Mohon tunggu...
Teddy Triyadi Nugroho
Teddy Triyadi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - LP3ES/ Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Cogito Aliquid// Menulislah Dengan Rendah Hati Tausosiologi.id

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Antara Rezim Kuasa, Perang Narasi dan Cyber Troops

29 Oktober 2021   17:43 Diperbarui: 29 Oktober 2021   17:48 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : insideindonesia.org 

Kekuasaan itu mempesona, orang rela menderita demi kekuasaan---Michel Foucault

Seperti pada umumnya tulisan,kita semua pasti akan tertarik dengan judul-judul yang boombastis ,kekinian, dan yang pastinya kontroversial. Hal ini dikarenakan otak manusia sangat menyukai semua hal yang bersifat emosional dan menggebu-gebu. 

Manusia pada dasarnya memiliki sifat rasa ingin tahu yang besar, namun rasa ingin tahu itu tidak disertai dengan daya analisis yang baik sehingga saat ini di era teknologi informasi yang semakin lama semakin massif, kita sering melihat berbagai macam komentar-komentar warganet yang asbun/ asal bunyi. Alhasil berbagai macam konflik terjadi.

Hal ini sebetulnya yang dimanfaatkan oleh para rezim yang berkuasa, untuk sekadar memainkan opini publik untuk mencitrakan suatu hal baik itu golongan tertentu atau individu tertentu. 

Namun apakah kita dapat menyadarinya secara langsung? Tentu hal ini tidak dapat kita jawab saat ini, karena kita juga terlalu sibuk ikut meramaikan dunia maya yang belakangan terjadi perang narasi yang begitu manipulatif. 

Kita telah dihadapkan kepada sebuah ketidakpastian. Manusia tentu tidak menyukai ketidakpastian, dan manusia juga berusaha untuk mencari kepastian tersebut. Hal tersebut tentu wajar, namun yang ditakutkan di era saat ini adalah kepastian tersebut datang dari sebuah entitas baru bernama pasukan siber atau Cyber Troops.

Peran Cyber Troops dan Kekuatan SHARE

Mereka sangat mempunyai peranan vital bagi dunia maya, mereka dapat mengelabui opini publik---membuat kita emosional, sedih, marah ataupun yang lainnya, hanya dalam satu ketukan jari kita akan membagi informasi yang kita terima kepada teman dan keluarga, sehingga sering kali emosi tersebut menyebar, namun hal itu nampaknya wajar. 

Dalam salah satu artikel yang ditulis oleh Angger Putranto dijelaskan bahwa, di era sekarang kekuatan SHARE yang sangat berpengaruh terhadap cepat atau tidaknya sebuah informasi dapat dilihat publik secara massif. Dalam artian semakin besar SHARE yang ada maka semakin cepat pula kita dapat melihat informasi tersebut.

"Semakin banyak warganet yang berkomentar membagikan ulang, dan menyukai sebuah informasi tersebut,semakin banyak pula warganet yang terpapar. Kondisi ini membuktikan berapapun pengikut anda informasi tersebut bisa berdampak"

Kata share tersebut sebenarnya bukan hanya sebuah arti berbagi jika kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia, namun juga merupakan sebuah singkatan. 

Menurut Rhenald Kasali, SHARE merupakan sebuah singkatan dari Story, Hype, Actionable, Relevant, dan Emotional. Hal ini berarti bahwa sebuah informasi dapat dikatakan baik jika memenuhi kriteria tersebut. 

Ini sebenarnya merupakan realitas, dalam beberapa bulan belakangan kita lebih tertarik pada kisah-kisah emosional. Tentu yang dilakukan oleh public figure ataupun influencer dan tentunya dengan bala bantuan pasukan siber.

Politik dan Manipulasi Opini

Jika kita berbicara pada tataran politik hal tersebut menjadi lebih menarik,seperti penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto dan Ward Berenschot mereka melihat bahwa propaganda media sosial di Indonesia tidak mengandalkan 'click farms' atau perusahaan pemasaran digital besar, tetapi dijalankan oleh jaringan yang sangat informal dan cair yang diisi oleh pasukan siber bayaran yang terampil dan pragmatis. Pasukan siber tersebut umumnya berfungsi untuk memperkuat cengkeraman elit pada kekuasaan.

Strategi propaganda ini seperti yang di informasikan oleh insideindonesia.org diwujudkan dalam upaya pemerintah untuk memenangkan dukungan publik terhadap Omnibus Law Cipta Kerja, yang disahkan parlemen pada Oktober 2020 di tengah maraknya aksi online maupun turun kejalan dari mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil.

Menanggapi protes tersebut, Lailuddin Mufti dan Pradipa Rasidi menggambarkan bagaimana agen pemerintah meluncurkan kampanye cyber troops terbesar hingga saat ini, untuk 'menjual' undang-undang pro-bisnis ini kepada publik sebagai berkah bagi kesejahteraan ekonomi bangsa. 

Bagian dari kampanye adalah untuk mendelegitimasi aksi tersebut dan dengan demikian membungkam kritik terhadap Omnibus Law, menggunakan taktik 'kampanye negatif' seperti memfitnah, 'trolling' (pelecehan online) dan 'doxing' (mengekspos informasi pribadi di media sosial) untuk mencemarkan nama baik kritik dan mendiskreditkan klaim mereka.

Hal tersebut sudah banyak terjadi, dan kerap kali menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. Gagasan yang ada di media sosial sering kali mempunyai kepentingan tertentu dari golongan tertentu. Hal ini sangat wajar karena ketika informasi sudah sampai dipermukaan khususnya informasi yang berkaitan tentang perpolitikan nasional sudah barang tentu pasukan siber akan masuk.

Tesis Marx tentang kapitalisme nampaknya masih relevan hingga sekarang bahwa " Jika basis material masyarakat telah dikuasai maka gagasan masyarakat juga akan dikuasai" , hal tersebut telah terjadi saat ini dan masih sangat relevan. 

Pemilik modal atau yang biasa kita sebut oligarki nampaknya mempunyai banyak cara untuk menguasai gagasan di masyarakat yang salah satunya adalah mengerahkan pasukan siber.

Kekuasaan Yang Mempesona

Seperti dalam kutipan diatas bahwa kekuasaan memang sangat mempesona, orang rela melakukan apapun untuk memperkuat cengkraman kekuasaannya. Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa alokasi anggaran negara untuk digital marketing semakin meningkat dari tahun ketahun. Ini memberikan bukti bahwa aktivitas digital saat ini sangatlah penting.

Namun sangat disayangkan bahwa pasukan siber yang kian signifikan dalam proses kebijakan publik melahirkan pada akhirnya melahirkan pertarungan narasi yang tidak sehat, karena diaktivasi untuk pembentukan opini publik semata dan menjauhkan perdebatan publik yang sehat (berbasis data, ilmiah, evidence base, terukur, objektif, keahlian spesifik, berbasis riset). Padahal mestinya seluruh masyarakat mesti berfikir analitis dan tidak asal berkomentar, sehingga jauh dari konflik horizontal masyarakat.

Kekuasaan mestinya digunakan untuk memberikan kebenaran dan kebergunaan sosial bagi masyarakat jangan sampai perihal kekuasaan saja dapat menghancurkan masyarakat secara langsung. ini yang mestinya dievaluasi oleh pemerintah agar keberlangsungan harmonisasi masyarakat dapat meningkat.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun