Pertama, soal partipasi "semu". Partisipasi yang saya maksud ini berkaitan dengan tingkah laku beberapa anggota Pramuka yang tidak bersikap seperti yang dituliskan dalam Dasadharma Pramuka. Khususnya, dalam bersikap memanusiakan manusia.
Beberapa waktu lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kasus anggota Pramuka yang dipaksa untuk makan dengan beralaskan tanah. Kasus tersebut bahkan sampai terdengar oleh Ketua Kwarnas Pramuka saat itu, Adhyaksa Dault.
Semenjak kasus "makan beralas tanah" mencuat, Pramuka mendapat stigma negatif dari sebagian para murid sekolah. Stigma tersebut juga muncul karena tingkat senioritas yang cukup tinggi, dan metode pelatihan yang diberikan senior cukup "ekstrim".
Meskipun tidak semua Pramuka sekolah memiliki pelatihan yang "ekstrim" dan anggotanya tidak semua seperti itu, namun kasus pelatihan "ekstrim" yang bertebaran di internet sepertinya cukup untuk membuat para siswa parno untuk masuk ekstrakurikuler Pramuka.
Selain itu, beberapa netizen mengirimkan beberapa foto kegiatan yang melibatkan anggota Pramuka yang tidak menerapkan Dasadharma-nya di lingkungan masyarakat. Salah satunya perihal timbunan sampah saat kegiatan Pramuka.
Walau kebenarannya masih simpang siur, banyak warganet yang menyebarkan "kesalahan" tersebut karena tidak sesuai dengan apa yang mereka anggap benar.
Butuh bukti? Coba Anda buka situs komedi dalam negeri, 1cak.com, lalu cari "anak coconut" di kolom pencarian situs tersebut.
Hasil dari stigma tersebut, kini anggota Pramuka seringkali dipanggil dengan sebutan "anak coconut" di media sosial, yang terilhami dari lambang Gerakan Pramuka yang berupa tunas kelapa.
Tak hanya memantau dari media sosial, masalah ini pernah saya diskusikan dengan beberapa orang yang punya pengalaman buruk dengan kegiatan Pramuka. Cerita mereka saya siarkan dalam Pandu Podcast, serial podcast yang membahas isu-isu pemuda dan masyarakat dari sudut pandang Pramuka.
Ada cerita Indra dari Bekasi, yang pernah diancam tidak akan naik kelas saat masih menempuh kursi sekolah gara-gara tidak menjadi anggota Pramuka. Ketika saya wawancara, Indra sudah menginjak semester 6 di kampusnya sekarang. Ada juga cerita dari Kaliandra di Bandung, yang pernah didiskrimidasi oleh pelatih Pramuka saat SD dulu karena dianggap "berbeda" oleh teman-teman dan pelatih Pramukanya.
Berbagai unggahan media sosial dan cerita dari narasumber saya tersebut seakan menyajikan fakta pilu soal kegiatan Pramuka yang ternyata tercemar oleh "pembalasan dendam", intimidasi, dan diskriminasi. Kemana citra kegiatan Pramuka yang selama ini dikenal sebagai kegiatan yang ceria dan tak memandang perbedaan?