Selain itu, pemerintah juga dapat mempertimbangkan untuk menerapkan teknologi blockchain dalam sistem perpajakan kripto. Teknologi blockchain dapat meningkatkan transparansi, keamanan, dan efisiensi dalam pelaporan dan pembayaran pajak kripto.
Indonesia saat ini tengah menggalakkan upaya untuk memperkuat kerangka perpajakan terkait aset kripto. Salah satu langkah penting adalah implementasi Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022, yang mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto. Pemerintah juga aktif menjalin kerja sama internasional dalam perpajakan kripto, termasuk bergabung dalam kerangka kerja Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk mengatasi tantangan perpajakan ekonomi digital.
Dengan adanya upaya-upaya ini, diharapkan Indonesia dapat menciptakan sistem perpajakan kripto yang efektif, adil, dan transparan, sehingga dapat mengoptimalkan potensi pendapatan negara, meskipun sulit memberikan angka pasti, beberapa perkiraan menunjukkan bahwa pajak kripto dapat meningkatkan APBN secara signifikan.Â
Sebagai contoh, data terbaru dari Kementerian Keuangan mencatat realisasi pungutan pajak Industri Kripto memberikan sumbangsih sebesar Rp 798,84 sampai dengan Juni 2024. Penerimaan tersebut berasal dari Rp 246,45 miliar penerimaan tahun 2022, Rp 220,83 miliar penerimaan tahun 2023, dan Rp 331,56 miliar penerimaan 2024.Â
Penerimaan pajak kripto tersebut terdiri dari Rp 376,13 miliar penerimaan PPh 22 atas transaksi penjualan kripto di exchanger dan Rp 422,71 miliar penerimaan PPN DN atas transaksi pembelian kripto di exchanger. Hal ini membuktikan industri kripto tidak hanya berperan penting dalam inovasi teknologi dan keuangan, tetapi juga berkontribusi terhadap pendapatan negara.
Bagaimana Pengenaan Pajak Kripto di Negara Lain?
Untuk dapat mengetahui apakah kebijakan pajak kripto di Indonesia dapat dikatakan ideal, tentu saja kita harus melakukan perbandingan dengan kebijakan dari negara-negara lainnya terkait pengenaan pajak kripto.Â
Salah satunya Malaysia, yang merupakan negara tetangga Indonesia, tidak mengenakan pajak kripto terhadap keuntungan modal yang dimana sebagian besar pajak mata uang kripto di Malaysia bebas pajak. Â Namun, The Malaysian Inland Revenue Board menyatakan bahwa transaksi kripto hanya dibebaskan dari pajak jika bersifat tidak rutin atau berulang.Â
Dengan kata lain, apabila wajib pajak secara aktif memperdagangkan mata uang kripto atau jika tindakannya menggolongkannya sebagai pedagang harian, maka harus membayar pajak penghasilan dengan tarif sebesar 3% hingga 30% dari pendapatan, tergantung pada tingkat pajaknya. Sebagai tindakan preventif, Malaysia meluncurkan operasi khusus yang disebut "Ops Token" untuk meningkatkan administrasi pajak dan memerangi penghindaran pajak dalam perdagangan kripto.
Tidak cukup berbeda dengan salah satu negara ASEAN lainnya yang terkenal dengan kebijakan ramah kripto, yaitu Thailand. Pemerintah Thailand mengumumkan pembebasan PPN yang sebelumnya dikenakan PPN dengan tarif 7%. Pembebasan PPN atas transaksi aset kripto berlaku sejak 1 Januari 2024, tanpa ada batas waktu.Â
Selain itu,pemerintah Thailand juga mengenakan pajak penghasilan (PPh) Final atas keuntungan dari kripto dengan tarif sebesar 15%. Skema tarif PPh Final terhadap kripto ini jauh lebih berpihak pada sisi investor dibandingkan apabila dikenakan tarif PPh orang pribadi yang bersifat progresif.Â