Dalam sebuah perjalanan bersama Ibu, Ayah dan beberapa keluarga lainnya, kami singgah ke sebuah tempat untuk sekadar melepas kelelahan sejenak sambil beristirahat.
Tidak jauh dari tempat kami beristirahat, terlihat seorang anak sedang berdebat atau lebih tepatnya sedang marah-marah dengan ibunya. Entah apa penyebabnya, tetapi situasi itu cukup menyedot perhatian kami dan orang lain karena suara si anak terdengar cukup keras. Tidak lama kemudian situasi mereda dan kamipun berlalu, melanjutkan perjalanan dan melupakan kejadian itu.
Setelah beberapa jam kemudian, kami kembali berhenti singgah ke sebuah masjid karena waktu maghrib sudah tiba. Suara adzan terdengar begitu syahdu. Imam shalatnya pun melantunkan bacaannya dengan merdu hingga kamipun begitu senang dengan situasi saat itu.
Yang menarik, setelah selesai shalat, imam muda tadi, yang saya prediksi usianya sekitar 20 tahunan, mendatangi seorang ayah di shaf pertama sebelah ujung, lalu dia menyalami pria paruh baya itu dan mengecup keningnya. Suatu pemandangan langka menurut saya jika ada seorang anak laki-laki mengecup kening ayahnya dengan santun dan penuh akhlak.
Dari cara anak itu melakukannya, saya menduga kalau itu adalah aktivitas rutinnya ketika menyalami orangtua dan bukan sesuatu yang ingin ditampilkan di depan publik untuk pencitraan semata.
Tidak berhenti sampai di sana, beberapa saat setelah kami akan keluar dari masjid itu, dia mendatangi lagi seorang wanita paruh baya di shaf perempuan, lalu menyalami dan mencium wanita paruh baya itu persis seperti yang dilakukannya dengan pria di depan tadi. Bahkan, untuk ibunya itu, dia seperti melebihkan kecupannya di banding kecupannya ke pria di depan tadi yang saya yakin adalah ayahnya.
Saya, ibu saya dan beberapa keluarga yang menyaksikan itu dibuat kagum dengan pemandangan indah tadi. Saya menatap wajah ibu saya dan ibu sayapun tersenyum menatap saya. Sejurus kemudian ibu saya mengatakan sebuah ungkapan bijak kepada saya,
"Kiban U Kiban Minyeuk, Kiban Ma Kiban Aneuk"
Mungkin ini adalah pelajaran yang tidak mungkin saya lupakan dalam hidup. Justu akan saya wariskan untuk anak keturunan selanjutnya. Ibu saya lalu melanjutkan ulasannya sebelum menjelaskan detail maksud dari ungkapan di atas.
"Nak, tadi sore kita lihat ada anak yang membentak orangtuanya, lalu malam ini kita melihat sebaliknya, ada anak yang luar biasa santun dan hormat kepada orangtuanya. Kira-kira mengapa hal itu terjadi?"Â tanya ibu saya.
Kalau sudah orangtua yang bertanya, rasanya lidah saya kelu untuk menjawabnya. Apalagi yang berkaitan dengan hikmah dan pelajaran hidup. Bahkan, kalaupun saya punya analisis dan turunannya, itu pasti tidak akan cukup untuk menjawab dan menjelaskan hikmah dan pelajaran dari sudut pandang orangtua yang pasti lebih dalam karena dibumbui dengan pengalaman, kebijaksanaan dan lain sebagainya.
Saya hanya menggeleng menjawab pertanyaan ibu saya tadi. Lalu beliau menyampaikan kalimat bijak di atas dan menjelaskan maksudnya.
"Nak, Kiban U Kiban Minyeuk, Kiban Ma Kiban Aneuk"
"Seperti buah kelapa, bagaimana cantik dan bagusnya buah kelapa itu, maka begitulah cantik dan bagusnya minyak yang bisa dihasilkan dari buah kelapa itu. Dan bagaimana sifat dan akhlak orangtua (khususnya ibu), maka begitulah sifat dan akhlak anaknya kelak."
Makjleb! Kalimat indah ibu saya tadi langsung masuk ke dalam relung sanubari saya. Suatu pendidikan luar biasa yang diajarkan oleh ibu saya yang mungkin dengan cara yang sederhana.
Saya jadi semakin yakin, itulah kenapa banyak orangtua dulu yang tidak terlalu gemar bicara banyak, tetapi banyak mengandung hikmah ketika berbicara, atau minimal ada pelajaran yang diambil ketika bicara.
Kalimat indah ibu saya tadi sejenak menjadi refleksi saya terhadap kehidupan. Banyak pertanyaan pun berkecamuk dalam pikiran saya. Saya adalah representasi dan ibu dan ayah saya, itu pikiran pertama saya. Kalau saya baik hari ini, itu pasti karena ajaran dan pendidikan baik dari orangtua saya dan begitu juga sebaliknya.
Setelah terdiam dan termenung beberapa saat, ibu saya lalu menepuk bahu saya dan menyampaikan kalau kita harus segera berangkat kembali. Saya menarik tangan beliau, menciumnya, lalu memeluk erat ibu saya sambil mengucapkan terima kasih karena sudah menjadikan saya hingga seperti saat ini.
Hari itu saya belajar suatu hal yang luar biasa dari ibu saya yaitu,
"Belajar dari buku bisa menghasilkan kecerdasan, Belajar dari guru bisa menghasilkan kearifan, tetapi belajar dari ibu bisa menghasilkan akhlak, kepribadian dan masa depan yang cerah" (TauRa)
Terima kasih ibu, saya memeluk ibu saya erat sambil berlalu.
Semoga bermanfaat.
Salam
TauRa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H