Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena penggunaan cryptocurrency di Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang signifikan. Cryptocurrency, terutama Bitcoin, Ethereum, dan sejumlah altcoin lainnya, semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia, baik sebagai alat investasi maupun metode pembayaran. Pertumbuhan ini sejalan dengan tren global dan didorong oleh faktor-faktor seperti adopsi teknologi yang cepat, meningkatnya minat investasi, dan kemudahan akses ke platform perdagangan digital.
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat jumlah investor kripto di Indonesia meningkat. Pada Januari 2024, investor kripto dalam negeri 18,83 juta dan pada Februari meningkat menjadi 19 juta. Bappebti juga melaporkan, nilai transaksi aset kripto Indonesia mencapai Rp49,82 triliun pada Mei 2024. Sejak awal 2024, nilai aset transaksi kripto Indonesia naik 130,96% secara (year-to-date/ytd) dari Januari 2024 yang sebesar Rp21,57 triliun.
Nilai Transaksi Aset Kripto Indonesia (Januari 2023-Mei 2024)
Dengan adanya hal tersebut, cryptocurrency dapat menjadi sumber pendapatan yang signifikan bagi negara. Namun, untuk mengoptimalkan pendapatan ini, diperlukan regulasi yang jelas dan koordinasi antara berbagai lembaga pemerintah. Saat ini, pemerintah telah resmi mengenakan pajak atas perdagangan aset kripto di Indonesia sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) dengan peraturan pelaksana teknis melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022 Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto.Â
Berdasarkan PMK 68 Tahun 2022 tarif PPN kripto dan PPh kripto ditetapkan sebesar:
PPN
Sebesar 0,11% atas perdagangan aset kripto dari nilai transaksi dalam hal penyelenggara perdagangan adalah Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK).
Sebesar 0,22% atas perdagangan aset kripto dari nilai transaksi dalam hal penyelenggara perdagangan bukan oleh PFAK.
Sebesar 1,1% atas jasa mining dari nilai konversi aset kripto dan jasa mining sudah terdapat verifikasi transaksi aset.
PPh
Tarif PPh Pasal 22 Final atas penghasilan perdagangan aset kripto sebesar 0,1% dari nilai aset kripto (jika merupakan PFAK) dikenakan pada penjual perdagangan aset kripto.
Tarif PPh Pasal 22 Final atas penghasilan perdagangan aset kripto sebesar 0,2% dari nilai aset kripto (jika bukan PFAK).
Tarif PPh Pasal 22 Final atas penghasilan penambangan aset kripto sebesar 0,1% dari penghasilan yang diterima penambang aset kripto (miner), tidak termasuk PPN.
Tarif kripto dengan besaran tertentu
Pada Pasal 16 ayat (1) PMK 68/2022, PPN atas penyerahan jasa verifikasi transaksi aset kripto dan/atau jasa manajemen kelompok penambang aset kripto (mining pool), PPN yang dipungut dan disetor dengan besaran tertentu.
Besaran tertentu PPN adalah sebesar 10% dari tarif PPN dikali dengan nilai berupa uang atas aset kripto yang diterima oleh penambang aset kripto, termasuk aset kripto yang diterima dari sistem aset kripto (block reward).
Penerapan pajak kripto di Indonesia meskipun berpotensi meningkatkan pendapatan negara, juga menghadapi sejumlah tantangan signifikan. Salah satu tantangan utama adalah volatilitas harga kripto yang tinggi. Harga kripto dapat berfluktuasi secara drastis dalam waktu singkat, sehingga menyulitkan penentuan nilai pajak yang akurat dan adil. Selain itu, sifat anonimitas dan desentralisasi kripto juga menimbulkan kesulitan dalam pelacakan transaksi dan identifikasi wajib pajak.
Kripto perlu dikenakan pajak karena Pajak kripto dapat menjadi sumber pendapatan baru yang signifikan bagi negara. Dengan semakin populernya investasi kripto, potensi pendapatan pajak dari sektor ini juga meningkat. Pendapatan ini dapat digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan dan layanan publik. Namun, tantangan lainnya adalah kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai pajak kripto. Banyak investor kripto yang belum sepenuhnya memahami kewajiban perpajakan mereka, termasuk jenis pajak yang berlaku, tarif pajak, dan tata cara pelaporan. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpatuhan pajak dan hilangnya potensi pendapatan negara.
Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah Indonesia perlu mengambil beberapa langkah konkret. Pertama, perlu adanya sosialisasi dan edukasi yang lebih intensif kepada masyarakat mengenai pajak kripto. Pemerintah dapat bekerja sama dengan platform perdagangan kripto, asosiasi blockchain, dan media massa untuk menyebarkan informasi yang akurat dan mudah dipahami mengenai kewajiban perpajakan kripto.
Kedua, pemerintah perlu memperkuat sistem pengawasan dan penegakan hukum terkait pajak kripto. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Bappebti, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam melacak transaksi kripto dan mengidentifikasi wajib pajak yang tidak patuh.
Ketiga, pemerintah perlu terus mengembangkan regulasi perpajakan kripto yang lebih komprehensif dan adaptif terhadap perkembangan teknologi. Regulasi ini harus mencakup aspek-aspek seperti definisi aset kripto, jenis pajak yang berlaku, tarif pajak, tata cara pelaporan, dan sanksi bagi wajib pajak yang tidak patuh.Â
Selain itu, pemerintah juga dapat mempertimbangkan untuk menerapkan teknologi blockchain dalam sistem perpajakan kripto. Teknologi blockchain dapat meningkatkan transparansi, keamanan, dan efisiensi dalam pelaporan dan pembayaran pajak kripto.
Indonesia saat ini tengah menggalakkan upaya untuk memperkuat kerangka perpajakan terkait aset kripto. Salah satu langkah penting adalah implementasi Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022, yang mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto. Pemerintah juga aktif menjalin kerja sama internasional dalam perpajakan kripto, termasuk bergabung dalam kerangka kerja Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk mengatasi tantangan perpajakan ekonomi digital.
Dengan adanya upaya-upaya ini, diharapkan Indonesia dapat menciptakan sistem perpajakan kripto yang efektif, adil, dan transparan, sehingga dapat mengoptimalkan potensi pendapatan negara, meskipun sulit memberikan angka pasti, beberapa perkiraan menunjukkan bahwa pajak kripto dapat meningkatkan APBN secara signifikan.Â
Sebagai contoh, data terbaru dari Kementerian Keuangan mencatat realisasi pungutan pajak Industri Kripto memberikan sumbangsih sebesar Rp 798,84 sampai dengan Juni 2024. Penerimaan tersebut berasal dari Rp 246,45 miliar penerimaan tahun 2022, Rp 220,83 miliar penerimaan tahun 2023, dan Rp 331,56 miliar penerimaan 2024.Â
Penerimaan pajak kripto tersebut terdiri dari Rp 376,13 miliar penerimaan PPh 22 atas transaksi penjualan kripto di exchanger dan Rp 422,71 miliar penerimaan PPN DN atas transaksi pembelian kripto di exchanger. Hal ini membuktikan industri kripto tidak hanya berperan penting dalam inovasi teknologi dan keuangan, tetapi juga berkontribusi terhadap pendapatan negara.
Bagaimana Pengenaan Pajak Kripto di Negara Lain?
Untuk dapat mengetahui apakah kebijakan pajak kripto di Indonesia dapat dikatakan ideal, tentu saja kita harus melakukan perbandingan dengan kebijakan dari negara-negara lainnya terkait pengenaan pajak kripto.Â
Salah satunya Malaysia, yang merupakan negara tetangga Indonesia, tidak mengenakan pajak kripto terhadap keuntungan modal yang dimana sebagian besar pajak mata uang kripto di Malaysia bebas pajak. Â Namun, The Malaysian Inland Revenue Board menyatakan bahwa transaksi kripto hanya dibebaskan dari pajak jika bersifat tidak rutin atau berulang.Â
Dengan kata lain, apabila wajib pajak secara aktif memperdagangkan mata uang kripto atau jika tindakannya menggolongkannya sebagai pedagang harian, maka harus membayar pajak penghasilan dengan tarif sebesar 3% hingga 30% dari pendapatan, tergantung pada tingkat pajaknya. Sebagai tindakan preventif, Malaysia meluncurkan operasi khusus yang disebut "Ops Token" untuk meningkatkan administrasi pajak dan memerangi penghindaran pajak dalam perdagangan kripto.
Tidak cukup berbeda dengan salah satu negara ASEAN lainnya yang terkenal dengan kebijakan ramah kripto, yaitu Thailand. Pemerintah Thailand mengumumkan pembebasan PPN yang sebelumnya dikenakan PPN dengan tarif 7%. Pembebasan PPN atas transaksi aset kripto berlaku sejak 1 Januari 2024, tanpa ada batas waktu.Â
Selain itu,pemerintah Thailand juga mengenakan pajak penghasilan (PPh) Final atas keuntungan dari kripto dengan tarif sebesar 15%. Skema tarif PPh Final terhadap kripto ini jauh lebih berpihak pada sisi investor dibandingkan apabila dikenakan tarif PPh orang pribadi yang bersifat progresif.Â
Tujuan pemerintah Thailand menerapkan skema kebijakan ini adalah untuk membuat investasi aset digital di Thailand lebih menarik dan diharapkan mampu mendorong gairah masyarakat untuk berinvestasi lebih banyak. Namun, tentu saja dengan diterapkannya skema ini berpotensi untuk mengurangi penerimaan pemerintah pajak Thailand. Sikap proaktif Thailand terhadap perpajakan kripto menjadi acuan bagi negara-negara lainnya, termasuk Indonesia yang masih menavigasi perpajakan keuangan digital yang kompleks untuk menentukan kebijakan yang ideal.
Berikut adalah perbandingan kebijakan perpajakan terkait kripto antara Malaysia, Thailand, dan Indonesia yang dapat memudahkan untuk dipahami.
Penulis :
- Mohamad Salman Al Farisy
- Belgis Putrianti
- Zahra Aulia Syafa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H