Tragedi Kanjuruhan masih menuai kontroversi. Opini Ketua Umum PSSI segera mundur semakin menggema. Entah apa tuntutan mundur itu relevan atau tidak dengan kejadian sesungguhnya di lapangan? Tulisan saya sebelumnya, Ibul di Ujung Tanduk, memantik diskusi di dunia maya.
Pendapat menarik hingga ulasan evaluasi terhadap PSSI berdatangan. Ada tanda cinta bagi organisasi induk sepak bola dan nada mengarah kepada perubahan total hingga pembubaran organisasi tak terelakan.Â
Dunia maya memang menarik. Nuansa kebebasan berpendapat muncul mengikuti era keterbukaan informasi saat ini.
Semula saya awam dengan sepak bola, apalagi soal aturan penyelenggaraan kompetisi secara konprehensif.Â
Ulasan tentang sepak bola lebih sebagai ekspresi perhatian berangkat dari tangkapan kejadian kasat mata dan sudut pandang sosial budaya. Selebihnya, ada harapan keadaan membaik dari sisi pandang masyarakat luas.
Keterbatasan dalam dunia keterbukaan informasi bukan menjadi akhir kita memahami sesuatu. Rasa ingin tahu, membuahkan hasil dan kesempatan belajar lebih luas.Â
Meski terhubung dalam komunikasi sederhana, akhirnya saya mencatat sejumlah pandangan yang cukup menarik untuk pijakan PSSI melakukan evaluasi menyeluruh. Â
Sebuah profesionalitas, memiliki ciri adanya cara pandang dan bertindak secara luas dalam melihat sebuah persoalan. Pengalaman pun menjelma jadi guru terbaik manakala problem muncul dan segera butuh solusi terbaik. Â
Nuansa lain dihimpun dari jalannya diskusi, mengenai situasi saat dan sesudah tragedi Kanjuruhan, dari kacamata persepakbolaan Indonesia.
Indonesia kaya dengan semangat persebakbolaan yang tinggi. Antusias dukungan kepada cabang olah raga ini meluap dari masa ke masa.Â
Sepak bola Indonesia secara realistis di topang oleh aturan normatif yang meyertainya, baik itu aturan FIFA atau konsensus dunia yang diratifikasi menjadi aturan lokal yang mengikat.
Akan rumit kalau terlalu masuk ke dalam alur kebijakan sepak bola yang dikemas FIFA atau PSSI, padahal secara awam, sepak bola dipandang sebagai sebuah permainan dengan semangat sportivitas yang ingin dibangun agar menjadi bagian nilai luhur suatu kultur masyarakat tertentu.
Nah, biar menjadi sederhana, ada cara pandang sepakbola bukan dari kacamata sepakbola di negara maju, bukan sesuai norma FIFA, dan bukan dari sudut pandang sosial politik.
Suatu pengalaman mencermati sepak bola orang-orang dari lingkungan praktis dan sekarang menjadi masyarakat biasa. Puluhan tahun berdampingan dengan penyelenggaraan sepak bola untuk tingkat provinsi, nasional, maupun internasional.
Pandangan ini menyorot tragedi Kanjuruhan. Lalu apakah kemudian relevan atau tidak, semua pendapat hanya sebatas untuk berbagi saja, apalagi untuk jauh menghakimi pihak-pihak yang dianggap bersalah, sangat jauh, karena bukan juga sebagai tim pencari fakta. Â Â
Ulasan dalam diskusi mengenai tragedi Kanjuruhan itu, menyebutkan bahwa kejadian di Kanjuruhan adalah unik. Bukan sebuah pengulangan tragedi. Hanya saja faktanya korban sangat banyak.
Dalam penyelenggaraan, penetapan waktu pertandingan apakah itu diselenggarakan sore atau malam hari, yang sudah terbiasa diselenggarakan, selalu ada syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi peserta kompetisi.Â
Beberapa di antaranya harus memiliki atau menetapkan stadion home dengan lampu penerangan yang standar (kalau tidak salah minimal 1500 Lux.Â
Sekarang apa sudah berubah atau belum, harus ada kros cek lapangan juga). Berdasarkan kaitan ini, setiap tim harus siap bermain sore atau malam sesuai jadwal yang diatur oleh Liga. Kesiapan juga termasuk Panpel mengantisipasi potensi risiko.
Bagaimana jadwal pertandingan ditetapkan? semua kewenangan pengaturan jadwal ada di Liga. Peserta hanya siap menerima keputusan jadwal dan konsekuensi kesiapan penyelenggaraannya.Â
Nah, jika saja ada permintaan perubahan jadwal sore atau malam, dikembalikan kepada pertimbangan dan rekomendasi aparat yaitu Polda dan Mabes Polri, atau terdapat halangan dari kedua tim yang akan bertanding.
Begitu waktu sudah fixed, langkah berikutnya menggelar rapat Perencanaan Pengamanan (Renpam) antara Panpel dengan Kepolisian (biasanya dipimpin Kapolres), mendengar paparan Kepala Biro Roops (Karoops) sebagai kepanjangan tangan Kapolda dalam urusan pengawasan dan pembantu pimpinan.
Dihadiri pula oleh perwakilan PSSI dari unsur daerah atau asosiasi Provinsi  dan dari PSSI Pusat. Satuan yang akan dilibatkan seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI), Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Perhubungan (Dishub), atau pasukan dari kekuatan masyarakat sipil.
Di dalam rapat dibahas masukan dari Badan Intelejen Keamanan (Intelkam) Polri, lalu kekuatan yang akan diturunkan beserta penempatan, baik yang terbuka maupun tertutup, serta sarana pendukung (sarkung) yang dibutuhkan. Wilayah pengamanan tidak hanya di sekitar stadion, tetapi juga sampai batas kota.
Dalam rapat rencana pengamanan (renpam), disusun juga rencana pengamanan normal dan contingency plan. Pengamanan normal adalah kegiatan pengamanan tanpa adanya situasi yang luar biasa. Pada contingency plan, disusun rencana untuk menghadapi eskalasi situasi di stadion maupun luar stadion.
Tindakan yang dapat dilakukan mulai dari yang paling ringan sampai sangat berat (penggunaan gas air mata salah satu tindakan berat). Komando pengamanan ada pada pimpinan operasi dan ketua Panpel bersama Security officer.
Tidak berhenti disitu saja, ini penting juga terutama pada saat tiba hari "H" pertandingan. Sebelum stadion dibuka, diadakan apel seluruh kekuatan pengamanan. Untuk mengecek kesiapan dan briefing kepada pasukan.
Penyelengaraan di Kanjuruhan
Tragedi Kanjuruhan muncul erat kaitannya dengan upaya pengamanan lapangan. Korban jiwa muncul diduga dari adanya tindakan contingency plan karena adanya sikap penonton turun ke lapangan (ini terlarang di kompetisi).  Â
Penonton ada yang menyerang pemain lawan dan pemain tuan rumah sehingga diusir keluar oleh petugas menggunakan alat seperti rotan dan lain sebagainya.Â
Pukulan alat pengamanan petugas memicu kemarahan massa lalu melampiaskannya kepada petugas. Massa marah. Jumlah massa yang marah dan melawan kepada petugas semakin besar. Ini menimbulkan keterdesakan petugas.
Gas air mata akhirnya ditembakan di stadion. Kepanikan mendorong massa lain terutama yang berada di tribun untuk turun. Namun upaya meraka merangsek dari tempat duduk, berusaha dihalangi petugas. Caranya, ya, dicegah dengan gas air mata ke arah tribun.
Massa pun terbelah, ada yang menyerang petugas dan ada juga yang ketakutan. Kelompok yang ingin turun dari tribun dan sesegera mungkin keluar stadion namun terhambat di pintu keluar. Pintu stadion itu biasanya dijaga oleh pengelola stadion (juru kunci) karena klub di Indonesia tidak ada yang ikut mengelola stadion.
Saat kejadian kerusuhan, permainan sebetulnya sudah usai. Dalam aturan, biasanya, lima belas menit sebelum pertandingan usai, pintu keluar penonton itu harus sudah terbuka. Tetapi, saat itu mengapa masih tertutup? Ini peristiwa yang tidak biasa. Ini semacam sebuah kelalaian pemegang kunci.
Sepertinya petugas pemegang kunci tidak di lokasi menjelang usai pertandingan. Waktu terjadi kerusuhan, mereka terhalang kembali karena massa sudah berdesak-desakan di pintu. Keterlambatan membuka pintu menyebabkan massa menumpuk dan timbulah korban.
Mengenai aturan atau norma pengamanan, memang benar bahwa FIFA melarang penggunaan senjata api dan gas air mata. Bukan itu saja, pengamanan dengan mengerahkan kepolisian dan tentara pun tidak dibenarkan.
FIFA mengatur, pengamanan di dalam stadion itu adalah Steward. Pengamanan sipil. Tetapi sebenarnya FIFA pun sudah paham, di banyak negara dunia, pengamanan demikian tidak efektif.Â
Misalnya di Indonesia, apa yang terjadi jika pengamanan orang sipil semua? Akan lebih banyak korban yang akan jatuh di setiap pertandingan.
Selain itu, izin pertandingan akan diterbitkan Polri dengan catatan pengamanan dilakukan maksimal, yakni dikoordinasi oleh Polri sendiri.Â
Pertandingan tidak akan diijinkan tanpa pengamanan. Juga penonton sepakbola di Indonesia masih belum cukup dewasa dalam bersikap. Apapun yang terjadi, tim yang dibela harus menang.
Fasilitas pendukung sepak bola, menjadi bagian yang meski mendapat perhatian pula. Stadion diantaranya. Stadion di Indonesia hampir seluruhnya tidak memenuhi syarat.Â
Pasca tragedi Kanjuruhan, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, memerintahakan kepada petugas terkait agar stadion tempat penyelenggaraan turnamen liga di audit.
Indonesia, saat ini, baru Stadion Senayan saja yang masuk standar minimal layak. Beberapa bagian dari kelayakan secara sederhana ini misalnya ada pada Gate atau Emergency Gate. Fasilitas yang ada di stadion dan banyak diperhatikan hanya pitch (lapangan bermain). Gate kurang, apalagi Emergency Gate.
Lingkungan stadion pun idelanya terbagi menjadi beberapa ring untuk sterilisasi. Ring luar yang terdekat dengan stadion mestinya steril dan hanya pemilik tiket saja yang boleh berada di situ. Â Â
Dalam pendapat lain, tragedi Kanjuruhan pun mengarah kepada persoalan kualitas pemain dan aparat pertandingan (wasit dan match official lainnya). Profesionalitas serta integritasnya masih perlu ditingkatkan. Juga, mengenai fans tidak pernah dibina oleh klub maupun PSSI secara nasional sehingga prilakunya masih rawan.
Tragedi Kanjuruhan memang sudah terlanjur terjadi. Meski menyisakan duka, optimisme membangun persepakbolaan di Indonesia jangan sampai kendor. Masyarakat ditantang mampu mengambil hikma dari sesgala sesuatu tersebut, sebaiknya bahu membahu memberikan langkah solusi.
Ada beberapa hal kiranya yang dapat dilakukan dalam waktu jangka pendek menyikapi tragedi Kanjuruhan juga masa depan sepak bola Indonesia diantaranya:
1. Lakukan pembinaan pemain agar sportif dan fair play. Jangan ragu menindak tegas yang provokatif apalagi melakukan pelanggaran disiplin.
2. Pembinaan aparat pertandingan. Tingkatkan terus-menerus mutu wasit, dan grounded yang bermasalah. Libatkan wasit mumpuni dari luar dalam pelatihan dan refreshing.
3. Lakukan pembinaan fans. Buat kegiatan on dan off air yang melibatkan mereka. Buat data base provokator. Tegas ditindak penonton yang mengkonsumsi minuman keras, berprilaku berlebihan.
4. Adakan refreshing kepada Panpel dalam bentuk pelatihan dan workshop (biasanya FIFA melakukan hal ini sekitar 3 bulan sebelum event selain Piala Dunia)
Inilah sikap dan langkah yang sebaiknya dilakukan dalam waktu dekat karena lebih murah. Membangun pasukan pengaman sipil lebih berat dan mahal.Â
Juga membangun ulang atau rehab stadion agar memenuhinya syarat norma FIFA memerlukan biaya dan birokrasi yang panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H