Mohon tunggu...
Abdul Rahman
Abdul Rahman Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan penulis

Kenikmatan yang diberikan Allah juga ujian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam 40 Harian

7 September 2019   08:53 Diperbarui: 22 September 2019   02:23 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Jika dihitung, maka malam 40 harian jatuh pada hari Kamis Wage malam Jumat Kliwon," kata Sumar kepada Rasem istrinya. 

Sepasang suami istri Sumar dan Rasem ini baru kehilangan anaknya. Seperti adat kebiasaan desa itu, jika ada yang meninggal maka akan diadakan acara kenduri, hari pertama hingga 7 hari lalu disambung malam 40 harian. Berikutnya 100 harian, mendak (1 tahun Jawa) dan nyewu (1000 hari) atau setara dengan 3 tabun. 

Sumar dan Rasem masih belum merasa legowo. Masih saja terus bertanya. Kenapa dia lehilangan anaknya dengan cara begitu. Mereka tak sempat melihat wajah anaknya untuk yang terakhir kalinya. 

Tiba - tiba saja seorang polisi dan perugas rumah sakit mengirim peti mati beserta tas dan dompet milik anaknya. Pesan dari pihak rumah sakit dan polisi supaya jenazah langsung dikuburkan saja. Percuma wajahnya sudah tidak bisa dikenali. Dan tidak bisa juga dilakukan acara pemandian jenazah. Kecuali disalatkan. 

Semua saran petugas dilaksanakan. Tapi tentu saja, belum menjawab pertanyaan apa yang terjadi dengan anak mereka. Polisi hanya mengatakan telah terjadi kecelakaan sehingga korban mengalami kebakaran yang mengakibatkan kematian. Sebab-sebab kecelakaan masih dalam penyidikan kepolisian. 

Setiap kali melihat tas ransel milik anaknya itu, Sumar dan Rasem selalu teringat niat anaknya yang akan merantau ke kota besar demi mendapatkan pekerjaan. Cita-citanya tinggi. Jika telah diterima kerja akan melanjutkan kuliah agar bisa mendapat gelar sarjana. Tapi semua cita-cita itu harus terkubur. Bersama jasadnya. 

"Udah Bu, kalau mau dipikir sedih ya memang sedih. Tapi kalau mau ditangisi sampai keluar darah pun gak akan kembali. Sabar saja. Fokus pada acara selamatan 40 harian. Kita kirim doa buat bekal anak kita agar jalannya terang," kata Sumar menghibur istrinya. 

"Iya soal fokus - fokus. Tapi bahwa mempertanyakan kenapa hal itu bisa terjadi itu soal lain, " balas Rasem. 

Rasem tidak mau menerima begitu saja cerita yang didengarnya. Butuh saksi lain yang juga mengatakan hal yang sama. Apakah benar kronologisnya seperti itu? Soal bahwa yang menjelaskan adalah pihak yang berwenang sudah tepat. Tapi tak ada salahnya bertanya. Bukan tidak percaya. Tapi agar cerita itu bisa menjadi masuk akal. 

Rasem menyesal juga kenapa ketika menerima jenazah anaknya dulu tidak langsung melakukan investigasi. Sehingga merasa plong. Ini sudah mendekati 40 hari. Kondisi tempat kejadian sudah banyak berubah. Saksi - saksi yang bisa dimintai keterangan sudah tak bisa bicara bebas. Mesti menunggu kesaksian di persidangan. 

Rasem hanya mengingat kata terakhir ketika anaknya pamitan hendak pergi ke kota. ' Ma, doakan lancar.' 

Tentu saja tidak perlu diminta sudah akan didoakan. Apalagi buat anaknya yang sangat mengabdi pada orangtua. Tak pernah, Indra begitu namanya, membantah perkataan orangtua. Apa yang disuruh orangtuanya pasti dikerjakan. Indra sudah mandiri sejak kecil. Sejak SD sudah belajar jualan koran. 

Kalau dari komisi  menjual koran nilainya tak seberapa. Tapi terkadang ada pembeli yang bersimpati kepada Indra yang selalu berpembawaan ceria. Ada saja pembeli yang memborong koran Indra. Sehingga tak tersisa. Kalau menemukan pembeli yang seperti itu hari itu Indra bisa pulang lebih awal. Yang lebih menyenangkan setiap membeli koran seharga Rp 7000 rata- rata tak pernah mau memungut kembaliannya. 

Baik menggunakan pecahan Rp 10.000 maupun Rp. 20.000. Hasil dari jualan koran lumayan bisa untuk membayar sekolah di jenjang SMP. Begitu  SMP berbeda lagi pekerjaan Indra. Indra tak mau lagi menjajakan koran. Indra memberi kesempatan pada yang lain. Indra berpikir butuh tantangan lain. Yang sedikit menggunakan otak. Indra bekerja sebagai pencatat penumpang. Pada sebuah perusahaan bus antar kota antar propinsi.  

Sudah berapa tempat duduk yang terisi. Memang terlalu muda untuk ukuran pekerjaan yang dilakoninya. Tapi Indra anak lapangan yang sudah cukup lama malang melintang di sana.  

Siapa yang tak kenal Indra? Sosok anak - anak yang kondisinya seperti yang digambarkan dalam lagu karya Iwan Fals berjudul 'Sore Tugu Pancoran'. Di lagu itu diceritakan tokoh bernama Budi yang mennjuall koran demi kehidupan dan impiannya. 

Budi tak peduli dengan kondisi kerasnya persaingan di jalan. Karena cerita di lagu itu mirip jalan hidup Indra. Anak - anak di jalanan tak lagi memanggil dengan nama Indra. 

Tapi Budi. Jika ada yang menncari Indra pasti akan ditanyakaan Indra manna?  Akan lebih mudah ditemukan kalau menyebut Indra koran atau Indra Budi. 

Malam 40 harian yang ditunggu -tunggu datang juga. Tepat malam Jumat Kliwon. Namanya di kampung, jika mendengar nama Jumat Kliwon pasti orientasinya ke hal yang mistis. 

Apalagi ini acara untuk selamatan 40 harian yang meninggal dengan cara tak wajar. Menurut kepercayaan sebagian orang, bahwa 40 hari itu arwah yang meninggal masih sering pulang ke rumah. 

Ada juga yang tidak mempercayai hal ini. Mereka beranggapan bagi yang sudah meninggal sudah berpindah alam. Ke alam kubur.

 Mereka yang tidak percaya bahwa arwah orang yang meninggal bisa pulang melihat kondisi rumah ini, tak mau mengirim doa. Sebab doa yang dikirim tidak akan sampai. Malah ada yang menganggap bid'ah. 

Sumar dan Rasem tak mau berdebat dari soal itu. Sumar dan Rasem percaya bahwa yang diajarkan oleh ustad di kampungnya mempunyai dasar hukum. 

Dan sebagai orang yang awam akan ilmu agama, ya hanya taklid saja. Mengikuti ustad yang lebih pintar. Buktinya di kampung itu seorang haji yang meninggal juga dilakukan selamatan acara 40 harian dan 100 harian. 

Tidak seperti biasanya. Pas malam 40 harian, langit terlihat mendung. Rasem dan Sumar khawatir tetangga tak mau hadir di acara selamatan karena  hujan. Benar saja, acara selamatan 40 harian yang dilaksanakan selesai salat Isya itu berbarengan dengan turun hujan. 

Tapi kekhawatiran Sumar dan Rasem tidak terbukti. Para tetangga tetap berbondong - bondong datang untuk mendoakan Indra alias Budi. 

Mereka datang ada yang menggunaka jas hujan. Ada juga yang menggunakan payung. Tapi ada juga yang menggunakan daun pisang untuk menutup kepala dari terpaan air hujan. 

Sebelum acara tahlil dimulai, ustad yang akan memimpin doa lebih dulu memberikan kutbah singkat. Dasar hukum mengirim doa bagi yang sudah meninggal. 

"Dalam sebuah salawatan disebutkan  bahwa setiap malam Jumat ahli kubur pulang ke rumah. Tujuannya untuk minta doa," kata ustad kepada jamaah yang akan melakukan selamatan. 

Belum selesai ustad memberi kuliah, dari arah pintu depan terdengar suara, "Ma, ini Indra pulang Ma," begitu bunyi suara yang terdengar sayup- sayup karena kalah oleh suara air hujan menimpa atap rumah. 

Sontak saja ustad berdiri dan meninggalkan rumah itu sambil berkata, " Nah kan benar dia pulang." 

Ustad lari meninggalkan rumah itu yang kemudian disusul oleh warga yang lain. Tapi kemudian mereka kembali lagi. Ketakutan itu hanya ada dalam pikiran saja. Acara selamatan dilakukan dengan cara sedikit terburu - buru. Tapi yang penting sudah dilakukan. Selesai selamatan sebagian warga mencari sumber bunyi itu. Sebab suara itu nyata. Bukan seperti suara hantu. 

Tapi pencarian mereka sia-sia. Mereka lalu pulang dengan perasaan sedikit mencekam. Desa itu mendadak sepi. Mereka pulang tapi hak berani tidur. Kalau kalau ada suara Indra muncul lagi. 

Tapi malam yang mencekam pun berlalu juga. Diganti pagi yang ceria. Matahari  bersinar tanpa terhalang awan. Hari para warga desa itu sedikit tenang. Cerita malam lalu belum dilupakan. Tapi harus disingkirkan untuk sementara waktu. Hari itu harus fokus pada pekerjaan. Hari jumat waktunya pendek. 

Tiba-tiba saja sebuah sedan polisi datang dan parkir di halaman rumah Sumar. Polisi keluar dari mobil itu dan menemui Sumar. Polisi menjelaska, bahwa dia datang bersama Indra. Indra yang diduga telah meninggal ternyata masih hidup. Rupanya semua tas dan dompet Indra ada yang mengambil saat Indra tertidur di terminal. 

Nah malang bagi pencopet terjadi kecelakaan sehingga dia meninggal terbakar. Jenazah dikenali dari ktp nya. Yang ada di saku celananya. Setelah polisi menjelaskan itu, Indra baru keluar dari dalam mobil itu. Sumar dan Rasem bahagia. Tak berhenti memeluk Indra. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun