Mohon tunggu...
Politik

Indonesia: Sebuah Orkestra yang Kehilangan Keharmonisannya

14 Februari 2017   22:17 Diperbarui: 14 Februari 2017   22:32 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia adalah negara yang memiliki sejarah yang sangat kaya dan panjang. Oleh karena itu, marilah kita tengok kembali peristiwa-peristiwa bersejarah berikut ini:

1336: Gadjah Mada mengucapkan Sumpah Palapa saat beliau diangkat sebagai Patih Amangkubhumi Majapahit dimana beliau bersumpah untuk tidak akan beristirahat sebelum dapat mempersatukan seluruh Nusantara. 

Era kolonialisme (1602 – 1945): Bangsa Indonesia, dari segala suku, etnis, dan agama di seluruh penjuru Nusantara, berjuang dan bertumpah darah melawan penjajah demi kemerdekaan Indonesia.

1928: Pemuda-pemuda dari berbagai organisasi kepemudaan di seluruh Indonesia berkumpul di Batavia dan merumuskan Sumpah Pemuda dimana mereka mengakui satu tanah air (Indonesia), satu bangsa (Indonesia), dan satu bahasa (Bahasa Indonesia).

1945: Bung Hatta mengubah sila pertama Pancasila, "KeTuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya", menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" karena menyadari bahwa perbedaan dan keberagaman agama di Indonesia harus dirawat dan dihargai.

Menurut saya, berdasarkan keempat peristiwa signifikan dalam sejarah bangsa Indonesia tersebut, sebuah quote dari Presiden keempat Indonesia, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak dapat dibantahkan, yakni "Indonesia ada karena perbedaan". Indonesia lahir dari berbagai ras, suku, dan agama yang berbeda-beda yang kemudian bersatu karena persamaan nasib. Indonesia bagaikan sebuah orkestra, yang terdiri atas alat-alat musik yang menghasilkan bunyi-bunyi yang berbeda, dan saat dimainkan bersama-sama, menghasilkan sebuah lagu yang indah.

Pada ajang World School International Forum yang diadakan di Jepang pada 23 Oktober 2016 hingga 4 November 2016, saya bersama dengan dua orang delegasi Indonesia lainnya menggunakan diversitas dan keberagaman kebudayaan Indonesia sebagai selling pointdalam mempromosikan negara kita. Sesuai dengan ekspektasi kami, para pengunjung booth Indonesia merasa sangat kagum dan terpesona dengan indahnya kebudayaan Indonesia yang begitu beragam dan eksotis. Dengan ini, saya menjadi sadar bahwa keberagaman kebudayaan negara kami bukanlah sebuah kelemahan yang dapat memecahkan kesatuan bangsa, akan tetapi keberagaman ini sesungguhnya yang menjadi kekuatan kami dan jati diri berdirinya NKRI. Hal ini diwujudkan dengan semboyan negara kami, yakni “Bhinekka Tunggal Ika” yang artinya tentunya sudah kita semua ketahui: berbeda-beda tapi SATU.

Akan tetapi, sepulangnya saya dari ajang World School International Forum, saya sangat kaget dengan kondisi toleransi di Indonesia yang berubah sangat drastis. Orkestra Indonesia mulai kehilangan keharmonisannya. Toleransi akan keberagaman kebudayaan dan agama di Indonesia, yang baru saya bangga-banggakan di depan orang-orang Jepang dan delegasi dari lebih dari 20 negara yang ikut serta dalam World School International Forum,menjadi sangat rendah dan untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya menjadi sangat khawatir akan persatuan Indonesia. Semua ini terjadi hanya karena perkataan gubernur non-aktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang dimisinterpretasikan dan disunting sehingga dianggap menista agama. Anehnya, orang-orang yang berada dalam TKP sama sekali tidak menganggap bahwa perkataan Pak Ahok itu menistakan agama mereka, tetapi organisasi ekstrimis Front Pembela Islam (FPI) bersikeras bahwa hal tersebut merupakan kasus penistaan agama dan kemudian mengadakan aksi besar-besaran hingga bahkan menuntutnya ke pengadilan. Ternyata, anggapan saya selama ini bahwa bangsa Indonesia, sesudah melewati berbagai peristiwa yang mengancam persatuannya (seperti peristiwa DI/TII, peristiwa Mei 1998, dan Gerakan Aceh Merdeka), sudah menjadi bangsa yang toleran sangatlah salah.

Kasus Pak Ahok yang dianggap menista agama ini kemudian memicu serangkaian peristiwa yang juga mengancam persatuan Indonesia. Kebencian, intoleransi, dan rasisme menjadi marak di antara masyarakat Indonesia. Peristiwa-peristiwa seperti penodaan Pancasila yang dilakukan Habib Rizieq Shihab dan pembubaran sebuah ibadah perayaan Natal di Bandung hanya meningkatkan kekhawatiran saya akan persatuan NKRI. Peristiwa-peristiwa ini mengingatkan saya sebuah quote dari salah satu idola saya, Bung Karno. Beliau pernah berkata, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Siapa yang sangka bahwa ramalan Bung Karno ini kemudian terealisasi?

Kondisi persatuan Indonesia saat ini sungguh memalukan apabila kita bandingkan dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat. Meskipun Amerika Serikat tidak menganut semboyan Bhinekka Tunggal Ika, masyarakatnya jauh lebih toleran dari pada masyarakat Indonesia. Peristiwa pembunuhan Michael Brown, seorang berkulit hitam (ras minoritas di Amerika Serikat) yang tidak bersalah di Ferguson, Missouri sangat dikecam oleh masyarakat Amerika Serikat. Mereka bahkan melakukan demonstrasi besar-besaran dan menuntut agar hak-hak kaum minoritas dihargai. Hebatnya, yang ikut dalam demonstrasi ini tidak hanya kaum minoritas saja, tetapi sangat banyak juga yang berasal dari kaum mayoritas berkulit putih. Mereka sadar bahwa meskipun warna kulit mereka berbeda, tetapi sesungguhnya mereka semua adalah warga negara Amerika Serikat yang sama-sama membela konstitusi, sama-sama membela negara, dan sama-sama membayar pajak serta berkontribusi bagi negara. 

Solidaritas warga negara Amerika Serikat tidak berakhir di situ. Mereka juga menunjukkan solidaritas yang sungguh luar biasa terhadap kaum minoritas seperti pada peristiwa tragis penembakan kaum LGBT di sebuah klub malam di Orlando, Florida dan perintah eksekutif Presiden Donald Trump yang melarang masuknya warga dari tujuh negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Mengapa kondisi toleransi dalam Indonesia jauh lebih buruk dengan kondisi toleransi di sebuah negara yang bahkan tidak menganut semboyan Bhinekka Tunggal Ika? Apakah kita perlu dijajah lagi agar kita dapat kembali bersatu, seperti halnya para pahlawan perjuangan yang sama sekali tidak memandang perbedaan yang ada dalam melawan penjajah?

Saudara-saudariku yang kukasihi, saya rasa bahwa negara ini sangat membutuhkan revolusi mental. Marilah kita bersama merawat perbedaan yang ada dalam masyarakat kami dan mengapresiasikannya sebagai sebuah hal yang dapat kami banggakan. Perbedaan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan terbesar yang dimiliki bangsa Indonesia. Bagi generasi muda, ingatlah bahwa kita adalah penerus bangsa kami yang tercinta. Masa depan bangsa ada di tangan kita, begitu pula dengan nasib keutuhan NKRI. Saya optimis bahwa rasisme, kebencian, intoleransi, dan paham radikalisme semuanya dapat dihapuskan dari Indonesia.

Sekali lagi, marilah kita #bersamamerawatperbedaan !

“If we cannot now end our differences, at least we can help make the world safe for diversity” – John F. Kennedy

Teddy Antonius Wongkar

17, Pelajar di SMA Kolese Kanisius, “100% Katolik, 100% Indonesia” - Mgr. Albertus Soegijapranata

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun