Mohon tunggu...
Sandy Sitorus
Sandy Sitorus Mohon Tunggu... PNS -

Senang untuk berbagi dan membantu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Dia Marah (Istri Vs Suami-2)

2 April 2018   13:36 Diperbarui: 5 April 2018   10:26 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua orang mengatakan bahwa suatu hal yang normal ketika seseorang itu marah saat kondisi yang diharapkannya tidak sesuai dengan ekspetasi. Reaksi tiap orangpun pasti berbeda untuk meluapkan amarahnya, baik reaksi seorang pria ketika marah terhadap seorang wanita, ataupun sebaliknya.

Begitu juga dalam berumah tangga. Reaksi amarah itu tidak dapat dihindari. Tetapi apakah sama (ketika amarah itu muncul), reaksi yang diberikan seorang pria dengan reaksi seorang suami? Atau reaksi yang diberikan seorang wanita dengan reaksi seorang istri? Seharusnya B.E.D.A., karena suami/istri sedang kita marahi itu adalah pribadi yang kita sayangi. Jelas sekali reaksi kita pasti berbeda ketika kita marah terhadap teman kantor dengan reaksi kita terhadap suami/istri kita. Kita bisa marah bahkan benci terhadap orang lain, tapi apakah kita melakukan hal yang sama terhadap suami/istri kita?

Pada saat acara pernikahan, sepasang manusia bersumpah sehidup dan semati, serta hidup berdampingan untuk saling melengkapi. Walaupun demikian, perselisihan pasti tetap muncul, bahkan untuk usia pernikahan yang sudah lama. Ada istilahnya, mengenal pasangan kita itu tidak akan pernah habis (selesai). Seiring waktu berlalu, banyak hal yang membuat kita terkejut mengenal pribadi pasangan kita yang tidak kita ketahui. Pertikaian yang menimbulkan amarah biasanya muncul akibat perbedaan persepsi dalam membesarkan anak, menentukan kebutuhan hidup, menjalankan kehidupan pekerjaan, hingga kehidupan pribadi yang masih dianggap hanya milik sendiri. Terkadang, hal sepele pun dapat menimbulkan amarah yang sangat besar, tanpa kita sadari.

Reaksi suami terhadap istri pada saat marah :

1. Melakukan tindak kekerasan

2. Mengeluarkan suara keras

3. Diam tanpa reaksi

4. dll.

Reaksi istri terhadap suami pada saat marah:

1. Merepet-repet tak jelas, mulai dari hal yang relevan sampai yang tidak relevan sama sekali

2. Menelantarkan suami dan anak-anak

3. Diam, berujung tak mau makan

4. dll.

Tanpa disadari, reaksi ini akan berpengaruh terhadap anak-anak kita. Mungkin pada saat kita marah, perilaku anak bisa membuat kita semakin jengkel, sehingga tindakan yang sekecil apapun yang dibuat anak, kita respon dengan amarah. Di sisi lain, reaksi amarah membuat kondisi tubuh kita melemah, mudah diserang penyakit. Intinya, amarah itu merugikan kita sendiri, jika berlebihan. Bagaimana cara kita merespon diri kita ketika amarah itu muncul?

Ini tips dan triknya.

1. Buat prinsip pada diri sendiri, janganlah marah sampai matahari terbenam. Cukup sehari saja.

2. Perselisihan yang terjadi tidak semua dapat diselesaikan dalam sehari. Mungkin diam menjadi satu alternatif. Diam bukan berarti tidak berbuat apapun. Diam dalam hal ini, mencoba mengkaji ulang perselisihan yang terjadi, serta tidak mencari-cari siapa yang salah, melainkan mencari akar permasalahan sehingga di waktu yang akan datang, hal yang sama tidak terulang lagi.

3. Coba menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan perselisihan yang berulang-ulang. Semasa pacaran, ceritakanlah segala kekurangan kita, tetapi setelah menikah, ada beberapa hal yang memang harus disimpan sendiri dahulu, baru diceritakan setelah semuanya dalam keadaan aman.

4. Diam mengalah belum tentu salah. Tapi kesalahan itu harus kita sampaikan supaya tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Caranya; carilah waktu yang tepat, misalnya ketika lagi bersantai, lagi ngobrol asyik, lagi makan malam, pokoknya di situasi dimana pasangan kita sedang dalam mood yang baik. Sampaikan kesalahan tersebut dalam bahasa yang lemah lembut, bukan dalam amarah, dan cobalah untuk memberikan saran di akhir penyampaian kesalahan tersebut serta bertanya apa maunya pasangan kita supaya kondisi (amarah) tersebut tidak terulang lagi.

5. Ingat anak! Usahakan ketika pertikaian terjadi, anak tidak ada di sekitar kita, karena mereka akan meng-copy apa yang kita lakukan. Dan sekali lagi, Ingat anak! sehingga kita tidak berlama-lama berselisih, dengan pasangan kita, yang secara tidak langsung mempengaruhi psikologi anak kita di masa depan.

Semua masalah ada jalan keluarnya. Ingat akan komitmen pada saat kita memutuskan menjadi pasangan hidup seseorang. Engkau melengkapiku dan aku hidup untuk melengkapimu. Semoga setiap kita hidup berbahagia dengan pasangan masing-masing hingga akhir hayat hidup.

-Sandy-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun