"Pengalaman untuk dirasakan, dipahami dan diambil hikmahnya, bukan untuk dibanggakan" (TauRa)
Jika pengalaman adalah guru yang paling berharga, maka guru yang "berharga" itu tidak seharusnya membuat pemiliknya angkuh, sombong dan membanggakan diri. Ia (pengalaman itu) boleh dibagikan dengan niat mengambil pelajaran, menyadarkan dan membantu orang lain untuk lebih baik jika menghadapi situasi yang sama.
Menjadi salah dan keliru kalau kemudian pengalaman itu untuk "gagah-gagahan", merasa lebih baik karena banyak pengalaman dan seterusnya. Pribadi seperti ini justru terlihat "tidak pengalaman" dengan pengalamannya, atau minimal terlihat tidak bisa memanfaatkan pengalamannya dengan bijak.
Lalu muncul pertanyaan, mengapa kita tidak perlu membanggakan pengalaman kita kepada orang lain? Kali ini saya akan coba membahasnya dan tentu saja dengan harapan untuk "menepuk bahu sendiri" dan "bahu siapa saja" agar kita tidak perlu membanggakan pengalaman yang kita punya.
Ini adalah 3 alasan kenapa pengalaman itu tidak perlu dibanggakan.
1. Pasti Selalu Ada yang Lebih Berpengalaman
Seorang rekan (Senior) pernah bercerita kalau dia sudah sangat berpengalaman di perusahaan tempat dia bekerja karena sudah 22 tahun bekerja di sana. Bagus? tentu saja.
Pertanyaan saya waktu itu singkat saja,Â
"Apakah bapak adalah orang yang paling berpengalaman di kantor itu sejak didirikan..?"Â
"Tidak.."Â jawabnya singkat.
Tentu saja belum tentu rekan tadi ingin membanggakan diri dan pengalamannya. Tetapi minimal, dia sudah mengarah ke sana (mungkin). Dan kita perlu menyadarkannya kalau selalu saja ada orang yang lebih pengalaman dari kita dalam hal apa saja.
Kalau Anda penulis, maka pasti ada penulis yang lebih hebat dan punya jam terbang lebih dari Anda. Kalau Anda guru atau dosen, pasti juga demikian. Aktor, pilot, sutradara dan lain sebagainya, selalu saja (pasti) ada orang yang lebih pengalaman dari kita dalam banyak hal.
Lalu, kenapa kita harus membanggakan pengalaman kita di depan orang lain? Mari kita renungkan bersama.
2. Pengalaman Masa Lalu Belum Tentu Relevan Masa Kini
Dulu, jika atasan datang dan menegur (memarahi) bawahannya, maka bawahan akan ketakutan (mungkin) dan akan mendengarkan semua arahan atasan dengan seksama.
Sekarang, jika atasan "memarahi" bawahan, maka dengan gampang beberapa saat kemudian si bawahan ini akan bawa surat resign dan pindah ke tempat lain atau memutuskan membuka start up.
Pengalaman masa lalu (itu baik) belum tentu sesuai dengan pendekatan masa kini. Perlu improvisasi dan inovasi. Itulah kenapa pengalaman itu tidak perlu kita banggakan karena dia belum tentu "sesuai" dengan zaman yang ada.
Jadi, jika punya pengalaman, jangan bangga dulu, karena belum tentu (bisa juga sesuai) relevan dengan situasi saat ini.
3. Banyak Pengalaman yang "Palsu"
Di dalam buku "Kekuatan dalam Memulai Hal Bodoh", Richie Norton menceritakan bagaimana suatu hari dia bertemu dengan Motivator papan atas dunia Steven Covey (Penulis buku mega best seller 7 Habits of Highly Effective People).
Richie saat itu adalah pembicara baru dan belum begitu terkenal. Singkatnya, Steven Covey meminta Richie untuk membantunya menjadi pembicara yang menghadirkan CEO-CEO dari 500 perusahaan terbesar di dunia.
Richie spontan kaget dan terkejut. Dia dengan rendah hati menolak permintaan Steven itu karena merasa belum punya cukup jam terbang dan pengalaman.
Steven Covey tertawa lalu menyampaikan sebuah kalimat yang sampai hari ini tidak bisa dilupakan oleh Richie. Steven berkata,
"Richie, pengalaman bukanlah suatu hal yang perlu dibesar-besarkan. Nyatanya, banyak orang yang mengaku berpengalaman 20 tahun, padahal dia hanya punya pengalaman 1 tahun yang diulang 20 kali"
Richie lalu sadar dan langsung menyetujui permintaan Steven Covey itu.
Coba kita cermati kalimat indah Steven ini. Rasanya banyak orang yang demikian. Dia mengaku berpengalaman 10 tahun sebagai akuntan (contohnya), padahal hanya 1 tahun yang diulang 10 kali karena setiap tahun pekerjaannya sama.
Seorang kasir yang mengaku punya pengalaman 20 tahun, tetapi bisa jadi sesungguhnya dia hanya punya pengalaman 1 tahun yang diulang selama 20 kali dalam hidupnya karena apa yang dilakukannya sama dari tahun ke tahun.
Jika pengalaman kita sebenarnya adalah "palsu", lalu mengapa kita harus membanggakannya di depan orang lain. Lalu bagaimana agar kita tidak terjebak dalam pengalaman "palsu" ini? jawabannya tidak di sini. Mungkin (Insya Allah jika ingat) akan kita bahas di kesempatan yang lain.
***
Bagaimana sekarang, masih maukah membanggakan pengalaman kita kepada orang lain? atau masih saja kita bangga jika dibilang berpengalaman dengan orang lain?
Jika niat kita berbagi pengalaman untuk alasan yang baik, maka silakan. Tetapi jika untuk membanggakan diri, maka coba renungkan kembali apakah sudah layak kita lakukan? Kalau tidak, maka Anda tentu sudah paham apa yang harus Anda lakukan.
Semoga bermanfaat
Salam
TauRa
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI