Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menerangkan blusukan adalah masuk ke suatu tempat dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu.
Sekat-sekat proteksi atas nama etika sosial itu seolah pudar dan berbagai pihak terkait langsung saling berinteraksi.
Berbondong-bondong pejabat kita turun ke bawah (turba). Berusaha mendekati rakyat dengan berbagai cara dan fasilitas yang ada.
Ruang-ruang sosial kadang berubah menjadi riuh karena gandrungnya rakyat dengan kebiasaan "selfi" bersama orang hebat.
Turunnya pemimpin kepada ranah publik mencipta praktek baru eforia ketertuntutan menaikan kelas sosial. Maksudnya adalah, bahwa saat seseorang berfoto bersama pejabat atau pemimpin tertentu -yang lagi populer- atau menjabat, seolah akan turut menaikan kelas sosial seseorang.
Dua kepentingan bertemu, namun sejalan atau tidakkah langkah merangkai konstruksi komunikasi untuk terciptanya perbaikan? blusukan setidaknya akan meminimalisir gaya komunikasi lama pemimpin yang elitis saat bertemu rakyat yang hidup dengan keadaan apa adanya.
Kadang blusukan menyiratkan elit pemimpin kepada "ketelanjangan" sosial. Seolah tidak penting lagi strata atau kelas dalam masyarakat itu.
Sebagian ada yang merasa itu tidak mengapa sementara ada pihak lain yang melihat hal itu sangat risi, karena menyangkut pamor dan wibawa jabatan yang diembannya.
Saat kelompok elit blusukan, kadang rakyat juga ikut sibuk. Beberapa diantaranya berusaha bersolek menata diri, lingkungan dan segala sesuatunya agar lokasi blusukan mencitrakan baik.
Biasanya itu adalah untuk blusukan yang terencankan. Protokoler kerap menuntut macam-macam. Aturan dan kepatuhan warga dituntut demi nyamnnya kunjungan. Banyak tingkah yang kembali membatasi hadirnya suasana cair antar rakyat dan pemimpinnya.