Mohon tunggu...
Iqbal Tawakal
Iqbal Tawakal Mohon Tunggu... Konsultan - Rumah Perubahan

Siang Konsultan. Malam Kuli Tinta Jadi-Jadian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orang Tua

22 Januari 2016   10:52 Diperbarui: 22 Januari 2016   11:33 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: michaelwilsonblog.com"][/caption]

Saya senang menonton serial televisi asing. Hampir selalu saya luangkan waktu untuk mencari referensi serial TV berkualitas melalui mesin pencari dan referensi teman-teman yang memiliki minat serupa. Hingga mata saya terpaku pada serial baru berjudul Master of None karya Aziz Ansari. Serial ini cukup berbeda dibanding serial arus utama lainnya. Ide cerita berasal dari berbagai hal sepele yang sering kali dilewatkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pada suatu episode, sang tokoh utama menceritakan bagaimana hubungannya dengan ayahnya. Suatu ketika, tipikal seorang ayah pada umumnya, Ia meminta tolong kepada anaknya, sang tokoh utama, untuk membantunya mengoperasikan tablet miliknya. Lalu dengan cepat si anak menolak membantunya dengan alasan Ia harus segera pergi menonton bersama seorang teman. Setelah agenda menonton selesai, sang anak mendapat pesan singkat dari ayahnya untuk ikut minum teh bersama menyambut teman ayahnya yang sedang bertamu. Sang tokoh utama merasa kesal dan mencari cara, termasuk mengajak temannya, agar Ia memiliki alasan untuk undur diri sesegera mungkin dari jamuan tersebut.

Arogansi seorang anak

Saya tergelitik melihat adegan tersebut. Otoreaksi seperti ini saya sadari murni karena ada yang tersinggung dalam diri saya. Entah itu karena saya merasa apa yang saya lihat sama sekali tidak mencerminkan diri sendiri, atau malah nurani saya telah tertangkap basah dan mengakui bahwa saya juga pernah melakukan hal serupa.

Beberapa tahun terakhir saya memang berada cukup berjarak dengan kedua orang tua. Beban studi memaksa saya untuk hanya dapat sesekali saja menjenguk mereka. Tentu saja ketika kesempatan tersebut tiba, saya upayakan sebaik mungkin untuk tidak menyelipkan kegiatan apapun, selama periode kunjungan tersebut, yang dapat mengganggu pertemuan saya dengan mereka. Setiap waktu sebisa mungkin saya habiskan di rumah untuk membantu beberapa pekerjaan rumah dan sedikit mengobrol dengan mereka.

Pelaksanaan rencana memang tidak selalu berjalan dengan baik. Selain saya selalu gagal melakukan rencana pertama tersebut, saya juga sering mengalami masalah komunikasi dengan orang tua. Adalah wajar jika orang tua, yang setelah beberapa waktu ditinggal pergi, menagih cerita dan bertanya kabar. Sesekali menanyakan kemajuan dari beberapa kesibukan yang sedang saya tekuni. Sesekali pula berupaya masuk untuk memberi sedikit pandangan dan pertimbangan lain untuk apa yang hendak saya kerjakan kemudian. Dan ternyata mendengar itu semua bukan hal yang mudah. Tampak dari luar saya berusaha menyimak dan mencerna apa yang diterima. Tampak dari dalam logika akal saya berontak sedemikian rupa menolak itu semua mentah-mentah.

Namun, saya harus mengakui, setiap fase kehidupan memiliki ciri yang khas. Ciri yang unik dan tersendiri. Ciri ini, meski saya lebih senang menyebutnya sebagai arogansi, menjadi karakter yang melekat dan tampak jelas ketika harus berinteraksi dengan orang lain. Tidak terkecuali pada hubungan antara orang tua dan anaknya. Orang tua memiliki arogansinya tersendiri. Begitu juga dengan anak-anak mereka. Hal tersebut merupakan bagian dari dinamika komunikasi yang wajar. Meski pada titik tertentu, batas-batas wajar tersebut dapat saling bersinggungan dan menegasikan satu sama lain.

Arogansi seorang ayah dan seorang ibu, misalnya, sangat wajar terjadi dalam komunikasi verbal dan non-verbal. Orang tua memiliki begitu banyak pengalaman dan kearifan, nilai-nilai anutan dan peristiwa-peristiwa yang menjadikan mereka dirinya yang sekarang. Bahwa mereka sering memberi nasehat kepada anaknya adalah bagian dari naturnya. Meski demikian, orang tua juga memiliki kekurangan dan keterbatasan kemampuan. Ini terjadi bisa karena memang orang tua telah tumbuh dan dewasa di zaman yang berbeda, atau boleh jadi karena orang tua merasa kesulitan untuk beradaptasi dan menyerap hal-hal baru. Meski harus diakui para orang tua kini sedapat mungkin berupaya untuk itu.

Sementara itu, seorang anak juga memiliki arogansinya tersendiri. Mereka hidup di zaman peralihan, dinamis, dan sedang berusaha mencari jati dirinya di tengah rimba modernitas. Kondisi ini tidak selalu mudah. Ini membuat seorang anak sedapat mungkin harus segera memperoleh posisi dan daya tawar yang besar. Seorang anak sering tergesa-gesa untuk hal tersebut. Seorang anak lupa bahwa apa yang mereka cari membutuhkan cukup waktu dan persiapan yang tidak instan. Dalam kondisi yang lebih buruk, arogansi ini dapat menihilkan peka dan nurani.

Kedua arogansi tersebut sekurangnya dapat berjalan beriringan. Namun, keduanya bisa saling bersinggungan hingga bertolak belakang satu dengan yang lain. Keterbatasan kemampuan orang tua bertemu dengan ketergesa-gesaan seorang anak. Apa yang terjadi kemudian adalah sang anak sulit menerima nasehat orang tua. Hal-hal berikutnya yang dikatakan oleh orang tua akan selalu dianggap tidak sejalan dengan idealisme seorang anak. Anak memandang dirinya selalu punya pertimbangan matang, berani menerima resiko, dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya. Seorang anak tidak mampu melihat dengan jernih maksud mulia di balik nasehat orang tua. Bahwa orang tua memiliki kesalahan-kesalahan di masa lalu dan berharap anaknya tidak mengulangi kesalahan serupa adalah hal lain yang gagal dimengerti oleh ketergesa-gesaan seorang anak. Hal-hal seperti ini yang selalu luput dari kepekaan nurani saya sebagai seorang anak yang keras kepala.

Luput nurani ini membawa saya pada fase di mana saya sama sekali tidak memperhitungkan dan mempertimbangkan nasehat, menganggap remeh uluran tangan orang lain, hingga selalu mencari cara untuk menghindar dari mereka. Ini tentu tidak tampak dari luar bagaimana saya berlaku dan merespon situasi. Namun, mekanisme pertahanan diri dari dalam begitu kuat untuk sebisa mungkin menolak. Dari dalam, apa yang dilakukan, ditawarkan, dan dikatakan oleh orang lain, khususnya orang tua, adalah sedemikian payahnya bagi saya.

Saya masih ingat betul, beberapa tahun lalu, seorang teman baik pernah bercerita bagaimana hubungannya dengan orang tuanya, terutama ibunya. Bagaimana ibunya sering menanyakan kabar kepadanya dan memberi sinyal-sinyal yang seolah berkata “Pulang, nak.” Saat itu saya menarik kesimpulan, orang tua tidak membutuhkan apapun dari seorang anak. Bahwa sang anak sedemikian rupa melakukan ini itu, berusaha mendapatkan pencapaian materil dan non-materil, dengan alasan untuk membahagiakan kedua orang tuanya adalah nol besar. Orang tua tentu telah merasakan dan melewati semua itu. Dengan modal kepercayaan diri semu dan pengalaman yang pas-pasan, saya selalu melihat kebahagiaan orang tua dapat diukur dengan materi, apa yang bisa dilihat dan dirasakan langsung. Hingga saya melewatkan poin terpenting dari kebahagiaan tersebut. Saat itu pula saya menduga, kebahagiaan orang tua kepada anaknya adalah ketika mereka mengetahui anak-anaknya dalam kondisi baik, selamat, dan sesegera mungkin dapat kembali menemani mereka di rumah. 

Pada adegan berikutnya, sang tokoh utama bersama seorang temannya menghadiri jamuan tersebut. Di sana mereka mulai bercerita banyak hal, mulai dari perkembangan karier sang tokoh utama, hingga cerita-cerita dari masa lampau tentang perjuangan masa muda ayahnya yang sama sekali tidak mudah. Tidak mengherankan, cerita-cerita yang diperdengarkan merupakan cerita yang baru pertama kali didengar oleh mereka. Sang tokoh utama dan temannya pun berinisiatif untuk menjamu kedua orang tua mereka dalam suatu acara makan malam yang istimewa di akhir pekan.

Arogansi seorang anak memiliki pengaruh yang begitu kuat dalam mengaburkan kenyataan. Meski kenyataan tersebut selama ini tepat berada di depan mata. Melihat adegan tersebut, saya menyadari masih banyak hal yang belum saya mengerti dan ketahui dari kedua orang tua saya. Bagaimana orang tua, pada masanya, bekerja keras demi memberikan kehidupan yang baik untuk anak-anaknya. Bahwa orang tua pernah mengalami getirnya kehidupan agar anak-anak mereka tidak perlu mengalami hal yang serupa di kemudian hari. Bagaimana orang tua bisa sampai pada titik di mana mereka berada sekarang. Semua itu masih tersembunyi dan tak pernah diceritakan secara gamblang. Atau bahkan tidak akan pernah diungkap sampai kapanpun sehingga saya benar-benar tidak sempat untuk mengucapkan terima kasih kepada mereka.

 

MOCHAMMAD IQBAL TAWAKAL
Twitter: @sitawakal
Email: miqbaltawakaal@gmail.com

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun