Menurut peneliti  politik dari LIPI Siti Zuhro bahwa media punya tanggung jawab moral yang luar biasa dan jika pemberitaannya tidak obyektif. Ketidakobyetifan itu pada akhirnya akan memicu konflik diantara masyarakat secara horizontal. Senada dengan pernyataan di atas wakil ketua Dewan Pers Ahmad Jauhar mengatakan bahwa media harus bertindak independen, obyektif dan tidak partisan dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.Media harus obyektif. Menurutnya, informasi yang disajikan media massa haruslah akurat dan teruji kebenarannya. Dengan begitu, masyarakat yang mengonsumsi berita mendapatkan informasi yang tidak menyesatkan.
Ada dua peran yang dimainkan oleh media Pertama, media adalah sumber dari kekuasaan hegemonik, di mana kesadaran khalayak dikuasai. Kedua, media juga bisa jadi sumber legitimasi, di mana lewat media mereka berkuasa dapat memupuk kekuasaannya agar tampak absah dan benar (Sudibyo 2006).
Dalam media yang partisan, terkadang dalam memberitakan sesuatu tampak terlihat lebih bombastis dan vulgar dalam keberpihakan kepada kelompok tertentu. Hal ini menciptakan kondisi yang tidak baik bagi masyarakat dalam menyelesaikan masalah. Ketika pemberitaan itu dibaca oleh khalayak luas, sebagian besar menganggap sebagai sebuah kebenaran. Disisi lain keberadaan media partisan tumbuh subur karena masyarakat cenderung lebih menyukai bacaan yang dapat  memenuhi kebutuhannya. Hal ini sesuai dengan pendekatan dari teori uses and gratifications yang memberikan kekuasaan pada khalayak untuk memutuskan media mana yang akan dipilih atau dikonsumsi. Khalayak memiliki peran aktif dalam melakukan intepretasi dan mengintegrasikan media ke dalam kehidupannya. Pada uses and gratifications, khalayak bertanggung jawab terhadap pemilihan media untuk memenuhi kebutuhannya.
Keberpihakan Media Dalam Pilpres
Dukungan media terhadap kandidat capres tertentu dalam pilpres selalu menyisakan perdebatan etis dan normatif. Biasanya, terdapat dua isu perdebatan tentang peran media sebagai pemimpin opini masyarakat dan objektivitas media.Â
Pandangan pertama menyatakan, dukungan media terhadap salah satu kandidat capres penting untuk menggerakkan diskusi publik, yang terkadang apatis dan rendah partisipasinya menjelang pilpres. Padahal, pilpres sangat penting untuk menentukan masa depan bangsa ke depan dan membangun sistem yang demokratis. Penggerak wacana publik ini adalah peran media sebagai pemimpin opini masyarakat dan penentu agenda publik.Â
Sementara pendapat kedua mengatakan, dukungan media terhadap kandidat capres tertentu akan menimbulkan bias dalam pemberitaan media. Bagaimana media TV yang sudah mendukung kandidat capres tertentu tidak bisa objektif dan independen dalam pemberitaan pemilu presiden (Armando 2014). Keberpihakan media pada salah satu kandidat tidak terlepas dari pertumbuhan industri media yang lebih mengarah ke kepentingan ekonomi politik elit penguasa dan oleh karenanya kepentingan dan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan ruang diskusi public masih terabaikan.
Dalam perspektif ekonomi politik media, ternyata media tidak bisa netral dan obyektif sebagaimana idealismenya. Media sangat terikat dan dipengaruhi ideologi pemiliknya. Sehingga media sangat rentan dijadikan sebagai alat kekuasaan dalam sebuah sistem politik. Di sisi lain media juga harus menguntungkan secara ekonomi baik untuk biaya operasional media itu sendiri maupun untuk keuntungan para pemilik modal. Oleh karena itu media dituntut untuk menyesuaikan pada selera pasar agar menarik bagi para pengiklan. Iklan merupakan salah satu nafas utama bagi sebuah media selain audien atau khalayaknya.
Sejatinya dalam ilmu komunikasi politik memandang media sebagai kekuatan ke empat. Dimana media harus independen agar dapat mengontrol ketiga cabang kekuasaan lainnya yaitu Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif. Persoalannya ketika konsentrasi kepemilikan modal dalam industri media kian menguat, maka jurnalisme terancam hanya menyuarakan kepentingan para pemilik modal tersebut. Dalam Teori ekonomi politik , secara umum digunakan untuk mendiskreditkan relasi antara sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem komunikasi dalam struktur kapitalisme (Mosco, 1996). Teori ekonomi politik lebih terfokus pada hubungan struktur ekonomi, dinamika industri dan ideologi media.
      Teori tersebut menjelaskan bahwa pasar dan ideologi memiliki pengaruh besar terhadap penentuan konten media. Perbedaan konten antara satu media dengan media yang lain tergantung pada kekuasaan pemilik media tersebut. Seperti kita ketahui beberapa pemilik media media besar di Indonesia adalah para politisi yang mendukung salah satu calon presiden. Walaupun tidak ada kebijakan yang secara terbuka melarang pemberitaan lawan calon tertentu namun tidak bisa di pungkiri bahwa para wartawan tidak kuasa untuk menolak kebijakan sang pemilik modal demi mendukung kepentingan politiknya.
      Pengaruh kekuasaan pemilik modal dalam industri media terhadap netralitas berita sangat jelas. Hal ini berimplikasi terhadap konten berita yang cenderung homogen. Masyarakat akan mengalami kesulitan untuk medapatkan berita mengenai aksi tersebut di karenakan semua pemilik media merupakan pendukung pemerintah yang tidak akan memberitakan sebuah peristiwa yang kiranya akan merugikan posisi pemerintah.