Salah satu isu yang hangat dibicarakan dikalangan ekonom dan pelaku bisnis adalah AFTA yang secara resmi akan diberlakukan 31 Desember 2015. Isu ini begitu menyedot perhatian karena sebagian kalangan baik dari professional bisnis maupun akademisi ekonomi menganggap bahwa setuju dengan keberadaan AFTA adalah tindakan bunuh diri. Hal tersebut didasari kepada amatan bahwa kondisi real ekonomi Indonesia dan Aceh secara khusus masih belum mampu untuk bersaing tanpa adanya proteksi dari pemerintah.
AFTA atau Asean Free Trade Area adalah sebuah kesepakatan yang dijalin antara negara-negara yang berada dalam wilayah ASEAN yang ditanda tangani tangal 28 Januari 1992 di Singapura, dalam bidang produksi lokal diseluruh negara-negara ASEAN. Ketika pertama kali ditanda tangani, hanya ada 6 negara yang tergabung dalam perjanjian tersebut yaitu yaitu Brunai Darussalam, Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina. Adapun Vietnam, laos, Myanmar, dan Kamboja baru ikut bergabung dalam jangka waktu 1995 sampai 1999. Baru kemudian setelah itu beberapa negara di luar kawasan ikut bergabung seperti China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia dan Selandia Baru.
AFTA agreement disepakati dengan tujuan untuk memperkuat daya saing negara-negara di kawasan ASEAN dengan berusaha menjadikan ASEAN sebagai basis produksi bagi pasar dunia dengan cara penghapusan bea (quantitative restrictions0-5 %) dan halangan non bea (non tariff barriers)di negara ASEAN dengan pola yang dikenal dengan sebutan Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA), selain itu AFTA juga bertujuan untuk menarik investor asing langsung (Foreign Direct Investment,)Â serta memperkuat hubungan perdagangan negara-negara di ASEAN (Intra-ASEAN Trade). Sehingga ketika AFTA benar-benar diberlakukan maka maka di ASEAN hanya akan ada satu pasar dan basis produksi dalam 5 hal utama yaitu aliran bebas barang, aliran bebas jasa, aliran bebas investasi, aliran bebas modal dan aliran bebas tenaga kerja terampil.
Sebagai implikasi dari keikutsertaan Indonesia dalam AFTA. Maka Aceh sebagai bagian dari Indonesia secara integral terpengaruh dengan kesepakatan ini. Hasilnya apapun ekses positif maupun negatif dari keberadaan AFTA juga ikut berimbas terhadap Aceh. Sehingga menarik melihat Aceh berkaitan dengan penerapan AFTA yang tinggal beberapa hari lagi.
Gambaran Ekonomi Indonesia dan Aceh
Indonesia dalam konstalasi ekonomi dunia merupakan negara konsumen, hal ini diakibatkan karna ketiadaan produk lokal yang dapat menggantikan serbuan produk-produk luar negeri. Hal utama yang menjadi penyebatnya adalah rendahnya tingkat persaingan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari Global Competitive Report tahun 2014-2015 yang menempatkan Indonesia pada posisi 34, dan berada dibawah Thailand pada posisi 31, China 28, Malaysia 20, Taiwan 14, dan Singapura pada posisi kedua setelah Swizerland pada peringkat pertama.Â
Data Global Competitive Report sangat rasional jika kemudian dibandingkan dengan data yang dirilis oleh United Nation for Devolepment Program (UNDP) mengenai indek SDM Indonesia atau Human Devolepment Index (HDI) yang menggolongkan Indonesia dalam katagori negara menengah (Medium Human Devolepment) yaitu pada peringkat ke-108 dunia, setingkat berada dibawah negara yang berkonflik Palestina, bahkan juga berada di bawah Maldives pada peringkat 103, Suriname peringkat 100, serta di bawah beberapa negara ASEAN lainnya.Â
Hal lain yang juga menjadikan Indonesia sebagai pasar menarik bagi dunia adalah keberadaan Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-empat didunia, serta porsi persentase PDB Indonesia yang begitu besar di ASEAN. Membuat pasar dunia melihat Indonesia ibarat primadona area ekspansi bisnis yang menggiurkan.
Adapun Aceh pada dasarnya adalah daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, sehingga jika dikelola dengan baik hal ini dapat megenjot pertumbuhan ekonomi Aceh. Sehingga berimplikasi positif bagi kesejahteraan masyarakat. Namun pemberlakuan AFTA tanggal 31 Desember 2015, yang hanya tinggal menunggu hari. Membuat sebagia kalangan gusar mengingat indikator makro masih menunjukkan bahwa Aceh masih jauh dari siap untuk menghadapi kompetisi ekonomi ASEAN tersebut.
Data pertumbuhan ekonomi Aceh yang dirilis oleh Kementrian PPN / BAPPENAS 2014, menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2006 sampai 2013, pertumbuhan ekonomi Aceh selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Bahkan mengalami pertumbuhan negatif dalam beberapa tahun belakangan. Kesenjangan ekonomi antar kabupaten-kota berdasarkan index Williamson tahun 2009-2013 dalam provinsi Aceh juga sangat mengenaskan. Bahkan lebih parah dibandingkan dengan kondisi umum nasional dengan tahun dan skala yang sama.Â
Masih berdasarkan laporan BAPPENAS 2014, struktur perekonomian Aceh masih didominanasi oleh sektor pertanian, selain itu juga didukung sektor perdagangan dan jasa, serta diikuti oleh sektor pertambangan. Adapum sektor industri masih berada pada titik nadir. Sehingga produk asli Aceh tidak memiliki nilai tambah (Additional Value) sehingga dipastikan akan kalah bersaing dengan produk luar, baik dari sisi kualitas maupun harga. Jika keadaan ini dibiarkan maka dipastikan dengan diberlakukannya AFTA maka keadaan ekonomi Aceh akan semakin tertekan.