Dalam kehidupan berkeluarga sering kali anak hanya menjadi objek untuk digurui oleh orang tua, yang bahkan kadang hal yang digurui oleh orang tua tersebut tidak dilakukanya sendiri, contoh : "kamu jangan merokok ya masih anak-anak", sementara dirinya sendiri merokok, ini adalah contoh bagaimana orang tua menggurui anak namun dirinya sendiri tidak melakukan nasehat yang diberikanya, akibatnya si anak akan berpikir "alah cuman ngomong aja nya kau".
Didalam kehidupan berkeluarga, komposisi orang tua dan anak menjadi faktor terpenting dalam membangun pola pikir baik bagi orang tua ataupun si anak, orang tua yang cenderung mengekang anaknya, justru malah akan mendapat lebih banyak perlawanan dari si anak, karena pada dasarnya usia anak-anak, sampai remaja hingga menjelang dewasa memang sedang diposisi lebih ingin mengexplore sesuatu ketimbang hanya mendengarkan nasehat dan larangan akan ini itu.
Tingkat kepercayaan yang diberikan orang tua kepada anak menjadi faktor penting dalam membentuk psikologi si anak, anak yang sering melihat kekerasan dan keributan atau ketidakpedulian, justru malah akan bertindak keras pula, atau justru cenderung menjadi anak yang minderan atau tidak percaya diri, tentu saja ini merupakan akibat yang buruk dari pola didik orang tua kepada anaknya.
Karena saya sampai saat ini adalah seorang anak statusnya dan belum pernah jadi orang tua, maka saya bisa mengkaji dan layak memberi argumen terhadap hal ini dalam sudut pandang anak, bahkan saya juga menuliskan artikel ini dalam imajinasi bagaimana figur orang tua, atau kondisi keluarga yang saya inginkan, bagaimana cara mendidik anak saya nanti ketika saya menjadi orang tua.
Berikut akan saya rangkum dalam "3 Cara Sederhana Mendidik dan Membangun Critical Thinking Anak yang Jarang Diketahui Orang Tua" :
1. Membacakan Buku Kepada Anak
Saya membayangkan betapa kerennya atau nikmatnya menjadi seorang anak yang sering disuguhkan cerita dongeng kepada anak atau dibacakan buku tentang sesuatu hal kepada saya seandainya waktu kecil orang tua saya melakukan hal yang demikian.
Saya dapat memastikan bahwa jika hal itu dilakukan tentu saja daya pikir dan imajinasi saya terhadap sesuatu hal akan luas, pertanyaan demi pertanyaan pasti akan saya lontarkan, "kenapa bisa begini?", "kenapa bisa begitu, itu apa maksudnya?" , pertanyaan-pertanyaan sederhana dan mengulik tentu saja akan saya lontarkan kepada orang tua saya membacakan saya banyak buku ketika saya kecil, akibatnya rasa ingin tahu saya akan sesuatu hal menjadi besar.
Saya sering dan banyak menonton film-film barat, di banyak adegan di beberapa film yang saya lihat, seringkali saya melihat adegan orang tua membacakan buku dongeng kepada anaknya sebelum tidur, di kasur berdua hingga anaknya terlelap dan kemudian mematikan lampu, kadang juga si anak akan mengingatkan dan meminta untuk orang tua nya membacakan nya cerita ketika si anak ingin tidur.
Lantas hal ini menimbulkan pertanyaan di kepala saya "apa karena budaya membacakan buku kepada anak ini ya, orang barat jadi pintar-pintar dan daya imajinasi nya tinggi?"
Budaya membacakan buku kepada anak sebelum tidur jarang terjadi di indonesia, bahkan saya tidak mengenal budaya semacam itu, kebiasaan semacam itu, yang ada hanya perintah dan suruhan "TIDUR CEPAT!, BESOK SEKOLAH", sekali lagi perintah dan larangan, tanpa ada narasi di belakanganya.
Menurut saya, kebudayaan membacakan buku kepada anak ini sangat baik untuk dilakukan, dimulai serta dilestarikan, dibiasakan juga. Karena dampak nya sangat besar untuk perkembangan pola pikir anak, karena sejatinya sekolah pertama adalah keluarga, interaksi antar keluarga yang berada di dalam rumah tersebut, sampai si anak berusia 7 atau 8 tahun hingga ia siap disekolahkan.
2. Komunikasi Dua Arah
Seperti yang sudah saya sampaikan diatas, seringkali orang tua hanya mau di dengar saja, tidak mau di koreksi, menganggap diri sudah pasti benar, hingga mengakibatkan si anak jadi malas bercerita, karena apapun yang dia katakan dianggap sudah pasti salah, dan jika menjawab dianggap melawan "Menjawapi aja kerjamu ya!".
Konotasi menjawab pertanyaan orang tua pada saat anak diberi nasehat seolah-olah menjadi hal yang salah, dianggap melawan, tidak sopan, tidak menurut, durhaka dan sebagainya, padahal komunikasi dua arah, perdebatan, diskusi adalah bentuk komunikasi yang membangun daya pikir anak menjadi lebih kritis terhadap suatu persoalan.
Menajamkan pola berpikir kritis bisa dicapai dengan adanya komunikasi dua arah antara anak dan orang tua, jika semua perkataan yang dikatakan oleh orang tua sudah pasti benar dan apapun yang akan dikatakansi anak dianggap melawan dan tidak sopan, maka bagaimana mungkin terjadi arus komunikasi dua arah, bagaimana mungkin timbul pertanyaan "mengapa harus begitu, tapi tidak begini?", "kenapa kita harus melakukan hal itu?", bagaimana mungkin si anak akan mengeluarkan argumentasi nya kalau dari awal percakapan sudah ditawan pikiranya dengan anggapan kalau menjawab itu dianggap melawan, durahaka, dan tidak sopan kepada orang tua?.
Ini kan sama saja dengan kita membentuk budaya feodalisme didalam keluarga kita, sementara kita menganggap bahwa feodalisme adalah racun, bagaimana mungkin kita berpikir membangun racun terhadap keluarga kita?, bukankah semua nya nanti akan mati keracunan?
3. Memberikan kepercayaan Kepada Anak
Anak yang selalu dicurgai, dilarang, dibatasi ruang geraknya, akan menjadi anak yang penakut dalam bertindak, dan cenderung membuat banyak keputusan yang salah, dikarenakan rasa ketakutan nya akan ancaman orang tua yang serba melarang, dalam kondisi perasaan terkekang seseorang cenderung mengambil keputusan yang salah, karena dia tidak tenang sewaktu mengambil keputusan tersebut.
Mungkin hal inilah yang mengakibatkan banyak anak yang terlalu dikekang orang tuanya, terlalu dicurigai, tidak pernah didukung ide nya, justru malah menjadi anak yang terjerumus dalam lingkungan yang rusak. Ujung-ujung nya orang tua nya menyesal dan terus menyalahkan si anak akan perbuatanya, padahal kalau kita tarik akar nya ya itu karena pola didik orang tua yang terlalu mengekang si anak sehingga si anak bertindak demikian.
Andai saja orang tua memberikan kepercayaan kepada si anak, dan siap menerima kalau si anak berbuat kesalahan, maka si anak akan tumbuh dengan rasa percaya diri yang tinggi, tingkat keberanian yang tinggi, lebih cerdas, daya pikir tajam dan sebagainya, sudah banyak berbagai macam kajian science, psikologi dan sebagainya yang menunjukan bahwa anak yang diberikan kepercayaan kepada orang tua nya, akan tumbuh menjadi anak yang pemberani dan lebih percaya diri ketimbang anak yang selalu diteror, dilarang dan dikekang oleh orang tua mereka.
Hal ini lah yang mengakibatkan pola pikir si anak tidak berkembang, karena dia jadi takut salah terus, mau buat ini salah, mau buat itu salah, dan akhirnya dia melanggar dan memberontak saja, orang apa pun yang dibuatnya gimanapun bakal salah semua, jadi ya buat apa tidak melakukan apa-apa.
KESIMPULAN :
 Jika kita menginginkan anak kita menjadi anak yang baik, berani, percaya diri maka ketiga hal diatas harus mulai kita lakukan dalam membangun pola pikir dan pola interaksi, ditengah-tengah kehidupan keluarga kita.
Demikian artikel ini saya tulis, semoga bermanfaat.
Tegar Sianipar,
Medan, 12 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H