Tahun 2024 sepertinya menjadi tahun terbaik bagi Prabowo Subianto. Tidak hanya berhasil menang pada Pilpres di versi hitung cepat bersama Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden RI Joko Widodo---Prabowo juga menerima pangkat jenderal kehormatan pada Rapat Pimpinan TNI-POLRI di Mabes TNI, Cilangkap pada Rabu, 28 Februari. Sejak diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP) pada Agustus 1998, otomatis karir Prabowo berakhir. Pangkat Letnan Jenderal dengan tiga bintang di pundak jadi capaian akhirnya sebagai prajurit. Kini Prabowo berhak berbangga, empat bintang telah resmi berada di pundaknya. Prabowo pun juga berhak dipanggil Jenderal. Siap Jenderal! Hehe.
Pasang Surut Hubungan Jokowi-Prabowo
Relasi antara dua tokoh berpengaruh di republik ini memang mengalami pasang surut. Prabowo adalah salah satu tokoh penting yang memuluskan jalan Jokowi untuk menjejakkan kaki di Ibu Kota. Gerindra sebagai partai pimpinan Prabowo, menjadi salah satu partai pengusung Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Duduk sebagai Gubernur DKI Jakarta, figur Jokowi semakin dikenal publik dengan terobosan yang kini menjadi trademark-nya, yakni 'blusukan'. Popularitas dan elektabilitas tinggi berhasil mengantarkan Jokowi melangkah ke kontestasi politik tertinggi di republik ini---Pilpres 2014.
Berpasangan dengan Jusuf Kalla---politisi senior Golkar, Jokowi harus berhadapan dengan Prabowo Subianto, salah satu tokoh berjasa dalam karir politiknya. Pada Pilpres 2014, Jokowi berhasil memperpanjang rekor kemenangannya selama mengikuti pemilihan langsung. Jokowi-JK yang memperoleh suara 53,15 persen, berhasil mengungguli pasangan Prabowo-Hatta yang hanya memperoleh suara 46,85 persen untuk melangkah dan berkantor di Istana Merdeka. Kemenangan atas Prabowo kembali diperoleh Jokowi yang pada Pilpres 2019. Berpasangan dengan Ma'ruf Amin, Jokowi kembali unggul dengan perolehan suara 55,50 persen, sedangkan lawannya, Prabowo-Sandi harus puas kembali menelan kekalahan dengan perolehan suara 44,50 persen.
Berbeda dengan periode 2014-2019, pada periode kedua kepemimpinan Jokowi, Gerindra tidak lagi berperan sebagai oposisi. Kali ini Jokowi memilih untuk merangkul Prabowo dan Gerindra untuk masuk ke pemerintahan. Ketua Umum Gerindra ini pun diberikan kursi Menteri Pertahanan di kabinet---salah satu jabatan strategis di pemerintahan.
Pemilu 2024 kembali menjadi saksi hubungan antara Jokowi dan Prabowo. Jelang menyentuh garis akhir kompetisi, Jokowi tampak menggunakan segala cara untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024 dalam satu putaran. Jokowi kerap kali mengajak Prabowo dalam berbagai lawatannya ke daerah-daerah. Dugaan penggunaan pork barrel politics atau politisasi bansos, penggunaan fasilitas negara di masa kampanye, pengerahan aparat guna mendukung salah satu paslon oleh pemerintah pun menjadi beberapa isu penting yang mewarnai carut marutnya Pemilu 2024.
Meski berbagai kebijakan Jokowi belakangan ini menuai banyak kritikan, namun hal tersebut nyatanya tidak mempengaruhi kepuasan masyarakat terhadap kinerjanya. Tingkat approval rating yang menurut temuan dari Data Riset Analitika mencapai 81,7 persen meski di penghujung masa jabatan, menjadi salah satu kunci kesuksesan Jokowi mengantarkan pasangan Prabowo-Gibran pada kemenangan satu putaran. Menurut hasil hitung cepat Kompas, pasangan nomor urut dua ini berhasil memperoleh suara sebesar 58,47 persen---jauh mengungguli dua pesaingnya.
Kebaikan Jokowi Tidak Gratis
Keberpihakan Jokowi memberi pengaruh besar terhadap pengambilan keputusan rakyat dalam memilih calon presiden dan wakilnya pada Pemilu 2024. Keberpihakan tersebut jelas-jelas memberi keuntungan bagi Prabowo yang untuk pertama kalinya berhasil meraih kemenangan pada Pilpres. Dipasangnya Gibran sebagai wakil presiden memberi keyakinan pada rakyat bahwa representasi Jokowi dapat ditemukan pada pasangan ini. Kemenangan satu putaran yang diraih pasangan Prabowo-Gibran adalah wujud Jokowi Effect masih menjadi faktor kunci kemenangan dalam Pemilu.
Endorse, kebijakan-kebijakan, hingga anugerah pangkat jenderal kehormatan yang diterima Prabowo dari Jokowi harus dilihat dari sudut pandang politik. Mengingat mereka kini sedang menari di panggung politik nasional. Dalam ilmu politik ada sebuah teori yang bernama patron-klien yang dipopulerkan oleh James Scott.
Scott menyebutkan bahwa relasi patron-klien merupakan hubungan timbal balik antara dua pihak---pihak yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimiliki untuk memfasilitasi serta mellindungi pihak dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah. Sehingga hal ini kemudian menciptakan hubungan timbal balik yang tidak seimbang antara patron dan klien.
Dilihat dari sudut pandang relasi patron klien, khususnya dalam konteks Pemilu 2024, Jokowi memainkan peran sentral sebagai Presiden RI yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi dibanding Prabowo. Jokowi dengan pengaruh dan sumber daya yang dimiliki dapat memfasilitasi, melindungi, serta memberi keuntungan bagi Prabowo yang saat ini berstatus sebagai pembantunya di kabinet dan sedang bertarung dalam Pilpres 2024. Pemberian pangkat jenderal kehormatan kepada Prabowo juga terasa personal, mengingat pada tahun 1998 Prabowo harus rela meninggalkan ABRI di saat jabatan Panglima ABRI mungkin saja akan diraihnya dalam beberapa langkah saja.
Penulis menduga, segala bantuan yang diberikan Jokowi kepada Prabowo, termasuk penganugerahan pangkat jenderal kehormatan menjadi langkah politik strategis Jokowi dalam upayanya tetap memiliki pengaruh kuat di kalangan elit politik setelah tidak memimpin lagi. Prabowo yang memerlukan segala bantuan Jokowi dipaksa harus menerima segala 'kebaikan' Jokowi untuk dapat mewujudkan mimpi berkantor di Istana Merdeka. Melalui berbagai bantuan dan pangkat jenderal kehormatan tersebut, Jokowi 'memaksa' Prabowo untuk terus mengingat kebaikannya---besar kemungkinan ini adalah cara Jokowi menumbuhkan loyalitas Prabowo.
Pensiun dengan rasa aman dan tetap eksis dalam percaturan politik nasional tentu menjadi harapan Jokowi. Tetapi, berbeda dengan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono yang tetap eksis karena memiliki kendaraan yang bernama partai politik---Jokowi tidaklah memiliki kendaraan tersebut. Meski anak bungsunya menjadi ketua umum partai, tetapi partai tersebut tampaknya belum mampu menembus tingginya parliamentary threshold. Sehingga langkah-langkah yang diambil Jokowi hari ini bisa dinilai sebagai langkah untuk tetap menanamkan pengaruhnya di pemerintahan selanjutnya.
Pertanyaan selanjutnya, apakah langkah-langkah politik yang sudah diambil oleh Jokowi terhadap Prabowo Subianto berhasil menanamkan pengaruh besar dan menciptakan loyalitas Prabowo dan seluruh pihak yang menjadi bagian di pemerintahan lima tahun ke depan? Atau justru Indonesia akan kembali melihat penghianatan besar di panggung politik Indonesia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H