh simpatik kepada Soemijat. Wiyuripah merasa terharu dan iba melihat Soemijat yang harus repot mengurus anak yang masih kecil. Sementara anak seumur itu butuh perhatian ibu. Harus ada yang mengajari tata krama, unggah-ungguh dan bicara yang baik. Kalau mengandalkan ayah, tentu waktunya terbatas.
Soemijat terkejut. Seperti ada yang menyadarkan. Kesedihan harus dihentikan. Saatnya melangkah lagi. Harus memikirkan Citeng anaknya agar mendapat perhatian dari ibu.Â
 Sesungguhnya tidak serta merta seperti itu. Ada pertimbangan lain. Bukan semata-mata pertimbangan anaknya yang masih kecil, bukan pula pertimbangan harus berumah tangga lagi. Tapi harmoni. Niat baik harus dibalas dengan tindakan yang juga baik.Â
 Wiyuripah telah berani melangkah jauh. Mengambil tindakan yang kurang populer pada saat itu. Sebagai lelaki yang sangat menghormati harkat wanita,  tentu tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Tanpa harus berpikir lama-lama, di rumah lelaki itu juga, Soemijat mengatakan bahwa dirinya siap mempersunting Wiyuripah. Â Soal teknis pelaksananaan dan lain -- lain bisa dibicarakan kemudian. Yang penting secara prinsip, Soemijat mengaku terima kasih telah diperhatikan. Dan siap membangun kehidupan baru bersama Wiyuripah.
Sekitar bulan Juni tahun 1941, pernikahan Soemijat Siswoharsono dengan Wiyuripah gadis yang masih berusia belasan tahun digelar. Pesta pernikahan berlangsung meriah. Padahal situasi negara pada saat itu tidak jelas. Belanda sudah tidak terlalu bertaring. Sementara kekuatan Jepang makin merajalela. Siap masuk ke Indonesia. Â Kekuatan raja-raja lokal makin menggila. Â
Bagi Soemijat yang bisa dibilang telah menghabiskan sebagian usianya  dalam situasi yang serba tak ideal,  telah teruji untuk melewati situasi -- situasi sulit. Soemijat percaya, segala sesuatu bisa  dilewati dengan mudah kalau memiliki kerendahan hati.
Mau mengalah, walau sesungguhnya itu berat. Â Soemijat mempunyai prinsip yang terkadang berbeda dengan kebanyakan orang. Sebagai contoh kasus, jika ada orang yang memukul dirinya, dia tidak akan membalas. Â Sebab kalau membalas akan makin banyak yang dilukai. Jika membalas tentu menjadi dua orang yang sakit. Tapi yang penting persoalan selesai. Kekerasan tidak harus dibalas dengan kekerasan. Kekerasan bisa muncul karena tidak sabar untuk mengikuti proses dialog. Tabayun. Membahas duduk persoalan dengan tenang. Paling sulit menahan amarah.
 Itu sebabnya sabar menurut keyakinan Soemijat itu memiliki tingkatan. Sabar sareh, sabar darono dan sabar tawakal. Setiap peristiwa memerlukan investasi sabar yang berbeda-beda. Makin berat persoalan maka makin  butuh kesabaran yang tinggi.