Mohon tunggu...
Abdul Rahman
Abdul Rahman Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan penulis

Kenikmatan yang diberikan Allah juga ujian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Kebanggaan

15 Juli 2019   14:48 Diperbarui: 15 Juli 2019   14:57 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rini mengirim telegram untuk ibunya di Tegal. Isinya mengabarkan bahwa ia kini telah lulus, jadi sarjana. Dalam berita tambahan, Rini mewanti -- wanti pada ibunya supaya hadir pada acara wisuda sarjana. Kemudian di kolom pengirim, Rini menuliskan namanya, yang dibubuhi gelar SH (Sarjana Hukum). Ada senyum terkembang di bibir Rini yang memang tipis. Begitu Rini usai mengirim telegram untuk ibunya, ia mengangankan wajah ibunya pertama kali membaca berita yang ia kirimkan itu.     

"Pasti ibu akan senang sekali, dan  menunjukkan sobekan kertas telegram pada Lik Soji, Pak De Karno, Mbah Mu dan Kaki Tholib," bayang Rini.

Rini tidak bisa membayangkan bagaimana ramainya situasi di rumah. Tetangga-tetangganya datang menanyakan bagaimana nilainya, lantas bekerja di mana, apa langsung bisa jadi hakim, jaksa atau pengacara. Kemudian ibunya menjawab pasti menjawab dengan penuh rasa bangga, bahwa anaknya bisa jadi nasibnya akan seperti Soekarton, bisa menduduki posisi penting di negeri ini meraih jabatan Jaksa Agung.

Orang-orang  di desa tidak  tahu, bahwa setelah lulus sekolah berarti harus mencari kerja, dan mencari kerja tidak semudah mencari jarum jahit dalam tumpukan jerami, yang makan waktu, biaya dan tenaga.

Apalagi sebagai sarjana hukum, yang jumlah lulusannya di negeri ini sampai puluhan ribu. Hal itu akan  memperberat persaingan dalam mencari kerja. Hampir tiap perguruan tinggi mempunyai Fakultas Hukum. Rini terus menerawang ke depan. Pikirannya dipenuhi dengan tanya dan tanya; bagaimana langkah selanjutnya setelah lulus.

" Ah, biarlah. Mending aku nikmati kelulusan ini saja dulu. Tidak perlu terlalu terburu-buru memikirkan kerja. Toh, gelar sarjana    saja baru aku raih beberapa jam yang lalu," gumam Rini.     

Pohon-pohon cemara yang tumbuh di sepanjang jalan itu, terus meliuk-liuk mengikuti terpaan angin. Burung-burung gereja yang hinggap di ranting -- ranting lembutnya, sesekali terbang lalu hinggap lagi. Matahari lari kepanasan di balik mega. Kendaraan masih lalu -- lalang memadati jalan yang rimbun oleh pokok cemara, bus, becak, angkot dan andong berbaur jadi satu. Seperti sebuah konser musik jalanan yang didirigeni oleh peluit polisi yang mengatur lalu lintas.

Lima tahun silam , ketika Rini pertama kali diterima di perguruan tinggi itu, Rini ingat betapa tekad ibunya ingin menyekolahkannya agar menjadi sarjana hukum. Keinginan ibu Rini jadi sarjana hukum, melebihi keinginan Rini sendiri. Surutnya  keinginan Rini untuk meraih gelar sarjana hukum, karena ayahnya meninggal. Rini berpikir lebih praktis dan realistis. Rini menyadari ibunya yang berpenghasilan dari menjual gado-gado ditambah pensiunan bapaknya yang mantan kepala sekolah, tentu tidak cukup untuk membiayai kuliahnya di perguruan tinggi swasta.

Rini hendak mengambil kursus -- kursus selepas SMA. Cita-cita itu mesti fleksibel. Tidak bisa dipaksakan. Harus pandai membaca suasana dan cuaca. Ia memang ingin jadi sarjana tepatnya sarjana hukum, agar orang-orang di sekitarnya tidak dibodohi oleh orang-orang pintar yang melek hukum. Agar kasus -- kasus sengketa tanah di sekitar rumahnya dapat diatasi dengan baik. Namun melihat profesi dan pendapatan ibunya yang  jual gado-gado tentu tak menunjang untuk meraih cita-cita.  Apalagi sekarang biaya kuliah makin tinggi.

"Kamu nggak perlu mikir macam-macam. Yang kamu pikirkan harus lulus SMA dengan baik. Terus kamu pilih perguruan tinggi mana yang ingin kamu masuki kalau lepas SMA nanti, " kata ibu Rini meyakinkan anaknya yang gamang akan cita -- citanya.   

"Biaya kuliah itu tinggi Ma," ujar Rini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun