“Ibu, jadi kan, kita menanam wortel di kebun kakek?” tanyaku kepada ibu yang sedang menyeduh teh.
Sore ini kami berada di rumah kakek, di kaki Gunung Slamet, Baturraden. Libur sekolah kali ini, ayah dan ibu mengajak aku dan adikku belajar bercocok tanam di rumah kakek.
“Tentu saja dik, mudah-mudahan cuaca cerah,” jawab ibu sambil menyuguhkan teh di meja.
“Semua ikutkan bu?” tanyaku kepada ibu.
“Tentu saja dik,” jawab ayah yang tiba-tiba datang dari belakang.
“Kek? Bagaimana sih, cara menanam wortel?” tanyaku memegang cangkir berisi teh hangat.
Memang, sore itu di Baturraden sedang diguyur hujan. Begitu juga dengan rumah kakek. Kami berkumpul di ruang keluarga, dekat dengan jendela samping rumah.
“Begini dik, sebelum ditanam, tanah petanaman terlebih dahulu dicangkul halus dan digemburkan. Setelah itu, sebelum bibit ditanam, terlebih dahulu diberi pupuk kandang dan diratakan,” jawab kakek usai meminum teh hangat.
“Bedengan tanah perlu diberi alur-alur dengan jarak sekitar 15 cm dan barulah ditutupi tanah kembali,” kata nenek menyambung ucapan kakek.
Aku dan adikku semakin terperangah mendengar penjelasan kakek dan nenek. Hujanpun semakin lebat. Kami semakin asyik dengan obrolan yang menarik ini. Bakwan, salah satu makanan khas daerah tersebut menjadi menu hidangan percakapan kami.
“Nek? Ini kok dalamnya ada wortel?” tanyaku memegang bakwan.
“Ya, biar kamu makin sehat. Karena wortel banyak mengandung vitamin A,” jawab nenek menglutit pinggang sebelah kanan.
“Nenek! Geli nek!”
“Hahaha biar kamu awet muda!” celoteh nenek.
“Kekek! Tadi belum selesai, setelah itu ngapain lagi kek?” tanyaku melihat isi dalam cangkir yang semakin habis.
Ayah dan ibu berada pada kursi yang di depan kakek dan nenek, sementara aku dan adikku berada di dekat kakek dan nenek. Rintikan hujan yang jatuh tepat di atas genting kian bertambah deras. Jendela yang berada tepat di sampingku tertutup rapat. Aku semakin penasaran dengan cerita kakek. Lalu, ku ambil tehpoci yang sedari tadi menunggu untuk dihidangkan.
“Kakek lanjut lagi ya?” ucap kakek.
“Ya, kek,” balasku sembari bersiap mendengarkan penjekasan dari kakek.
“Biji-biji bibit wortel yang bagus, artinya dari pohon yang sehat, subur, dan tidak cacat. Biji wortel yang halus dan lembut itu biasanya menggumpal antara satu dengan lainnya, sehingga waktu menanamnya perlu dicampur pasir agar mudah terlepas. Kadang-kadang dapat juga digosok-gosok dengan tangan sehingga mudah terlepas. Pembibitan wortel juga perlu kelembaban. Oleh karena itu, tanah yang telah ditanami perlu ditutup lapisan jerami atau rumput-rumputan. Selain menimbulkan kelembaban, upaya ini juga mencegah atau menahan banyaknya curahan air hujan jika secara kebetulan penanaman dilakukan pada saat musim hujan,” jelas kakek sembari mengisi ulang teh yang berada di cangkir.
“Dua minggu setelah penyebaran bibit, biji-biji akan mulai bertunas. Pada umur satu bulan, tanaman wortel dijarangkan. Sisa-sisa tanaman berjarak kira-kira 5 cm. Pemupukan wortel umumnya menggunakan ZA dan ZK dalam perbandingan 2 dan 1 dan pada usia 3 bulan umbi wortel sudah dapat dipanen. Oleh karena itu, dalam tempo satu tahun biasanya para petani wortel dapat menanam dan memanen wortel dua atau tiga kali, seperti kakek ini. Penanaman wortel langsung di tanah bedengan. Jadi, penanaman wortel tidak harus melalui pesemaian terlebih dahulu,” sambung kakek.
Begitu hangat penjelasan dari kakek, tidak terasa, hujan sudah berhenti dengan sendiri.
“Kek, hujannya sudah reda kek,” ucapku riang.
“Wahh iya dik, oya dik, kalau panen wortel itu dilakukan pada saat umbi wortel masih muda. Jika terlambat memanennya, umbi akan menjadi keras dan mengayu. Umbi wortel semacam ini tidak akan laku dijual di pasaran, sebab tidak enak dimakan,” pungkasnya.
Keesokan harinya aku dan adikku pergi ke kebun, kami diajari menanam wortel. Berkat penjelasan dari kakek, kamipun bisa menanamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H