Laporan hasil survei oleh Central Connecticut State Univesity (CCSU) bertajuk World's Most Literate Nations Ranked yang dirilis pada Maret 2016 mencatat, minat baca masyarakat Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara. Dalam survei tiga tahunan Programme for International Student Assessment (PISA) peringkat literasi anak-anak Indonesia (kisaran usia 15 tahun) tidak pernah beranjak dari kelompok 10 terendah. Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia/Indonesian National Assessment Programme (AKSI/INAP) menunjukkan hasil serupa: kompetensi membaca 46.83% siswa sekolah dasar (SD) tergolong kurang.
Serangkaian data tersebut cukup mengecewakan jika dikorelasikan dengan capaian program pemberantasan buta aksara. Tercatat, pada 2014 angka buta aksara di Indonesia tinggal 4,4%. Dapat dipastikan, tidak seorang pun penyandang buta aksara tersebut berstatus sebagai siswa SD yang menjadi sasaran AKSI maupun remaja 15 tahun yang menjadi sasaran PISA. Lalu ada apa di balik ketimpangan antara kedua profil itu?
Analisis Ignas Kleden dalam Buku dalam Indonesia Baru (1999) menarik untuk disimak. Menurut Kleden, masyarakat melek aksara dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori. Pertama, mereka yang secara teknis telah melek aksara, namun masih buta aksara secara fungsional dan budaya. Tingkat literasi kelompok ini baru sebatas bisa membaca, tetapi hampir tidak pernah menggunakannya dalam kegiatan sehari-hari sepanjang hidupnya.
Kedua, mereka yang secara teknis dan fungsional sudah melek aksara, namun masih buta aksara secara kultural. Bagi kelompok ini, kegiatan membaca dipraktikkan sekadar untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaannya, tetapi belum menjadi kebiasaan untuk menambah pengetahuan, hiburan, atau berekspresi melalui tulisan.
Ketiga, mereka yang sudah melek aksara baik secara teknis, fungsional, maupun kultural. Bagi kelompok ini, membaca sudah dirasakan sebagai kebutuhan sehingga menjadi kebiasaan dan kegemaran yang mencandukan. Inilah kelompok masyarakat yang terbilang sudah memiliki budaya baca (reading habit).
Diduga kuat, mayoritas masyarakat Indonesia masih tergolong melek aksara secara teknis dan fungsional. Lebih jauh, kondisi ini bisa mengantarkan pada kesimpulan bahwa pembelajaran membaca di sekolah-sekolah kita belum mampu membangun budaya baca. Boleh jadi, para pelajar kita baru mencapai taraf terpaksa membaca demi menjawab soal-soal ujian atau mengerjakan tugas-tugas sekolah.
Ada indikasi bahwa telah terjadi kekeliruan dalam praktik pembelajaran membaca di sekolah-sekolah kita. Hal ini semakin meneguhkan kritik bahwa pendidikan kita cenderung menitikberatkan ranah kognitif dan mengabaikan ranah afektif. Anak-anak diajari--dengan segala daya upaya--untuk bisa membaca, tetapi tidak dididik untuk cinta membaca. Berbagai pendekatan, strategi, metode, dan teknik didedikasikan untuk membuat anak-anak secepatnya bisa mengeja rangkaian huruf-huruf, namun tidak dibarengi dengan kiat-kiat untuk memupuk kecintaan mereka terhadap kegiatan membaca aneka bacaan.
Anak Usia Dini dan Membaca
Pembelajaran membaca di jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) menjadi polemik berkepanjangan. Kalangan pakar pendidikan dan psikologi--yang diamini oleh Pemerintah--"mengharamkan" pelajaran membaca di PAUD. Sementara, kalangan awam menganggap sebagai keterbelakangan ketika anak masuk SD belum mampu membaca. Dua kutub pandangan ini membuat para guru PAUD mengalami kebimbangan. Jika mengajarkan membaca, mereka merasa bersalah karena melanggar haluan Pemerintah. Sebaliknya, jika tidak mengajarkan membaca, mereka merasa berdosa karena gagal memenuhi harapan orang tua murid.
Sebenarnya, "pengharaman" itu tidak hanya berlaku pada pelajaran membaca dan tidak melulu untuk jenjang PAUD. Pelajaran akademis apa pun akan jatuh di lembah dosa pedagogis jika terjadi "pemerkosaan" dalam proses penyajiannya. Jika diperoleh secara terpaksa, melalui proses yang membuat anak menderita, kemampuan membaca--bersama dengan menulis dan berhitung--akan gagal menjadi fondasi bagi perkembangan kemampuan akademis yang lain.
Kesiapan mental menjadi prasyarat bagi berlangsungnya pembelajaran bermakna dan berdampak. Kesiapan mental ditandai dengan munculnya hasrat untuk memperoleh kompetensi baru atau mengembangkan kompetensi yang sudah dimiliki. Pembelajaran membaca dikatakan bermakna jika anak merasakan membaca sebagai kegiatan yang bermanfaat bagi kehidupannya sehingga ia terdorong untuk terus-menerus mengembangkan dan meningkatkan keterampilan membacanya. Pembelajaran membaca bisa dibilang berdampak jika setelah bisa membaca, seorang anak mempraktikkan keterampilan membacanya untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya--akademis maupun nonakademis.
Keterampilan berjalan yang diperoleh bayi bisa dijadikan analogi. Begitu berhasil bisa berjalan, bayi merasakan manfaat berjalan sebagai teknik gerak berpindah yang lebih efektif dan efisien daripada merangkak. Maka, dari hari ke hari ia terus mengembangkan keterampilan berjalannya hingga mencapai gerak berjalan yang lebih kokoh, cepat, dan gesit. Setelah mahir berjalan, ia tidak berminat untuk kembali menekuni merangkak sebagai teknik gerak berpindah. Ketika hendak menjangkau objek yang menuntut gerak berpindah, ia akan menghampirinya dengan berjalan, bukan merangkak atau mengesot lagi.
Demikian pula membaca. Jika merasakan membaca sebagai kegiatan yang bermakna bagi hidupnya, anak akan rakus membaca dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan keterampilan membacanya. Melalui membaca terus-menerus, pemerolehan kosakatanya akan makin diperkaya, pemahaman gramatikalnya akan makin kuat, kecakapan pragmatiknya akan makin tajam. Semakin banyak dan beragam bacaan yang dibacanya, ia akan semakin menikmati petualangan intelektual, emosional, dan bahkan spiritual. Alhasil, ia semakin keranjingan membaca.
Stimulasi Membaca
Stimulasi. Inilah jurus pembuka yang layak dan perlu dilakukan untuk melibatkan anak dalam pembelajaran yang bermakna dan berdampak. Stimulasi adalah modifikasi lingkungan dalam rangka menumbuhkan minat untuk melakukan tindakan tertentu secara sukarela (self-regulated dan self-directed). Stimulasi membaca harus bisa merangsang tumbuhnya motivasi intrinsik sehingga anak dengan sukarela minta diajari membaca.
Adalah kekeliruan fatal jika stimulasi membaca dimaksudkan agar anak secepatnya bisa membaca, padahal ia belum merasakan kebutuhan akan membaca. Hampir dapat dipastikan, dalam stimulasi berbau "pemerkosaan" seperti itu, konten dan media bacaannya dikendalikan oleh instruktur. Akibatnya, pembelajaran membaca semakin jauh dari minat dan kebutuhan anak. Start belajar membaca menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan, membebani, dan cenderung membosankan. Pengalaman pertama yang penuh penderitaan itu akan terpatri dalam memori sepanjang perkembangan anak, bahwa membaca adalah kegiatan yang menyiksa. Bagaimana mungkin kelak ia akan gandrung membaca?
Malapraktik stimulasi membaca seperti itu akan membentuk konsep di alam bawah sadar anak bahwa tujuan ia belajar--lebih tepatnya, diajari--membaca adalah semata-mata agar ia bisa membaca. Lebih parah lagi jika pelajaran membaca berawal dengan pengenalan huruf sebagai lambang bunyi. Yang dikejar adalah kemahiran melafalkan gugusan huruf yang membentuk kata, rangkaian kata pembentuk kalimat, dan kumpulan kalimat penyusun paragraf.
Dampaknya, anak merasa sudah berhasil menguasai keterampilan membaca ketika sudah mahir melafalkan kata dengan artikulasi yang benar, melisankan kalimat dengan intonasi yang tepat, dan mendaras paragraf dengan tartil. "Ritual" pembelajaran membaca berakhir di situ, ketika anak sudah melek aksara secara teknis. Selepas itu, ia akan "mengamalkan ilmu" membacanya hanya ketika menerima tugas membaca bahan bacaan yang sudah ditentukan. Jadilah ia naik kasta, dari melek aksara secara teknis menjadi melek aksara secara fungsional.
Apakah semua orang yang sudah melek aksara secara fungsional pasti akan berkembang menjadi melek aksara secara kultural? Tidak! Bahkan, melek aksara secara fungsional tidak menjadi prasyarat untuk menjadi melek aksara secara kultural. Keduanya bisa tercapai secara simultan atau, bahkan, melek aksara secara kultural bisa mendahului melek aksara secara fungsional. Lebih fantastis lagi, tidak sedikit anak yang secara kultural sudah melek aksara, padahal mereka belum melek aksara secara teknis. Bagaimana mungkin?
Demikianlah daya magis stimulasi membaca jika dilakukan selaras dengan irama tugas perkembangan anak. Stimulasi membaca mesti bersifat inspiratif-promotif, bukan instruktif-imperatif. Lingkungan tumbuh-kembang anak didesain sedemikian rupa untuk menginspirasi anak-anak bahwa membaca itu bermanfaat bagi berbagai sendi kehidupan sehingga penting untuk dipelajari dan dikuasai. Ketika anak-anak mulai menunjukkan hasrat untuk belajar membaca, tugas pendidik adalah menciptakan iklim belajar yang mampu merawat motivasi intrinsik mereka untuk makin gemar dan rakus membaca.
Desain lingkungan inspiratif dimulai dengan tampilan fisik bahwa setiap ruang adalah perpustakaan. Artinya, segenap penjuru ruang--rumah, sekolah, dan ruang publik--harus kaya akan tulisan-tulisan yang bermakna bagi penghuni dan pengunjung ruang tersebut. Toilet, misalnya, berhiaskan tulisan-tulisan berisi instruksi penggunaan sumber daya dan fasilitas toilet secara bijak. Selanjutnya, setiap tulisan harus berbicara. Ketika mengantarkan anak yang belum bisa membaca ke toilet, pendidik--orang tua, pengasuh, atau guru--mengajarkan prosedur penggunaan toilet dengan membaca lantang instruksi yang tertulis di sana.
Demonstrasi membaca itu bisa diterapkan di berbagai kegiatan sehari-hari. Sebelum meminumkan obat kepada anak, ibu bisa membaca lantang petunjuk yang tertera di brosur atau label kemasannya. Ketika mengajak anak berbelanja di pasar swalayan, ibu membaca lantang label nama-nama bagian toko yang dituju, serta nama atau merek dan label harga barang yang hendak dibeli. Sambil menyetir kendaraan, ayah bisa membaca lantang petunjuk arah yang terpampang di papan sebelum sampai di persimpangan jalan.
Aktivitas membaca itu harus terdeteksi oleh anak sehingga terbangun persepsi bahwa pendidik bisa menjelaskan prosedur bertoilet itu berkat membaca. Harus disembunyikan rapat-rapat bahwa sebenarnya pendidik sudah hafal instruksi-instruksi tersebut. Demi merangsang minat anak untuk belajar membaca, pendidik mesti rela berpura-pura tidak tahu dan menjadi tahu karena membaca.
Ketersediaan buku-buku bacaan di sekolah dan di rumah tentu menjadi daya dukung positif jika dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menstimulasi minat baca anak-anak. Kuncinya masih sama: buku-buku itu harus berbicara. Pendidik sesering mungkin membacakan buku-buku itu kepada anak-anak. Buku cerita bergambar bisa menjadi media yang lebih menantang. Dengan melihat gambar-gambarnya, anak akan menjadi penasaran untuk mengetahui ceritanya.
Jadi, tuduhan malapraktik yang sering dialamatkan kepada PAUD itu adalah bila anak-anak diajari membaca sebelum tumbuh kebutuhan membaca pada mereka. Pelajaran membaca secara prematur yang membebani kognisi anak itu berpotensi menimbulkan dampak negatif jangka panjang. Kelak ketika hadir tuntutan untuk membaca kompleks, mereka justru sudah kehilangan selera membaca akibat penderitaan yang dialami pada masa awal belajar membaca. Sementara, stimulasi membaca dengan mengiming-iming bahwa membaca itu asyik dan perlu justru mesti dilakukan sedini mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H