Mohon tunggu...
Teddy Triyadi Nugroho
Teddy Triyadi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - LP3ES/ Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Cogito Aliquid// Menulislah Dengan Rendah Hati Tausosiologi.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seksualitas dan Kekerasan Seksual dari Kontrol Sosial hingga Konflik Horizontal

24 Desember 2021   19:08 Diperbarui: 24 Desember 2021   19:15 1182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembicaraan mengenai kekerasan seksual dapat pula dikaitkan dengan kajian seksualitas. Studi tentang seksualitas tentulah masih sangat sedikit---hal ini tentu dipengaruhi anggapan bahwa persoalan-persoalan sosial jauh lebih penting dibanding hal tersebut, seperti persoalan kemiskinan,krisis ekonomi ,politik dan lain  sebagainya. 

Padahal dalam hal ini sebetulnya sekslah yang mendefinisikan kita sebagai manusia, seksualitas menjadi inti dari seseorang dari sekian banyaknya atribut manusia seperti ras,kebangsaan,kesukuan kelas,agama,umur---salah satu identitas paling dasar adalah seks. Singkatnya,seksualitas mampu mendefinisikan kita secara pribadi,sosial dan moral.

Seksualitas sebetulnya merupakan kontruksi sosial, artinya seks disusun oleh masyarakat, manusia memahami dunia, menciptakan sejarahnya dan mendefinisikan dirinya. Dalam hal ini pada akhirnya akan membentuk sebuah pengetahuan dikalangan masyarakat dan muncul pula teknik-teknik kontrol tersebut yang disebut sebagai sebuah "power" atau kuasa. Kuasa yang pada akhirnya mendefinisikan pengetahuan melakukan penilaian apa yang baik,dan yang buruk, yang boleh dan tidak boleh, mendisiplinkan dan mengontrol segala sesuatu termasuk seks.

Psikoanalis Sigmund Freud juga menjelaskan bahwa seksualitas adalah naluri manusia, yang satu sisi dapat dikontrol dan di satu sisi lepas kendali. Seksualitas ini ada pada setiap individu. Secara umu seksualitas dipengaruhi oleh interaksi manusia, faktor-faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, sejarah, agama dan spiritual.

Tentu seksualitas yang dapat dikontrol melahirkan aktivitas sosial positif. Namun seksualitas yang tidak dapat dikendalikan pada akhirnya  memproduksi kekerasan seksual. Seksualitas tentu bukan lagi menjadi sesuatu yang tabu saat ini. Hal ini karena mereka dapat dengan mudah mengaksesnya di aplikasi dan media sosial, baik menggunakan perangkat komputer atau laptop, atau dengan smartphone yang kita miliki. 

Tentu dengan kemudahan dalam mengakses aplikasi dan media sosial inilah, konsekuensi sosial atas seksualitas dalam kehidupan masyarakat dapat bisa menjadi sesuatu yang berdampak positif, namun bisa juga berdampak negatif.

Kasus Kekerasan Seksual dan KBGO

Hal yang sangat disayangkan bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia cukup tinggi Dalam laporan komnas HAM, dalam tahun 2015 terdapat laporan kasus kekerasan terhadap perempuan berjumlah 321.752 dan tahun 2019 meningkat sekitar 431.471. Komnas perempuan juga mencatat bahwa 33,1% bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan adalah pelecehan seksual dan pencabulan.

Terlebih kekerasan berbasis gender online juga meningkat dari tahun ketahun pada tahun 2017 terdapat 16 kasus hingga ditahun 2020 terdapat 942 kasus. Hal ini juga menjadi hal yang penting untuk dikritisi.

Mengacu pada naskah akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual pasal 1 (1) kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik. Meskipun RUU tersebut belum disahkan namun penulis menggunakan konsespsi kekerasan seksual.

Kontrol Sosial dan Konflik Sosial Horizontal

Kekerasan seksual di era digital disatu sisi melahirkan kontrol sosial, namun di sisi lain dapat menjadi senjata untuk membunuh karakter personal individu (character assassination) ataupun bahkan hingga ke kelompok sosial dimasyarakat. 

Kita sering menyaksikan banyak berita viral yang mengungkap berbagai praktik kekerasan seksual dalam bentuk sexting ataupun pemberitaan dimedia masa tentang suatu kelompok sosial tertentu. Fenomena ini kemudian menjadi kontrol sosial bagi setiap individu untuk lebih sehat mengendalikan seksualitasnya dan akses internet, produk teknologi, dan berbagai aplikasi dan media sosial.

Karena di era masyarakat digital saat ini, kekuatan media sosial mampu mempercepat akses informasi pada kasus kekerasan seksual yang "tertutup" dan "ditutupi". Dengan menyebarnya arus informasi, maka ini melahirkan tekanan publik kepada negara atau suatu institusi untuk menyelesaikan persoalan kekerasan seksual dengan waktu cepat kepada oknum pelaku kekerasan seksual. 

Apalagi dalam survey IJRS dan INFID 2020 justru kasus kekerasan seksual terjadi di tempat tinggal dan bukan ditempat umum, ini sudah menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan, selain itu kasus kekerasan seksual pun pada akhirnya terjadi pada keonpok-kelompok akademisi yang sudah barang tentu mempunyai pengetahuan terkait itu.

Terlebih di satu sisi dengan berkembangnya kemajuan internet, produk teknologi, dan berbagai aplikasi dan media sosial, kekerasan seksual dalam bentuk sexting dapat menjadi senjata bagi pihak tertentu untuk membunuh karakter seseorang dan kelompok-kelompok sosial tertentu. 

Hal ini dapat tergambarkan pada kasus membuat tampilan palsu atau hoax pada suatu rekayasa pesan yang dapat dibuat dengan bantuan aplikasi tertentu, misalnya Photoshop atau fake WhatsApp. Rekayasa pesan sexting ini kemudian disebarluaskan ke media, dan kemudian secara tidak langsung dapat membunuh karakter individu---Ataupun kita dapat melihat bahwa terjadinya stigma terhadap institusi atau kelompok sosial tertentu maupun profesi tertentu dalam kasus kekerasan seksual dan akhirnya menjadi perdebatan dimasyarakat yang juga menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.

Padahal yang mesti diperhatikan adalah bagaimana perlindungan terhadap korban dan bagaimana pelaku tersebut diadili. Apalagi menurut survey yang dilakukan IJRS dampak terjadinya kekerasan seksual adalah trauma dan rasa malu dan takut bagi korban. Hal ini juga yang menyebabkan korban takut untuk melapor. Atau bahkan ketika melapor apartur negara justru jarang menuntaskan kasus. Terlebih steriotip terhadap perempuan juga masih tinggi, yang beranggapan bahwa kekerasan seksual adalah hal wajar bagi perempuan. Anggapan ini terus dikonstuksi

Dunia Akademik dalam Kekerasan Seksual

Dengan terbitnya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, menjadi senjata untuk memerangi kekerasan seksual yang terjadi, khususnya dalam kehidupan kampus. Dan tentunya kehidupan sosial masyarakat juga harus dijamin oleh Negara untuk bebas dari kekerasan seksual, baik dalam kehidupan masyarakat, dan kehidupan pekerjaan.

Pada konteks kekerasan seksual dalam kehidupan kampus, pelaku-pelaku kekerasan seksual bisa berbagai aktor, dari pimpinan, dosen, pegawai, hingga mahasiswa. 

Sebab bicara mengenai kekerasan seksual, tidak lepas dari mengendalikan seksualitas dan kompleksitas interaksi individu dengan teknologi-internet, aplikasi dan media sosial dalam kehidupannya sebagaimana yang sudah dijelaskan. Kekerasan seksual dalam kehidupan kampus dimulai dari sexting, dan dapat saja berujung pada tindakan fisik.

Untuk itu negara tidak hanya semata-mata melahirkan produk kebijakan (Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021), tetapi juga mensosialisasikan dan menerapkan produk kebijakan tersebut dengan serius. Sosialisasi, pengawasan, dan koordinasi antara pemerintah dengan setiap elemen perguruan tinggi menjadi kunci berhasil atau tidaknya produk kebijakan ini.

Jangan sampai, Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 hanya gagah dalam panggung wacana, namun lesu dalam realitas. Sehingga kekerasan seksual tumbuh subur dalam jelaga produsen ilmu pengetahuan dan moralitas. 

Oleh karena itu pemerintah harus memiliki komitmen atas pelaksanaan kebijakan ini agar tidak terjadi kekerasan seksual yang terus menerus. Dan hal ini tidak hanya dalam dunia akademik, tetapi juga dalam institusi pendidikan dasar dan menengah serta masyarakat umum secara luas. Karena pada dasarnya persoalan kekerasan seksual juga sering terjadi dalam institusi pendidikan dasar dan menengah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun