Malam itu, DPR sepakat untuk memenuhi permintaan Hatta. Maka, sepekan setelah Hatta berkirim surat, DPR menyatakan setuju untuk melepas Hatta. Jadi, terhitung sejak Sabtu, 1 Desember 1956, Mohammad Hatta resmi mengakhiri jabatannya sebagai Wakil Presiden RI yang telah diembannya selama 11 tahun.
Sebenarnya, Hatta pernah berusaha untuk mendekatkan kembali hubungannya dengan Sukarno, atas desakan dan permintaan sejumlah tokoh agar Dwitunggal kembali bersama. Namun, upaya itu kandas. Dalam artikel "Demokrasi Kita" yang ditulisnya sekitar 1960.
Hatta mengatakan: "Bagi saya yang lama bertengkar dengan Sukarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan fair chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Sukarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi sukses atau suatu kegagalan. Sikap ini saya ambil sejak perundingan kami yang tidak berhasil kira-kira dua tahun yang lalu".
Hatta juga menulis tentang DPR dan kritikannya atas keberadaan legislatif setelah tak lagi dipilih melalui pemilu:
"Dengan perubahan Dewan Perwakilan Rakyat yang terjadi sekarang, di mana semua anggota ditunjuk oleh Presiden, lenyaplah sisa-sisa demokrasi yang penghabisan. Demokrasi Terpimpin Sukarno menjadi suatu diktatur yang didukung oleh golongan-golongan yang tertentu."
Hatta sendiri, kepada Solichin menceritakan bagaimana akrabnya ia dan Bung Karno waktu itu. ”Hingga tiap surat yang akan ditandatanganinya ditolak sebelum ada paraf saya. Dan tiap keputusan yang saya ambil Bung Karno selalu menyetujuinya.”
Sedangkan Wangsa, yang menjadi sekretaris pribadi Bung Hatta hingga tokoh ini meninggal dunia menyatakan, sekalipun sering terjadi beda pendapat tapi keduanya tidak pernah saling mendendam. Sebagai bukti Bung Hatta tidak dendam pada Bung Karno ialah peristiwa menjelang wafatnya presiden pertama RI ini.
Pada 19 Juni 1970, atau dua hari sebelum Bung Karno wafat, Bung Hatta dan Wangsawidjaja mengunjungi RSPAD Gatot Subroto untuk menjenguk Bung Karno. Setelah sebelumnya mereka dapat kabar dari Mas Agung (Dirut PT Gunung Agung), bahwa Bung Karno dalam keadaan gawat. Sakitnya Bung Karno ini memang sangat dirahasiakan pemerintah. Karena itulah, Hatta sebelum membesuknya harus minta izin terlebih dulu kepada Pak Harto melalui Sekmil Jenderal Tjokropranolo.
Sesampainya Bung Hatta dan sekretarisnya ke RSPAD mereka mendapatkan bahwa Bung Karno sudah tidak sadarkan diri. ”Saya melihat Bung Hatta begitu sedih melihat keadaan Bung Karno,” tulis Wangsawidjaja. Tapi untungnya tidak lama kemudian Bung Karno siuman.
”O o Hatta, kau ada di sini. Kau juga Wangsa,” ujar Bung Karno perlahan. ”Sebenarnya masih ada ucapan lisan yang dikatakan oleh Bung Karno kepada Bung Hatta. Tetapi, saya tidak tahu persis, karena ucapan Bung Karno terlalu pelan,” tutur Wangsa.
Dan itulah pertemuan terakhir dua bapak bangsa, yang selama puluhan tahun berjuang untuk mencapai kemerdekaan, tanpa peduli harus masuk dan keluar penjara dan diasingkan ke berbagai tempat. ”Suatu pertemuan yang amat mengharukan antara dua orang sahabat itu
Tiga puluh tujuh tahun lalu, Jumat 14 Maret 1980, Wakil Presiden RI pertama, Mohammad Hatta, wafat dalam usia 77 tahun. Sepanjang hidupnya, tokoh kelahiran Bukittinggi, Sumatra Barat, tersebut berjuang demi kesejahteraan bangsa Indonesia. Ia dikenal luas sebagai sosok yang cerdas, tekun, pendiam, tepat waktu, ringkas bila berbicara, jujur, dan hidup sederhana. Kepergiaannya pun meninggalkan duka teramat dalam bagi segenap rakyat Indonesia.