Menurut Matthew Kieran dalam Eriyanto (2002) bahwa "berita tidaklah dibentuk dalam ruang hampa, berita  diproduksi dari ideologi dominan dalam suatu wilayah kompetensi tertentu". Masih menurut Eriyanto bahwa peristiwa itu dimediasi sebuah kategori, interpretasi dan evaluasi atas realitas. Setiap peristiwa dapat dilihat dengan kacamata dan pandangan tertentu.
Gegap gempitanya suasana politik menjelang pilpres 2019 sudah ramai diberbagai media, baik media mainstream maupun media sosial. Hiruk pikuknya politik di tandai dengan kampanye, baik oleh tim petahana (Jokowi- Maruf Amin) Â maupun tim lawan (Prabowo-Sandi). Masing masing kubu berusaha memanfaatkan berbagai media untuk menyuarakan visi dan misi politiknya.
Dalam menyemarakan pilpres ini, media baik cetak maupun elektronik tentunya punya peran yang sangat dominan.Media dituntut untuk bertanggung jawab atas informasi yang disebarkannya. Tak dapat dipungkiri bahwa pemberitaan di media punya pengaruh yang besar dalam mempengaruhi persepsi publik.
Bahkan menurut Malcom X kekuatan media sungguh sangat luar biasa,seperti dalam pernyataannya "the media's the most powerfull entity on earth. They have the power to make the innocent guilty and to make the guilty innocent, and that's power. Because they control the minds of the masses". Media menjadi kekuatan yang besar dalam menentukan persepsi atau cara pandang yang ada di masyarakat.
Sebuah pemberitaan dalam media secara tidak sadar akan mempengaruhi pola mikir masyarakat bahkan mampu menentukan apa yang baik dan apa yang buruk yang pada akhirnya berpengaruh luas terhadap stabilitas politik suatu negara.
Namun yang menjadi pertanyaan kemudian mampukah media memberitakan sesuai fakta fakta obyektif yang ada dan mampukan media menjaga independensinya dari berbagai kepentingan sehingga media mampu menjadi penyeimbang dan menyuarakan kepentingan masyarakat luas?
Media Independen VS Media Partisan
Bahwa proses politik memerlukan saluran dan media komunikasi agar proses dan aktifitas politik dapat menjadi konsunsi publik sekaligus dapat menjangkau khalayak dalam jumlah yang banyak. Karena tidak ada peristiwa politik terutama di era teknologi sekarang ini yang tidak melibatkan fungsi media massa (wahid 2011). Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa media memiliki peran yang sangat penting bagi masyarakat..
Namun dalam kenyataannya tidak semua media memberikan kontribusi yang positif bagi pendidikan politik di masyarakat, sehingga sekarang ini muncul apa yang dinamakan dengan media independen dan media partisan.
Media independen adalah media yang dalam kegiatan peliputan dan penulisan beritanya tidak melakukan keberpihakan kepada kelompok atau golongan tertentu. Pemberitaannya cenderung cover both side (dua sisi) dan mengakomodir pernyataan kedua kelompok yang berbeda. Sehingga masyarakat mendapat informasi yang benar.
Sebaliknya media partisan lebih mengedepankan pemberitaan sesuai kepentingan kelompok yang dibelanya, bahkan isi beritanya cenderung mengabaikan aspek jurnalistik. Jika menemukan kesalahan kelompok yang tidak sepaham makan akan diberitakan dengan bombastis. Sebaliknya jika kesalahan ada pada kelompoknya maka akan ditutup-tutupi.
Menurut peneliti  politik dari LIPI Siti Zuhro bahwa media punya tanggung jawab moral yang luar biasa dan jika pemberitaannya tidak obyektif. Ketidakobyetifan itu pada akhirnya akan memicu konflik diantara masyarakat secara horizontal. Senada dengan pernyataan di atas wakil ketua Dewan Pers Ahmad Jauhar mengatakan bahwa media harus bertindak independen, obyektif dan tidak partisan dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.Media harus obyektif. Menurutnya, informasi yang disajikan media massa haruslah akurat dan teruji kebenarannya. Dengan begitu, masyarakat yang mengonsumsi berita mendapatkan informasi yang tidak menyesatkan.
Ada dua peran yang dimainkan oleh media Pertama, media adalah sumber dari kekuasaan hegemonik, di mana kesadaran khalayak dikuasai. Kedua, media juga bisa jadi sumber legitimasi, di mana lewat media mereka berkuasa dapat memupuk kekuasaannya agar tampak absah dan benar (Sudibyo 2006).
Dalam media yang partisan, terkadang dalam memberitakan sesuatu tampak terlihat lebih bombastis dan vulgar dalam keberpihakan kepada kelompok tertentu. Hal ini menciptakan kondisi yang tidak baik bagi masyarakat dalam menyelesaikan masalah. Ketika pemberitaan itu dibaca oleh khalayak luas, sebagian besar menganggap sebagai sebuah kebenaran. Disisi lain keberadaan media partisan tumbuh subur karena masyarakat cenderung lebih menyukai bacaan yang dapat  memenuhi kebutuhannya. Hal ini sesuai dengan pendekatan dari teori uses and gratifications yang memberikan kekuasaan pada khalayak untuk memutuskan media mana yang akan dipilih atau dikonsumsi. Khalayak memiliki peran aktif dalam melakukan intepretasi dan mengintegrasikan media ke dalam kehidupannya. Pada uses and gratifications, khalayak bertanggung jawab terhadap pemilihan media untuk memenuhi kebutuhannya.
Keberpihakan Media Dalam Pilpres
Dukungan media terhadap kandidat capres tertentu dalam pilpres selalu menyisakan perdebatan etis dan normatif. Biasanya, terdapat dua isu perdebatan tentang peran media sebagai pemimpin opini masyarakat dan objektivitas media.Â
Pandangan pertama menyatakan, dukungan media terhadap salah satu kandidat capres penting untuk menggerakkan diskusi publik, yang terkadang apatis dan rendah partisipasinya menjelang pilpres. Padahal, pilpres sangat penting untuk menentukan masa depan bangsa ke depan dan membangun sistem yang demokratis. Penggerak wacana publik ini adalah peran media sebagai pemimpin opini masyarakat dan penentu agenda publik.Â
Sementara pendapat kedua mengatakan, dukungan media terhadap kandidat capres tertentu akan menimbulkan bias dalam pemberitaan media. Bagaimana media TV yang sudah mendukung kandidat capres tertentu tidak bisa objektif dan independen dalam pemberitaan pemilu presiden (Armando 2014). Keberpihakan media pada salah satu kandidat tidak terlepas dari pertumbuhan industri media yang lebih mengarah ke kepentingan ekonomi politik elit penguasa dan oleh karenanya kepentingan dan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan ruang diskusi public masih terabaikan.
Dalam perspektif ekonomi politik media, ternyata media tidak bisa netral dan obyektif sebagaimana idealismenya. Media sangat terikat dan dipengaruhi ideologi pemiliknya. Sehingga media sangat rentan dijadikan sebagai alat kekuasaan dalam sebuah sistem politik. Di sisi lain media juga harus menguntungkan secara ekonomi baik untuk biaya operasional media itu sendiri maupun untuk keuntungan para pemilik modal. Oleh karena itu media dituntut untuk menyesuaikan pada selera pasar agar menarik bagi para pengiklan. Iklan merupakan salah satu nafas utama bagi sebuah media selain audien atau khalayaknya.
Sejatinya dalam ilmu komunikasi politik memandang media sebagai kekuatan ke empat. Dimana media harus independen agar dapat mengontrol ketiga cabang kekuasaan lainnya yaitu Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif. Persoalannya ketika konsentrasi kepemilikan modal dalam industri media kian menguat, maka jurnalisme terancam hanya menyuarakan kepentingan para pemilik modal tersebut. Dalam Teori ekonomi politik , secara umum digunakan untuk mendiskreditkan relasi antara sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem komunikasi dalam struktur kapitalisme (Mosco, 1996). Teori ekonomi politik lebih terfokus pada hubungan struktur ekonomi, dinamika industri dan ideologi media.
      Teori tersebut menjelaskan bahwa pasar dan ideologi memiliki pengaruh besar terhadap penentuan konten media. Perbedaan konten antara satu media dengan media yang lain tergantung pada kekuasaan pemilik media tersebut. Seperti kita ketahui beberapa pemilik media media besar di Indonesia adalah para politisi yang mendukung salah satu calon presiden. Walaupun tidak ada kebijakan yang secara terbuka melarang pemberitaan lawan calon tertentu namun tidak bisa di pungkiri bahwa para wartawan tidak kuasa untuk menolak kebijakan sang pemilik modal demi mendukung kepentingan politiknya.
      Pengaruh kekuasaan pemilik modal dalam industri media terhadap netralitas berita sangat jelas. Hal ini berimplikasi terhadap konten berita yang cenderung homogen. Masyarakat akan mengalami kesulitan untuk medapatkan berita mengenai aksi tersebut di karenakan semua pemilik media merupakan pendukung pemerintah yang tidak akan memberitakan sebuah peristiwa yang kiranya akan merugikan posisi pemerintah.
Pada dasarnya, independensi dan netralitas media adalah dua konsep yang tak dapat dipisahkan, namun masing-masing dapat didefinisikan berbeda. Independensi media berarti dalam memproduksi isi media tidak ada tekanan dari pihak lain dan ada kemerdekaan dalam ruang redaksi dalam menghasilkan berita. Sementara netralistas menunjukkan media tidak berpihak dalam menyampaikan berita. McQuail berpendapat bahwa media yang berfungsi menyebarluaskan informasi kepada publik seharusnya bekerja berdasarkan prinsip kebebasan, kesetaraan, keberagaman, kebenaran, dan kualitas informasi, mempertimbangkan tatanan sosial dan solidaritas, serta akuntabilitas. Karena itu, baik pemilik maupun pengelola media seharusnya mematuhi prinsip-prinsip tersebut.
Berdasar pada prinsip itu seharusnya media dijalankan oleh orang-orang independen yang tidak berhubungan atau terlibat dengan partai politik ataupun simpatisan satu golongan tertentu, namun sulit menampik kenyataan yang ada saat ini dimana media justru dimiliki oleh para tokoh yang bersaing di ranah politik Indonesia. Kita melihat bagaimana masing-masing raksasa media memberitakan keunggulan pihak yang didukung dalam pilkada maupun pilpres dan menolak menampilkan sosok rival politik meskipun sebenarnya masyarakat perlu mengetahui secara objektif dan gambling mengenai kelebihan kedua pihak secara adil.
Karena media masih sulit untuk bisa berdiri secara independen dari kepentinga-kepentingan konglomerat dan tujuan-tujuan politiknya. Alangkah baiknya bila media mampu kembali menjadi gerbang informasi yang netral dan tidak berkubu, biarlah kemudian masyarakat yang menilai dan memutuskan apa yang menjawab kebutuhan mereka. Pada akhirnya masyarakatpun harus menjadi lebih bijaksana dalam menerima dan mengolah informasi yang mereka terima dari media massa, senantiasa mengumpulkan dan membandingkan informasi dari banyak pihak agar tidak terjebak dalam paradigma politik konglomerasi media.
Analisis Kajian Komunikasi PolitikÂ
Dosen : Dr. Umaimah Wahid, M.Si
Daftar Pustaka
Aminulloh, Akhirul. (2014). Relasi media dan komunikasi politik pada pilpres 2014 dalam perspektif ekonomi politik media, Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang
Armando, Ade. (2014). Ke Mana Objektivitas Media Dalam Pilpres 2014?. Diakses tanggal  24 Desember 2018 pada https://sp.beritasatu.com/home/ke-mana-objektivitas-media-dalam-pilpres-2014/59572
Diktat Komunikasi Politik, Fikom Universitas Budi Luhur, Dr Umaimah Wahid M.Si https://www.academia.edu/1412721/KOMUNIKASI_POLITIK_-UMAIMAH_WAHID_2012
Eriyanto. (2002). Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media.Yogyakarta: LKiS.
Mosco, Vincent. (2000). Political Economy of Communication. London: Sage Publication.
Sudibyo, Agus (2006) ,Politik Media dan Pertarungan Wacana,Pelangi Aksara Jogjakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H