Bersama peci, tersimpan nilai-nilai luhur terutama berkaitan dengan nilai dari akar budaya bangsa mengenai pentingnya kita mengagungkan kepala dan isinya.
Nampak perdebatan panjang itu, mengiringi sebuah pertemuan penting kaum-kaum muda dalam wadah organisasi Jong Java.Â
Tahun 1921, debat Ideologi dan paham-paham kebangsaan menjadi sengit terutama bersamaan dengan munculnya suatu realitas anak-anak muda saat itu.
Bagaimana bisa, para intelektualitas muda menilai rendah terhadap sosok mengenakan pakaian dan tutup kepala sebagai ciri kultur masyarakat lokal?
Sebut saja misalnya, blankon dan sarung, seolah jenis-jenis sandang rakyat, pada waktu itu, tergolong sandang kolot dan menunjukan identitas kelompok masyarakat kelas bawah.Â
Kaum muda begitu tergila-gila dengan penampilan ala kebaratan, sehingga prilaku merendahkan kekayaan milik bangsa menjadi tak terelakan.
Mewarnai rentang waktu perhelatan Jong Java tersebut, sosok muda bernama Soekarno, membelah paradok kaum-kaum muda lain dalam hal berbusana.Â
Dirinya mendorong agar perbedaan cara pandang terhadap nilai budaya terutama saat timbul pertentangan gaya pribumi melawan gaya ala Barat, segera dihentikan.
Soekarno muda mendorong adanya simbol busana bagi kaum-kaum muda dan totkoh-tokoh pergerakan, yaitu berupa tutup kepala khas.Â
Simbol busana itu lalu dijadikannya tuah pemersatu berkaitan dengan perlunya identitas perjuangan dalam memperkokoh keinginan menegakkan nilai-nilai kebangsaan.