Mohon tunggu...
TauRa
TauRa Mohon Tunggu... Konsultan - Rabbani Motivator, Penulis Buku Motivasi The New You dan GITA (God Is The Answer), Pembicara Publik

Rabbani Motivator, Leadership and Sales Expert and Motivational Public Speaker. Instagram : @taura_man Twitter : Taufik_rachman Youtube : RUBI (Ruang Belajar dan Inspirasi) email : taura_man2000@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

No Way! Ini 3 Alasan Pendapatan Suami Harus Lebih Besar

12 Desember 2020   07:04 Diperbarui: 12 Desember 2020   20:04 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suami idealnya punya penghasilan lebih besar untuk kebahagiaan pasangan dan keluarga (pixabay.com)

Jika ada yang memberikan excuse kalau pendapatan suami wajar dan tidak masalah di bawah istri, maka bisa jadi orang itu sedang berada dalam situasi yang demikian, atau minimal akan berada dalam situasi itu.

Mudah? tentu saja tidak. Apakah situasi itu ideal? tentu juga tidak. Laki-laki sudah menjadi kewajibannya sebagai pencari nafkah. Lebih luas lagi, dia kepala keluarga. 

Coba pikirkan sejenak, kalau ada seorang "kepala" yang kalah (dalam artian luas, kalah pendapatannya dll) penghasilannya dengan anggota yang di pimpinnya. Idealnya, "kepala" dengan segala hak dan tanggung jawabnya, tentu harus mendapatkan dan menghasilkan lebih banyak di bandingkan orang selain kepala.

"Iya, tapi kan sekarang zaman sulit, suami-istri harus bekerja.." 

"Iya, ini kan zamannya emansipasi wanita, ga papa dong kalau pendapatan istri lebih besar dari suami.."

Kita semua ada di situasi yang sama. Benar kalau zaman tidak mudah. Tidak ada salahnya kalau suami istri bekerja. Tetapi ingat, pendapatan suami memang seharusnya untuk keluarga, sedangkan pendapatan istri adalah miliknya dan tidak ada kewajibannya untuk menafkahi keluarga, kalau membantu adalah hal yang berbeda.

Emansipasi? Tolong kita sebagai pria, jangan berlindung di balik istilah ini. Semua sepakat kalau perlu ada emansipasi dalam berbagai bidang, termasuk dalam hal memperoleh pekerjaan (antara laki-laki dan perempuan) dan seterusnya. Tetapi apakah dengan alasan ini, kita (para pria) dengan mudah dan legowo kalau kebutuhan rumah tangga dicukupkan dengan pendapatan istri? 

Kalau iya, maka cobalah merenung sejenak. Jangan-jangan status Anda sudah berubah menjadi "bapak rumah tangga". Anyway, muncul pertanyaan selanjutnya yang sangat penting, kenapa para suami memang seharusnya memiliki pendapatan yang lebih besar di banding istrinya?

Berikut akan kita ulas (minimal) 3 alasannnya. Mari kita lihat lebih dekat.

1. Suami Adalah Contoh

Salah seorang teman dan juga tetangga saya, sepulangnya dari kantor, dia tidak langsung pulang ke rumahnya, sehingga dalam beberapa kesempatan acara di lingkungan rumah kami, dia baru kelihatan pada saat malam sudah menjelang larut.

Suatu hari, ketika kami bertemu, saya bertanya dengan tetangga saya tadi,

"Mas, kok jarang kelihatan sekarang sepulang jam kerja..? ada proyek lain kah?" tanya saya ringan.

"Iya, mas. Pulang kerja saya lanjut ngojek. Ya, lumayan untuk nambah-nambah penghasilan.." balasnya.

"Lah, kan istri juga kerja mas..?" lanjut saya

"Iya, mas. Tapi masak iya, pakai uang istri kalau mau beli ini itu. Semua kan tanggung jawab saya, mas..!" balasnya santun.

Kagum. Itu adalah pikiran yang langsung keluar di kepala saya. "Ini baru kepala keluarga.." saya ngomong dalam hati.

Bagaimana dia bertanggung jawab terhadap istri dan keluarganya adalah hal yang patut di contoh. Dia merasa dan meyakini bahwa dialah sebagai suami yang harus menjadi contoh dalam banyak hal seperti kerja keras dan lain sebagainya.

Kalau kemudian istri juga bekerja, maka itu adalah untuk "tambahan" dan tidak seharusnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, apalagi sampai membiayai semua kebutuhan yang ada.

Pertanyaannya kemudian adalah, sudah bisakan kita menjadi contoh dalam hal kerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga kita? kita tentu yang paling tahu jawabannya.

2. Suami Adalah Penanggung Jawab

Jangan pernah anggap enteng ijab-kabul dalam pernikahan itu. Dalam bahasa sederhana, makna dari ijab-kabul lebih kurang begini :

"Wahai suami anakku (kata ayah istri kita), sekarang aku serahkan kepadamu seluruh tanggung jawab terhadap putriku. Mulai dari sandangnya, pangannya, papannya dan seluruh kebutuhannya kepadamu. Tolong berikan yang terbaik kepada anakku, sebagaimana aku selalu memberikan yang terbaik untuk putriku.."

Kalau ada yang tidak gemetar ketika ijab-kabul ini, maka saya tidak tahu bagaimana dia akan menyikapi hidup dan kehidupan bersama istrinya. Kalau saya (alhamdulillah) merasa sangat bergetar jiwa dan raga saya ketika mengucap ini, mungkin itu juga yang melandasi saya (Insya Allah) melakukan yang terbaik untuk mereka semua.

Kalau sudah kita ikrarkan tanggung jawab itu, maka "tanggung" lah semua kehidupan istri kita. Upayakan punya pendapatan yang tinggi dan berkah. Jangan mengelak, itu sudah menjadi hal yang harus Anda "tanggung".

Kemudian "jawab" semua apa yang Anda lakukan dengan istri (dan anak) Anda itu, baik di dunia, lebih-lebih di hadapan sang Pengadil di hari pengadilan akhirat kelak. Itulah makna sederhana dari tanggung jawab.

Jadi, kalau sudah memutuskan menjadi kepala keluarga, jadilah the best version of you, ini bukan main-main, kawan. Bertanggung jawablah.

3. Marwah Suami

Bagaimana mungkin martabat dan kehormatan suami bisa "berdiri tegak", sedangkan biaya operasional harian di rumah adalah uang dari istri yang penghasilannya lebih tinggi?

Bagaimana mungkin "perintah"  dan nasihat suami bisa "didengar" istri (dan anak) jika lebih banyak uang istri yang digunakan untuk belanja dan lain-lain di banding uang suaminya?

Oke kalau ada yang bilang, "istriku ikhlas kok bantuinnya.." Benar. Rasanya tidak ada istri yang tidak ikhlas membantu suaminya. Tetapi sampai kapan? sampai kapan para pria itu terus seperti itu? Atau sampai kapan istri itu akan kuat seperti itu? belum lagi urusan rumah tangganya yang tidak kalah banyak?

Jangan sampai pada akhirnya (seperti sinetron) istri tidak tahan lagi dan akhirnya terjadi pertengkaran di rumah tangga? Jangan sampai pada akhirnya si istri "mengungkit" apa yang sudah dilakukannya jauh lebih besar di banding suaminya?

Kalau Anda merasa tidak apa-apa, maka itu pilihan Anda. Kalau Anda segera sadar dan bertaubat itu juga adalah pilihan.

***

Rasanya 3 alasan ini sudah cukup menjadi alasan yang kuat kenapa kita (para suami) harus punya penghasilan yang lebih besar dari pasangan kita. Sebaiknya kita tidak perlu mencari excuse untuk membenarkan dan mengizinkan ruang jika pendapatan istri "boleh saja" lebih besar.

Lalu bagaimana kalau sudah terlanjur lebih besar pendapatan istri saya? karena dari orok dia sudah kaya dan di angkat menjadi pimpinan di perusahaan keluarganya? Kalau itu terjadi, maka bersyukurlah. Anda sangat beruntung. 

Tapi selagi masih ada waktu, maka kita masih ada kesempatan untuk membuktikan kepada istri kita, kalau kita juga bisa mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi dari pasangan kita. Bukan untuk gagah-gagahan, tetapi untuk menempatkan marwah kita ke maqam yang semestinya sebagai seorang suami.

Semoga bermanfaat
Salam
Be The New You

TauRa
Rabbani Motivator

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun