Aktivitas membaca itu harus terdeteksi oleh anak sehingga terbangun persepsi bahwa pendidik bisa menjelaskan prosedur bertoilet itu berkat membaca. Harus disembunyikan rapat-rapat bahwa sebenarnya pendidik sudah hafal instruksi-instruksi tersebut. Demi merangsang minat anak untuk belajar membaca, pendidik mesti rela berpura-pura tidak tahu dan menjadi tahu karena membaca.
Ketersediaan buku-buku bacaan di sekolah dan di rumah tentu menjadi daya dukung positif jika dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menstimulasi minat baca anak-anak. Kuncinya masih sama: buku-buku itu harus berbicara. Pendidik sesering mungkin membacakan buku-buku itu kepada anak-anak. Buku cerita bergambar bisa menjadi media yang lebih menantang. Dengan melihat gambar-gambarnya, anak akan menjadi penasaran untuk mengetahui ceritanya.
Jadi, tuduhan malapraktik yang sering dialamatkan kepada PAUD itu adalah bila anak-anak diajari membaca sebelum tumbuh kebutuhan membaca pada mereka. Pelajaran membaca secara prematur yang membebani kognisi anak itu berpotensi menimbulkan dampak negatif jangka panjang. Kelak ketika hadir tuntutan untuk membaca kompleks, mereka justru sudah kehilangan selera membaca akibat penderitaan yang dialami pada masa awal belajar membaca. Sementara, stimulasi membaca dengan mengiming-iming bahwa membaca itu asyik dan perlu justru mesti dilakukan sedini mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H