PERNYATAAN Presiden Joko Widodo terkait 'larangan' politik identitas dan politisasi agama oleh kandidat calon presiden dan calon wakil presiden pada kontestasi akbar politik 2024 masih menjadi pembicaraan hangat.Â
Pernyataan Jokowi, yang diyakini bercermin dari pengalaman Pilpres 2019, mestinya juga menjadi bahan diskursus menarik bagi publik, pencerahan dalam menjadikan Pilpres, Pileg dan Pilkada serentak 2014 jauh lebih baik dan kondusiv dari 2019.
Dalam hemat penulis, walau pernyataan tersebut ditujukan untuk bakal calon capres dan cawapres yang akan bertarung di Pilpres 2024, namun tetap merupakan sentilan bagi partai-partai politik yang terlibat secara langsung dalam kontestasi 2024.
Bukankah partai-partai politik juga yang memilih, menentukan atau mengeksekusi kandidat capres dan cawapres tersebut, baik sendiri-sendiri atau pun melalui koalisi yang dibentuk. Pemilu di Indonesia memungkinkan terciptanya koalisi dari partai atau sejumlah partai, sebagaimana dinamika menuju Pilpres, Pileg dan Pilkada serentak 2024.
Mengingat eskalasi yang cenderung menghangat di tahun-tahun politik ini sangat mungkin pula jika pernyataan tentang wajib ditinggalkannya politik identitas dan politisasi SARA, terutama agama, akan kembali diingatkan Jokowi di waktu-waktu mendatang.
Seyogyanya pula jika semua partai peserta Pemilu 2024 mengamini pernyataan tersebut, guna menghindari eskalasi yang lebih menajam ke saat-saat dan sewaktu Pemilu 2024 dilaksanakan, khususnya pemilihan presiden pada Februari 2024.
Dalam konnteks itu publik mencermati dan mengapresiasi tanggapan dari partai-partai yang menyebut bahwa pernyataan Jokowi sangat tepat, seperti yang disampaikan elit Golkar, PPP, PKS dan Gerindra.
Golkar melalui Ace Hasan Syadzily menegaskan bahwa arahan Presiden Jokowi sejalan dengan komitmen partai serta parpol mitranya di Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).
Ketua DPP Partai Golkar itu menegaskan bahwa pemilu 2024 mestinya memang mengedepankan adu gagasan dan program, bukan justru mempolitisasi SARA. Pemilu harus dijadikan ajang mengadu gagasan dan program yang ditawarkan kepada rakyat, bukan mempolitisasi SARA untuk kepentingan elektoral. Artinya, aspirasi rakyat yang harus diutamakan.
Sebagaimana dikutip dari Kompas.com, Ace mengenang pelaksanaan pemilu sebelumnya yang pernah mencuatkan politisasi agama, yang mengakibatkan perpecahan bangsa. Ace mengajak berbagai pihak agar melihat background, rekam jejak atau latar belakang figur yang akan dipilih saat pemilu nanti. Secara umum, itu tidak hanya untuk Pilpres, namun juga Pileg dan Pilkada serentak.
Dia mengingatkan pengalaman dari kampanye Pilpres, Pileg maupun Pilkada sebelumnya bahwa politisasi SARA terutama agama mengakibatkan polarisasi yang berakibat juga pada perpecahan bangsa.
Partai harus mengedepankan aspirasi masyarakat sebagai pemilih, sementara partai memberikan pencerahan berupa preferensi kepada masyarakat tentang figur yang layak dipilih, dengan mencermati rekam jejaknya, pengalamannya, kapasitasnya, kemampuannya, dan sisi positif dari kinerjanya.
Dalam pandagan Gerindra, politisasi agama rentan menimbulkan perpecahan. Dia juga mengingatkan bahwa politik identitas sangat merugikan, rentan menimbulkan perpecahan. Penggunaan politik SARA, terutama agama, hanya akan menimbulkan polarisasi di masyarakat.
Setiap kontestasi, apalagi Pilpres, memang rawan menimbulkan polarisasi. Namun, polarisasi karena politik idenditas sedapat mungkin dihindari. Apalagi di masa pasca pandemi dan potensi ancaman resesi yang dikhawatirkan turut mendera Indonesia, dampak politisasi agama bukan hanya memecah belah. Melainkan juga bakal berimbas ke ancaman ekonomi global.
Elit PPP meyakini Pemilu 2024 akan lebih baik dari sebelumnya jika partai-partai peserta pemilu memang menghindari berbagai hal yang berpotensi menimbulkan perpecahan. Dalam kaiatan itu, PPP menyebut agama harusnya menjadi pemersatu.
Pesan-pesan agama untuk menjadi pemersatu bukan untuk memecah-belah kesatuan bangsa. Bagaimana nilai-nilai agama dijadikan dasar untuk mempersatukan semua anak bangsa. Spirit agama menjadi pemersatu nilai-nilai kebangsaan.
Seperti dikutip dari Kompas.com, elit PKS menegaskan bahwa politisasi agama pada Pemilu 2024 wajib dihindari. Agama itu sumber nilai, agama mesti dijadikan kompas moral. Politik mesti dilakukan dengan cara yang baik. Tujuan baik harus dengan cara yang baik.
PKS bersama PAN, PPP dan PKB merupakan partai-partai politik islam. Seperti umum diketahui, empat partai politik islam ini tidak pernah berada dalam koalisi tunggal poros islam, baik di Pemilu 2014, 2019 dan juga kemungkinan besar di Pemilu 2024.
Menuju Pemilu 2024, PAN dan PPP sudah berhimpun dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama Golkar. PKB sudah 'menyatu' dengan Gerindra dalam Koalisi Indonesia Raya (KIR), sementara PKS masih bingung menentukan pilihan, apakah tetap bergabung dengan NasDem dan Demokrat untuk membangun Koalisi Perubahan (KP). PKS disebut-sebut masih ditarik-tarik oleh KIB dan KIR.
Merujuk pada sejarah dan pemberitaan media, wacana tentang pembentukan koalisi antar empat partai berbasis islam itu (PAN, PPP, PKB dan PKS) selalu dikemukakan pada saat menjelang pemilihan presiden.
Entah mengapa wacana itu selalu gagal diwujudkan, dan kembali suara umat Islam terpecah pecah ke dalam bangunan koalisi nasional yang dimotori oleh partai partai lain yang tidak mengusung calon presiden dari kalangan partai Islam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H