keamanan dalam sebuah negara sangat dibutuhkan dalam menjaga tetap utuhnya stabilitas nasional. Dalam memenuhi peran tersebut diperlukan sebuah institusi negara dalam menjamin terciptanya tujuan tersebut. Militer hadir sebagai bentuk patriotik terhadap negara sehingga dalam proses seharusnya inheren dengan kepentingan keamanan nasional.Â
Sistem pertahanan danMiliter adalah alat negara untuk mencapai tujuan negara, baik itu internasional maupun lokal yang diberikan legalitas untuk melakukan kekerasan bahkan kepada penduduk sipilnya yang dianggap pemerintah membahayakan eksistensi negara (Amanah, n.d.).Â
Secara historis, pembentukan militer di Indonesia memiliki keunikan dibandingkan dengan militer negara lain, karena terbentuk melalui proses kemerdekaan. Perjuangan ini tidak hanya didasarkan dalam bentuk perjuangan fisik tetapi keterlibatan militer secara informal juga memiliki peran penting dalam penyusunan strategi pendirian bangsa indonesia.Â
Dalam karya The army and Politics in Indonesia, Harold mencatat bahwa sejak awal pendirian militer tidak pernah menganggap dirinya sebagai instrumen negara yang peduli terhadap masa keamanan.Â
Sebaliknya, TNI selalu mendefinisikan dirinya sebagai kekuatan militer dan kekuatan sosial-politik Indonesia. Hal ini kemudian berimplikasi kepada tidak adanya batasan eksplisit yang dapat melihat fungsi militer dan politik. Dalam proses perkembangan politik Indonesia, militer mewujudkan sebuah konsep yang disebut dengan Dwifungsi yang muncul sebagai akibat dari peranan sosial politik oleh militer dan kristalisasi ideologi yang menopang tugas tersebut (Sundari, 2017).Â
Kekosongan jabatan yang di tinggal Belanda pada saat itu, memaksa perusahaan-perusahaan milik belanda dinasionalisasi dengan penempatan golongan militer di dalamnya. Djiwandono dalam bukunya berargumen bahwa konsep Dwifungsi merupakan evolusi ketidaksukaan terhadap Demokrasi Liberal yang dianggap lebih mengarah pada individualistis sehingga tidak sesuai dengan konsep keindonesiaan yang berdasarkan pada asas kekeluargaan dan gotong royong.
Konsep Dwifungsi pertama kali diungkap A.H nasution pada saat menjabat sebagai Menpangad. Dia menyatakan bahwa posisi TNI di Indonesia tidak bisa mereplikasi konsep di negara Barat, yang mana posisinya hanya sebagai alat pemerintahan atau dibawa kontrol sipil, tetapi juga tidak seperti di negara Amerika Latin yang memposisikan militer sebagai kekuasaan monopoli, melainkan TNI adalah tentara yang hidup berdampingan dengan rakyat.Â
Oleh karena itu, ide A.H Nasution kemudian dikenal dengan konsep "Jalan Tengah". Ide Nasution mendapat angin segar setelah keberhasilan militer dalam menumpas pemberontakan di beberapa wilayah tanah air dan kemudian diimplementasikan oleh Bung Karno dalam Demokrasi Terpimpin. Akar Dwifungsi kemudian dapat tumbuh pada masa itu dan pada masa Orde Baru mendapatkan legalitasnya.Â
Dwifungsi semakin mendapat legitimasi sejak keberhasilan militer dalam menumpas pemberontakan G30 S PKI 1965. Hal ini kemudian yang mengidentifikasikan bahwa Dwifungsi dapat dibenarkan bagi para pejuang kemerdekan.Â
Orde Baru mentransformasikan ABRI sebagai mesin politik untuk kepentingan dan keamanan Soeharto, dalam bentuk mencegah personel militer dalam melakukan kritik terhadap Soeharto, dan menempatkan militer dalam MPR dan DPR, sebagai Fraksi ABRI, serta penempatan militer dalam pos-pos ranah sipil (Singh, 2001).Â
Sikap politik otoritarian tersebut kemudian berimplikasi kepada dominasi militer dalam lembaga struktural negara. Akibatnya kekuatan sipil tidak dapat menunjukan eksistensinya dalam mereduksi kekuatan hegemonik militer. Kekuatan sipil seharusnya benar-benar dapat dimaksimalkan dan meminimalkan kekuasaan militer.Â
Secara konseptual, struktur politik yang demokratis selalu ditandai oleh adanya supremasi sipil, dimana militer harus mengabdikan dirinya secara profesional pada keputusan-keputusan politik sipil (Sujito, 2002).
Setelah runtuhnya hegemoni Orde baru yang berkuasa selama 32 tahun. Salah satu bentuk tuntutan reformasi adalah penghapusan Dwifungsi ABRI yang dianggap melemahkan supremasi sipil. Dengan adanya gerakan sipil 98 perubahan ke arah demokratisasi dan penguatan supremasi sipil dapat disuarakan.Â
Terdapat faktor internal dan eksternal yang menjadi perubahan militer pasca Orde Baru. Faktor eksternal dipengaruhi berkembangnya demokrasi di Indonesia, tuntutan kelompok reformis, dan kebijakan produk hukum. Faktor internal dipengaruhi oleh kesadaran internal TNI sebagai sikap apresiatif internal ABRI dan juga adanya desakan perkembangan lingkungan (Amanah, n.d.).Â
Berhembusnya gelombang reformasi juga turut berpartisipasi dalam membuka ruang yang lebih besar bagi pembahasan tentang wacana hubungan sipil militer yang dikaitkan dengan proses demokrasi (Setiawan et al., 2013). Samuel Huntington mengemukakan dua model konsep yang menjelaskan bagaimana kontrol sipil dilakukan. Kontrol sipil subyektif yaitu meminimalisasi kekuasaan militer dan memaksimalkan kekuasaan kelompok-kelompok sipil.Â
Dalam kontrol sipil obyektif supremasi sipil meminimalkan intervensi militer dalam kegiatan politik atau dengan kata lain mengakui otoritas sipil dalam merumuskan dan mengawasi implementasi kebijakan di bidang pertahanan. Mengurangi intervensi militer lebih mengarah kepada kondisi kondusif menuju perilaku profesional.
Salah satu sudut pandang dalam menilai hubungan sipil militer adalah dengan cara melihat kontrol sipil terhadap militer. Konsep kontrol sipil lebih diartikan bagaimana meminimalkan power atau kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok militer.Â
Dalam mengawasi tetap berjalannya demokrasi diperlukan instrumen yang berada pada tataran konstitusional termasuk perundang-undangan, institusional dan operasional. Dalam mendukung prasyarat tersebut dibutuhkan dukungan kerangka konstitusi yang benar, parlemen yang berfungsi, pemerintahan sipil yang bisa mengatur, kekuasaan kehakiman, organisasi militer, masyarakat sipil yang matang, publik yang terdidik, elit militer dan elit politik yang profesional, serta pejabat publik yang percaya diri dan memiliki kompetensi yang cukup (Kardi, 2015).Â
Menurut Pion-Berlin upaya demokratisasi relasi sipil militer melalui penyusunan institusi yang menempatkan otoritas sipil pada kedudukan yang lebih tinggi daripada militer mengacu pada empat prinsip penting. Pertama, memperkuat kehadiran kalangan sipil dalam mengatur persoalan negara.Â
Kedua, memperkuat Kementerian Pertahanan (Kemhan) sebagai institusi negara yang merepresentasikan otoritas sipil dalam urusan pertahanan dan keamanan. Ketiga, Menurunkan otoritas militer secara vertikal. Keempat, tetap terpecahnya kekuasaan militer. Unifikasi dan sentralisasi kekuasaan militer berdasarkan prinsip ini harus dihindarkan.
Hubungan sipil militer harus dapat dirumuskan atau didefinisikan dengan jelas dan diimplementasikan di Indonesia dengan menitikberatkan kepada kepentingan Nasional. Militer sebagai bagian dari masyarakat indonesia atau bagian warga negara merupakan alat negara oleh karenanya posisi militer harus dependent (tergantung) pada keputusan pimpinan politik atau sipil (Setiawan et al., 2013). Kendali dan kontrol masyarakat sipil kemudian direpresentasikan melalui keberadaan lembaga perwakilan rakyat. Kontrol seperti ini didefinisikan sebagai bentuk kontrol sipil yang bersifat subjektif.Â
Kebijakan atau berbagai keputusan dengan tujuan penggunaan dan mobilisasi instrumen kekerasaan terkait dengan permasalahan pertahanan keamanan negara maupun keamanan masyarakat merupakan produk politik sipil (Sujito, 2002).Â
Oleh karena itu dalam proses konstitusi sudah semesti dan seharusnya melalui rangkaian persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan model konsep demikian, maka diharapkan militer sebagai bagian dari institusi negara hanya menjadi agen operasional atau pelaksana profesional di lapangan dan diikuti dengan bentuk mekanisme pertanggungjawaban ke ranah publik sebagai bentuk transparansi.Â
Dengan terciptanya iklim kondusif seperti ini, maka diharapkan relasi sipil militer dapat berjalan harmonis melalui mekanisme pembagian tugas yang sesuai dengan kompetensi dan proporsi masing-masing institusi. Di satu sisi, bentuk keterlibatan militer merupakan sikap demokrasi militer yang merupakan bagian dari masyarakat sipil.Â
Jika militer dilarang untuk dapat mengakses dunia politik, maka yang hadir adalah akan menodai proses demokrasi yang sedang dilakukan dan perjuangkan (Sundari, 2017). Oleh karena itu, untuk menciptakan iklim yang harmonis dan kondusif antara institusi negara diperlukan sikap kolaboratif guna mencapai kepentingan nasional.Â
Hal ini akan melihatkan keseriusan dan sikap saling percaya antar komponen negara dalam menjamin wadah demokrasi yang ada. Satu hal yang disyukuri dengan kelahiran ABRI membawa arah yang baru untuk mewujudkan profesionalisme TNI sebagai penjaga kedaulatan demokratisasi Indonesia.
Daftar Pustaka
Amanah, R. D. (n.d.). POLITICS MILITARY IN POST-NEW ORDER INDONESIA. 1--13.
Azwar, A., & Suryana, M. J. (2021). Dwifungsi TNI dari Masa ke Masa. Jurnal Academia Praja, 4(1), 154--179. https://doi.org/10.36859/jap.v4i1.182
Kardi, K. (2015). Demokratisasi Relasi Sipil--Militer pada Era Reformasi di Indonesia. MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 19(2), 231--256. https://doi.org/10.7454/mjs.v19i2.4703
Setiawan, D., Octavianus, C., Janis, D., Winadi, G., Abdullah, Y., Umasugi, T., & Suyuti, H. (2013). Perkembangan Hubungan Militer Dengan Sipil di Indonesia. Global & Policy, 1(1), 74--83.
Singh, B. Civil-Military Relations in Democratising Indonesia: The Potentials and Limits to Chage. Australian National University. 2001. Hal.107
Sujito, A. (2002). Gerakan demiliterisasi di era transisi demokrasi:Peta Masalah dan Pemanfaatan peluang. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 6(1), 121--138.
Sundari, S. Kerjasam Sipil-Militer Dalam Mendukung Sistem Pertahanan Negara. In Terakata. 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H