Mohon tunggu...
TBIO 1 Santi
TBIO 1 Santi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Khas Jember

Tadris Biologi 1

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas Perawinya

20 April 2022   23:49 Diperbarui: 20 April 2022   23:54 3433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Meskipun sudah sepakat untuk mengamalkan hadits ahad tapi mereka berbeda pendapat dalam hal menentukan syarat mengamalkan hadits ahad, salah satu golongan Hanafiyyah yakni Imam Al-Sarakhsi mewajibkan perawinya fakih, Sedangkan dari golongan Syafiiyyah yakni Imam Al-Ghazali tidak mewajibkannya. 

Dari perbedaan pendapat ini lalu masuk ke pembahasan filsafat khususnya dalam kajian epistemologi, dilihat dari pemikiran dua tokoh ini. Inti dari perbedaan pendapat dalam hal ini adalah apakah hadits ahad yang diamalkan karena kebenaran dari hadits tersebut, atau pengamalan hadits tersebut karena ada penegasan agar mengamalkannya. 

Maka dikarenakan hal tersebut Imam AlSarakhsi mewajibkan perawi yang faqih karena terhubung dengan isi ataupun sighat, sementara Imam Al-Ghazali tidak mewajibkan perawi harus fakih, karena menurut beliau syarat tersebut tidak realistis. Lalu kesaman kedua tokoh ini yaitu setuju bahwasannya hadits ahad tidak dapat menghasilkan ilmu.

  1. Pembagian Hadits Ahad

Jika sebelumnya dijelaskaan pembagian adits ditinjau dari banyak sanadnya dikelompokkan jadi dua bagian, yaitu mutawatir dan ahad, maka hadits ahad sendiri dikelompokkan jadi tiga bagian, yakni hadits masyhur, hadits aziz, dan hadits gharib :

  • Hadits Masyhur

Kata "masyhur" berdasarkan bahasa yakni isim maful berasal dari kata kerja "syahara" yang bermakna "az-zhuhur", yakni konkret. Sementara menurut istilah ilmu hadits pengertian hadis masyhur yaitu : 

"Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih pada setiap tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkat Mutawatir" 

Dari pengertian di atas sudah dijelaskan bahwasannya hadits masyhur merupakan hadits yang mempunyai perawi paling sedikit tiga orang, dan jumlah perawi tersebut wajib ada di setiap tingkatan sanadnya. 

  • Hadits Aziz

Aziz secara bahasa yaitu sifat musyabbahat dari kata 'Azza - Ya'izzu yang memiliki arti qalla dan nadara, yakni "sedikit" dan "Jarang". Juga berasal dari kata 'Azza-Ya'azzu yang memiliki arti qawiya dan isytadda, yakni "kuat" dan "sangat" 

Menurut istilah ilmu hadits, aziz berarti : 

"Bahwa tidak kurang perawinya dari dua orang pada seluruh tingkatan sanad."Maksud dari hadits tersebut yaitu satu hadits yang diriwayatkan oleh dua orang Sahabat.

Pengertian di atas menjelaskan bahwasannya hadits aziz adalah hadits yang perawinya tidak boleh kurang dari dua orang di setiap tingkatan sanad-nya, akan tetapi boleh lebih dari dua orang, seperti tiga orang, empat, atau lebih dengan syarat pada salah satu tingkatan sanad, perawinya harus ada yang terdiri dari dua orang. Hal ini agar bisa dibedakan dari hadits masyhur .

  • Hadits Gharib 

Gharib artinya "Yang asing, yang jauh, yang aneh, yang susah dipaham". Menurut istilah, "Satu hadits yang diriwayatkan dengan satu sanad atau satu hadits yang seorang rawi menyendiri di dalam meriwayatkannya meskipun setelah itu menjadi masyhur".21 Maksudnya adalah hadits yang perawinya seorang diri. Dapat di masing-masing generasi dari semua generasi sanadnya, maupun sebagian generasi sanad atau bisa juga hanya satu generasi saja. Meskipun banyaknnya perawi lebih dari satu orang di generasi lainnya hal itu tidak akan mengelirukan hadits gharib, Lantaran yang dibuat standar adalah yang paling minimum. Maka dapat disimpulkan dari penjelasan di atas, bahwasannya masing-masing hadits yang diriwayatkan oleh satu rawi, bahkan di setiap tingkatan sanadnya ataupun hanya sebagian tingkatan sanad saja, atau bahkan hanya satu tingkatan sanad saja. Maka tetaplah hadits tersebut hadits gharib. Ulama juga banyak memakai nama lain untuk hadits gharib, diantaranya "Al-Fardu" masing-masing mempunyai arti yang sama. Tetapi ada juga sejumlah ulaman yang membedakannya. Contohnya, Al-Hafidh Ibnu Hajar menurut beliau masing-masing hadits itu sama saja, baik dari segi bahasa ataupun istilah. Meskipun pendapat beliau seperti itu, beliau tetap mengatakan: "ahli istilah (maksudnya adalah ahli hadits) telah membedakan keduanya dilihat dari sisi banyak dan sedikitnya penggunaan". Dinamakan hadits fard lantaran banyak dipergunakan untuk hadits yang mutlak. Sementara hadits gharib kebanyakan digunakan untuk hadits yang nisbi . 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun