Warga Nahdiyin jarang sekali memperoleh pemahaman luas mengenai politik. Lingkungan pendidikan pesantren NU, jauh dari gagasan-gagasan memahami dunia politik.
Â
1 abad NU atau organisasi Nahdlatul Ulama berkiprah di Indonesia, telah menorehkan banyak sekali pengalaman berharga bagi negeri ini.Â
Berdiri berdasakan prakarsa K.H. Hasyim Asy'arie, selaku sesepuh Pesantren Tebu Ireng, Jombang Jawa Timur, setelah mendapatkan izin dari sang Guru K.H. Khalil Bangkalan (Madura).
Tepatnya pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 M di Surabaya, NU mendudukan dirnya sebagai organisasi kemasyarakatan (jam'iyah).Â
Selain K.H. Hasyim Asy'arie, terdapat sejumlah ulama kharismatik lainnya pada saat itu, turut serta mendorong berdirinya NU, diantaranya, K.H. Abdul Wahab Hasbullah (Jombang), K.H. Bisri Syamsuri (Jombang), K.H. Ridwan (Semarang), dan ulama termasyur lainnya.
NU menjadi besar karena ditopang oleh soliditas diantara guru dan santri terutama meraka yang sempat belajar atau bersama-sama tolabul ilmi dalam lingkungan pesantren Tebu Ireng.Â
Hubungan diantara mereka tersambung terus walaupun diantaranya dinyatakan sudah lulus menempuh pendidikan pesantren.
Hubungan itu tersambung tidak saja diantara alumnus dan lembaga pesantren, tetapi lebih jauh berkembang dikalangan alumni yang murid-murid pesantren yang dikembangkan oleh alumnus diluar pesantren Tebu Ireng sendiri.
Artinya, jika ada alumni dari Tebu Ireng kemudian mendirikan pesantren di tempat lain, lalu pesantrennya memiliki murid, maka para murid tersebut seolah menjadi satu kesatuan dengan Pesantren Tebu Ireng meski tidak belajar langsung kepada pesantren tersebut.
Proses hubungan dari ikatan secara harmonis, kultural, sosial, dan kekeluargaan dari lingkungan Pesantren Tebu Ireng tersebut dan berkembang bersama lekatnya pengaruh NU hingga ke berbagai tempat.
Dari tahun 1926 hingga 1956, NU fokus kepada pemberdayaan umat atau masyarakatnya dalam hal pendidikan kepesantrenan.
Adapun aktivitas secara politik, saat itu, secara penuh NU mempercayakan kepada Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi).Â
Masjumi merupakan partai politik yang berdiri tahun 1945, sebagai Federasi Ormas-ormas Islam. Â Â
Namun, karena terjadi percekcokan di dalam Masjumi, tanggal 6 April 1952, NU keluar dari Masjumi.Â
Pada saat itu pula, NU merubah sifat keorganisasiannya dari organisasi kemasyarakatan menjadi partai politik.
Setelah resmi berdiri menjadi partai politik, pada tahun 1955, NU mengikuti kontestasi pemilihan umum (pemilu) dan berhasil memperoleh 45 kursi parlemen (DPR).Â
Unggul pada urutan ke tiga setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) memperoleh 57 kursi serta Masjumi 57 kursi.
Berkembangnya pengaruh NU dalam lingkungan pemerintahan saat itu, tentunya semakin menambah besar peluang NU dalam proses pengambilan kebijakan.Â
NU semakin diperhitungkan dan mengokohkan diri menjadi kekuatan penyeimbang penetapan fase-fase penting kenegaraan.
Belenggu Politik
Hitungan peroleh 45 kursi parlemen oleh NU pada pada pemilu 1955, berarti NU saat itu berhasil memperoleh sedikitnya 18,4% dari keseluruhan kursi parlemen yang diperebutkan. Suatu capaian besar politik signifikan dalam perputaran kekuasaan Orde Lama (Orla).
Tetapi, apakah pencapaian kekuasaan sebesar itu kemudian memberikan dampak baik bagi kehidupan NU secara keseluruhan?Â
Sebagaimana kita ketahui dalam pandangan ilmu politik dasar atau istilah lain pengantar ilmu politik, NU seyogiannya mampu melakukan langkah-langkah substansial dalam menjaga dan membangun eksistensi keorganisasiannya terutama sikap politik bagi seluruh warganya setelah berada dalam lingkar pengaruh politik yang besar pemerintahan saat itu.
NU ternyata tidak mendapatkan hasil perubahan ideal itu secara penuh bagi kehidupan organisasi kemasyarakatannya. NU tetaplah menjadi NU seperti sediakala.Â
Kehidupan pesantren selalu menjadi ciri khas yang jauh dari hiruk pikuk politik Indonesia, sementara elit partai NU berkecimpung pada sekup-sekup luas pemerintahan.
Kendati NU telah menjadi pemenang ke tiga pemilu 1955, hal itu tidak tersosialisasikan secara menyeluruh kepada akar basis massa NU sendiri. Karakteristik kehidupan warga Nahdiyin (sebutan untuk massa NU), dilatari oleh kehidupan orang-orang kecil terutama di pedesaan.
Â
Warga Nahdiyin jarang sekali memperoleh pemahaman luas mengenai politik. Lingkungan pendidikan pesantren NU, jauh dari gagasan-gagasan memahami dunia politik.Â
Kurikulum resmi pesantren disusun sebagai kerangka memahamkan lingkup ilmu-ilmu aqidah, ibadah, dan ahlak. Sementara ilmu politik (as-siyasah) sama sekali tidak tersampaikan.
Sistem pendidikan pesantren berpusat kepada pemahaman fiqih. Pendalaman mengenai fiqih diperuntukan bagi terciptanya ulama-ulama atau kyai-kyai baru sebagai pelanjut ahli agama. Porsinya pun demikian, yaitu ilmu fiqih terhitung lebih banyak jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya.
Lebih lanjut, mendalami ilmu-ilmi fiqih ini terbilang berat dan menyita banyak waktu untuk sampai kepada pemahamannya yang mumpuni.
Suatu sumber lain menyatakan, bahwa pendalaman ilmu-ilmi fiqih menjadi tanggung jawab setiap insan (Fardhu ain) sehingga timbul kewajiban bagi para santri atau warga NU secara keseluruhan mendalami ilmu-ilmu fiqih bagi kehidupan.Â
Belajar fiqih dapat dikatakan memiliki kesetaraan wajib bagi orang-orang saat belajar theology, Bahasa Arab, tafsir, hadist dan ilmu waris. Â
Di luar keilmuan fiqih, sifatnya boleh dijalani sebagian orang saja atau disebut fardlu kifayah. Ilmu politik masuk dalam kategori fardlu kifayah bersama jenis keilmuan lain seperti pertukangan, pertanian, kedokteran, dan lain-lain. Dengan demikian, wajar apabila hanya sedikit saja warga NU memahami lebih luas mengenai politik.
Dalam perjalanan politik NU, setelah mendapat pengaruh langsung keadaan internal secara luas pendidikan kepesantrenan, warga NU terus "menjauh" dari hiruk-pikuk dunia politik.
Â
Sampai pada akhirnya, tiba pemilu berikutnya yaitu tahun 1971. Melalui perhelatan pemilu ini, NU kembali meraih sukses besar dengan mengantongi 18,75% suara kemenangan setara dengan raihan 58 kursi DPR. Peningkatan secara signifikan pencaipan politik ditengah-tengah stagnasi kehidupan politik kaum Nahdiyin.
Warga NU pun kemudian berpikir dan menemukan kesimpulan, bahwa kemenangan besar NU dalam dunia politik praktis kepemiluan dan pemerintahan, ternyata hanya menguntungkan segelintir elit politik saja.
Diantaranya ada pula berpemikiran bahwa NU hanya menjadi objek permainan politik para elit partai karena pada realitasnya warga NU lebih banyak "didiamkan" lebih jauh memahami dunia politik saat itu dan cenderung menjauhkan warga NU dari pendidikan politik yang sesungguhnya.Â
Meski demikian, pada saat pemilu tiba (1955 dan 1971) warga NU tetap memilih Partai NU.
Tergerus Orba
Banyak halang rintang NU menembus realitas dunia politik di Indonesia. Setelah mengalami keadaan pada masa Orla, periodisasi Orde Baru (Orba) memberikan warna khusus kehidupan politik NU.
Di bawah pmerintahan Soeharto, keadaan politik skala besar Indonesia mengalami perubahan. Timbul diantaranya adalah penerapan sistem politik otoriter di dalam negeri.
Berbagi kekuatan terutama usai gelaran pemilu tahun 1971, NU harus berhadapan dengan kekuatan besar Soeharto melalui kebijakannnya "memberangus" kekuatan lawan politik dalam negeri.
Adalah kebijakan fusi berbagai partai politik dan kekuatan massa yang ada saat itu. Sebagian besar kekuatan politik Orba tumbang karena aturan wajib mengikuti kekuatan dalam fusi tersebut.
Fusi atau penyatuan sejumlah kekuatan politik dalam wadah lebih kecil, memaksa NU berada dalam naungan "beringin".Â
Kewajiban berfusi diikuti oleh langkah refresif pemerintah. Para pelanggar kebijakan secara langsung memperoleh tindakan ancaman dan pengisoliran.
NU masih bertahan pada masa itu, namun raihan suara parlemen semakin berkurang dan hanya menyisakan 20 kursi saja. Lain halnya dengan PNI, seluruh kekuatnnya rontok saat menghadapi kekuatan Orba.
Memasuki tahun 1972, Partai NU kembali melakukan penyatuan atau penggabungan bersama partai-partai Islam lainnya seperti Parmusi, PSII dan Perti) menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Kekuatan NU pecah akibat fusi tersebut. Sebagian mengikuti PPP dan sebagian lain berada bersama kekuatan Golongan Karya (Golkar).
Untuk bergabung kepada fusi lain --saat itu terdapat tiga-fusi yaitu Partai Dekokrasi Indonesia (PDI), jelas warga NU kurang pas karena di tubuh PDI itu merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai Kristen, IPKI, dan Murba).
NU menolak bersama PDI karena alasan fanatisme agama dan bukan karena alasan rasionalisasi atau pendidikan politiknya.
Baju Politik
Keadaan dalam fusi belum memberikan perubahan berarti kepada NU. Maka, diputuskan pada tahun 1984, NU melepaskan baju politiknya dan kembali kepada kepada jalur organisasi kemasyarakatan.
Alasan kuat NU tidak menjadi bagian dari aktor politik praktis yaitu agar NU lebih mudah mencantolkan kekuatan kepada penguasa saat itu dari pada harus berjuang dalam wadah partai namun bersebrangan dengan kekuatan pemenang politik pada masa itu.
Belum lagi, kekuatan yang terus tergerus pada masa pemilu Orba, suara PPP hampir mengalami kekalahan dari PDI. Semakin buyar saja konkrit kekuatan NU era Suharto.
Arti lain, melepas baju politik NU dari kepartaian, sebagian pihak berkesimpulan bahwa NU pada akhirnya berlabuh ke tubuh Golkar, sebab Golkarlah yang selama era Suharto berkuasa selalu menjadi pemenang kontestasi politik dalam negeri.
Dampak besar NU yang berlabuh kepada Golkar, menjadikan Golkar benar-benar selalu unggul dan kebanjiran suara pendukung dari warga NU. Hal terbukti pada masa pemilu 1987 hingga pemilu 1997.
Keadaan internal PPP sendiri pada saat itu, sebagian besar petingginya kehilangan simpatik kepada NU karena sikap melepas baju politik NU dan mengikuti suara pemenang pemilu zaman Orba.
Memasuki masa reformasi, NU kembali berhadapan dengan kenyataan politik lain. Kanal politik yang semula bermuara kepada Golkar, kini harus dibelokan kepada kekuatan politik baru.Â
Tepatnya, tahun 1999, jelang pemilu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mempelopori lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Jalan politik baru menempuh koridor demokrasi Indonesia, PKB diharapkan menjadi wadah konkrit aspirasi warga NU.
Harapan besar kembali kepada warna politik mandiri NU, namun kenyataanya, pendirian PKB pun mengalami penolakan dari warga NU sendiri, yaitu dengan munculnya kekuatan politik lain dari dorongan sumber basis massa yang sama yaitu Partai Nahdlatul Ummat (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU) dan partai Sunni. Ketiga partai tersebut sama-sama menjadi peserta pemilu 1999.
Meski ada dalam perlawan dari sisi internal, PKB berhasil unggul dalam pemilu 1999 dengan mengantongi sedikitnya 52 kursi parlemen.
Partai lain besutan warga NU, tidak berhasil mencapai ambang batas parlemen dan akhirnya gugur untuk menjadi partai peserta pemilu berikutnya serta melanjutkan perjuangan di gedung DPR RI.
Masa 100 tahun menjalani dunia kemasyarakatn dan politik di Indonesia, NU benar-benar teruji secara pengalaman. Sebaran pengaruhnya bisa kita saksikan dalam berbagai lini kehidupan saat ini.
NU yang terus berjuang, mampu menyertakan diri bersama kekuatan-kekuatan masyarakat dan politik lainnya. Satu abad NU menjadi tonggak kokohnya perjuangan anak-anak bangsa ini mencapai derajat bangsa unggul sejati.
Selamat hari jadi NU ke 100 Tahun! NU Jaya selamanya.
Salam Pancasila!
Merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H