Kalau beruntung bisa satu kelas atau malah satu bangku. Karena dari SMP yang lain pun penasaran dengan Lantip banyak calon siswa walau tak satu rayon tetap kasak - kusuk agar bisa satu sekolah dengan Lantip.Â
Lama - lama Lantip punya banyak pengikut. Ada temannya yang rela menjadi pesuruh Lantip asal dimasukan sebagai teman Lantip.Â
Tujuannya agar bisa mendekati cewek - cewek cantik. Sebab cewek-cewek cantik ini seleranya belum bergeser. Masih memgidolakan Lantip.Â
Lama-lama Lantip bosan. Lantip merasa diri sebagai obyek. Dia bukan lagi subyek. Dia sudah tidak perlu bergerak, semua datang mendekat. Tak ada perjuangan lagi. Di sekolah puluhan temannya siap melayani Lantip. Membantu membelikam makanan di kantin, misalnya. Lantip ingin keadilan. Ingin diperlakukan semestinya. Lantip berharap teman - teman ceweknya menjadi normal. Bahwa kalau mengikuti dirinya belum tentu punya masa depan yang gemilang.Â
Bahwa  mereka yang punya masa depan gemilang adalah yang punya tampang oke, punya otak encer, punya uang dan taat ibadah. Ini formula yang paling ideal.Â
Masa SMA hanya sebentar. Hanya tiga tahun. Janganlah mengorbankan hidup hanya demi masa SMA. Tepatnya demi Lantip. Demi seperti Lantip.Â
Lantip mendorong teman temannya agar mau belajar keras. Mau taat ibadah. Mau mensyukuri wajah ganteng dengan cara merawatnya sebaik-baiknya. Lantip juga meminta pacar-pacarnya. Atau mereka yang berharap dekat dengan Lantip mau mengikuti hati nurani.Â
"Carilah cowok yang ganteng yang taat ibadah dan pintar. Syukur - syukur dia kaya," kata Lantip pada teman - teman ceweknya.Â
Sepertinya kata - kata Lantip tak didengarkan lagi. Bahwa prototipe cowok ideal adalah seperti Lantip.Â
Tiba - tiba saja, sebelum lulus SMA, Â Lantip memituskan keluar dari sekolah. Lantip memilih menikah dengan seorang gadis yang biasa saja.Â
Berbeda dengan pacar - pacar Lantip saat di sekolah. Begitu menikah, karena tak punya ijazah memadai Lantip bekerja sebagai tukang ojek. Kadang buruh tani. Sesekali kelilong kampung menjajakan kue buatan istrinya.Â