Dalam silaturahmi dengan para kepala dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota pada 1 Desember 2014, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) kala itu, Anies R. Baswedan, menyampaikan paparan berjudul Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia. Sejumlah data indikator kemajuan capaian pendidikan disajikan sebagai berita baik.Â
Namun, data prestisius itu segera diikuti potret muram yang ditampilkan sebagai berita buruk dunia pendidikan kita. Rentetan data dan fakta memilukan itulah, tampaknya, yang mengantarkan Menteri Anies sampai ke kesimpulan bahwa pendidikan Indonesia gawat darurat.
Guru menjadi salah satu unsur yang turut menyumbangkan potret buruk pendidikan di negeri kita. Hasil uji kompetensi guru (UKG) pada 2012 menjadi salah satu indikatornya.Â
Nilai rata-rata UKG 44,5 kiranya cukup menarik untuk dicermati. Tak dapat disangkal bahwa angka itu menunjukkan betapa rendahnya kompetensi guru-guru kita. Ironisnya, "prestasi" memprihatinkan itu dicapai ketika program sertifikasi guru sudah berjalan selama lima tahun.Â
Artinya, sebagian peserta UKG adalah guru-guru yang sudah mengantongi sertifikat guru profesional. Lebih mencengangkan lagi, banyak guru bersertifikat guru profesional yang nilai UKG-nya lebih rendah daripada kolega mereka yang belum bersertifikat.
Tentu, kondisi ini tidak bisa dipandang sebagai variabel tunggal dan berdiri sendiri. Kita semua mafhum bahwa guru adalah profesi yang lahir sebagai produk pendidikan. Bila kualitas guru baik, dapat dipastikan bahwa kualitas pendidikan calon guru baik juga.Â
Demikian pula sebaliknya, rendahnya kualitas guru menggambarkan buruknya kualitas pendidikan yang mengantarkan mereka ke profesi yang kini mereka jalani. Cukup mudah dirunut relevansinya jika kemudian sistem pendidikan guru menjadi sasaran reformasi. Dalam paparan Anies, reformasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) disebut sebagai salah satu program jangka panjang.
Jauh sebelumnya, Mochtar Buchori sudah menengarai kepincangan sistem pendidikan guru. "Ilmu keguruan belum menyatu dengan bidang spesialisasi program studi yang dipilih mahasiswa LPTK," tulisnya dalam makalah bertanggal 20 Juli 1989.Â
Ia mencontohkan, "Calon guru bahasa Inggris tidak tahu etos bagaimana yang dapat dipupuk, keterampilan apa yang dapat diberdayakan, dan nilai-nilai apa yang dapat dirangsang pertumbuhannya melalui pelajaran bahasa Inggris."Â
Doktor Perencanaan Pendidikan lulusan Harvard Graduate School of Education itu lebih jauh menguraikan, "Spesialisasi jurusan atau program studi yang ditempuh mahasiswa calon guru tidak dipandang sebagai spesialisasi pengajaran, melainkan sebagai spesialisasi keilmuan. Kesudahannya akan sangat menyedihkan; guru-guru kita akan menjadi serba tanggung: ahli tidak, pendidik pun tidak! Neither fish nor meat!"
Sungguh naif jika sinyelemen Mochtar Buchori tersebut dipandang sebelah mata. Sebagai seorang akademisi, tentu ia menumpukan pendapatnya pada hasil kajian komprehensif.Â
Apalagi, ia kenyang dengan pengalaman sebagai praktisi pendidikan guru sebelum menggeluti bidang penelitian di LIPI. Sayangnya, gagasan-gagasan kritis itu tidak mendapat respons memadai dari pusat pengambilan kebijakan. Tiga tahun setelah ia wafat, wacana reformasi pendidikan guru---yang berpuluh tahun gencar dilontarkan dalam berbagai forum dan media---menghampiri perhatian Menteri Pendidikan.
Mimpi Menteri Anies ditangkap oleh koleganya. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) menerbitkan regulasi penyelenggaraan LPTK. Regulasi itu dituangkan dalam Peraturan Menteri Ristekdikti Nomor 55 Tahun 2017 tentang Standar Pendidikan Guru. Peraturan ini menyebut dua bentuk program pendidikan guru: Program Sarjana Pendidikan dan Program Pendidikan Profesi Guru (PPG).Â
Kedua bentuk program tersebut tidak bersifat opsional. Untuk memperoleh sertifikat profesi guru, lulusan Program Sarjana Pendidikan masih harus menyelesaikan Program PPG.Â
Dalam hal ini, program pendidikan guru analog dengan program pendidikan dokter. Namun, lulusan Program Sarjana Pendidikan tidak menjadi prasyarat untuk menempuh Program PPG. Sarjana nonkependidikan punya hak dan kesempatan untuk mengikuti Program PPG dan mendapatkan sertifikat profesi guru. Di sini ada perbedaan antara PPG dan pendidikan profesi dokter.
Peraturan tersebut menjabarkan standar pendidikan guru ke dalam delapan standar, sebagaimana yang diberlakukan pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). Setiap LPTK, baik penyelenggara Program Sarjana Pendidikan maupun Program PPG, dituntut untuk memenuhi delapan standar yang meliputi (1) standar kompetensi lulusan, (2) standar isi, (3) standar proses, (4) standar penilaian, (5) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (6) standar sarana dan prasarana, (7) standar pengeloaan, dan (8) standar pembiayaan.
Standar kompetensi lulusan (SKL) menjadi muara standardisasi pendidikan guru. SKL merupakan quality assurance keluaran satuan pendidikan. SKL pendidikan guru mendeskripsikan profil guru profesional yang dicita-citakan menitis pada setiap calon guru sebagai produk pendidikan di LPTK.Â
Standar isi, standar proses, dan standar penilaian adalah perangkat lunak yang mesti dijalani untuk menghasilkan keluaran sesuai SKL. Standar sarana/prasarana dan standar pembiayaan adalah perangkat keras untuk menjamin bekerjanya standar isi, proses, dan penilaian. Sedangkan standar pengelolaan merupakan manual operasi seluruh komponen.
Di antara ketujuh komponen penopang SKL tersebut, pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) memegang peranan kunci. PTK-lah pengendali isi, proses, penilaian, sarana/prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.Â
Di tangan PTK-lah nasib komponen-komponen tersebut ditentukan: berhasil atau gagal beroperasi sesuai standar. Jika keenam komponen tersebut berjalan sesuai dengan standar, dapat dipastikan lulusan yang dihasilkan juga sesuai dengan SKL. Sebaliknya, kegagalan pemenuhan standar pada salah satu atau lebih komponen akan menyumbangkan kegagalan dalam mencapai SKL. Makin banyak komponen yang gagal mencapai standar, makin banyak pula indikator SKL yang gagal terpenuhi.
Bertolak dari peran sentralnya dalam mewujudkan quality assurance calon guru, standardisasi PTK mesti menjadi prioritas dalam reformasi pendidikan guru. Nilai rata-rata hasil UKG yang di bawah standar kiranya cukup memberikan petunjuk bahwa ada persoalan besar menyangkut standar PTK yang terlibat dalam pendidikan guru.Â
Selain PTK di kampus LPTK, pendidikan guru juga melibatkan PTK di sekolah laboratorium dan sekolah mitra tempat praktikum mahasiswa calon guru. Kedua-duanya mesti menjadi sasaran standardisasi.
Screening bisa menjadi langkah pertama dalam proses standardisasi PTK pendidikan guru. PTK di kampus LPTK, sekolah laboratorium, dan sekolah mitra menjalani uji kompetensi secara komprehensif.Â
Penilaian autentik diterapkan untuk mengukur kelayakan mereka, baik dalam ranah sikap, pengetahuan, maupun keterampilan. Hasilnya adalah peta kelayakan: kampus X layak menyelenggarakan pendidikan guru apa saja dan sekolah Y layak untuk tempat praktikum calon guru apa saja.
Langkah screening semacam itu bisa menimbulkan kesan sadis, terutama bagi kampus LPTK. Amputasi, bahkan mungkin juga likuidasi, adalah dampak yang tak terelakkan. Cara-cara sadis kadang diperlukan dalam rangka menyelamatkan jiwa pasien.Â
Membiarkan penyakit pada salah satu organ terus menjalar ke organ-organ lain tentu lebih sadis daripada mengamputasinya. Amputasi terhadap institusi produsen guru akan menyelamatkan performa pendidikan, yang ditengarai sudah gawat darurat. Amputasi adalah tindakan darurat untuk mengatasi keadaan darurat.
Efek domino yang berpotensi muncul akibat screening tersebut adalah spesialisasi LPTK. Di dalam satu provinsi, misalnya, akan ada LPTK spesialis pendidikan guru bahasa, ada LPTK spesialis pendidikan guru olahraga, dan seterusnya.Â
Dampak tak disengaja ini akan menjadi berkah bagi upaya pengembangan kapasitas guru secara terpadu. LPTK spesialis pendidikan guru matematika sekaligus berfungsi sebagai pusat pengembangan kapasitas guru matematika dalam jabatan.Â
Penyatuan fungsi pendidikan guru prajabatan dan dalam jabatan ini akan menyederhanakan manajemen pengembangan profesionalisme guru secara berkelanjutan. Pola ini bisa diharapkan jauh lebih efisien daripada pola sekarang: ada LPTK, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), dan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK).
Peraturan Menteri Ristekdikti Nomor 55 Tahun 2017 adalah regulasi pembuka pintu reformasi pendidikan guru. Peraturan yang ditetapkan pada 18 Agustus 2017 tersebut mulai berlaku pada 21 Agustus 2017.Â
Selambat-lambatnya mulai tahun akademik 2018/2019, sistem pendidikan guru di LPTK sudah merujuk kepada peraturan ini. Mulai dari seleksi calon mahasiswa, desain kurikulum, proses pembelajaran dan penilaiannya, pemberdayaan dosen, penyediaan sarana dan prasarana, pengelolaan institusi, hingga pembiayaan, semua berpedoman pada standar pendidikan guru yang sudah dirumuskan secara saksama.
Masyarakat, pengguna dan pemerhati, akan menjadi saksi perubahan yang terjadi pascapenerbitan regulasi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H