Mohon tunggu...
deddy Febrianto Holo
deddy Febrianto Holo Mohon Tunggu... Relawan - Semangat baru

Rasa memiliki adalah perlindungan alam yang terbaik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tantangan Humanisme Ekologis di Indonesia

29 April 2024   09:32 Diperbarui: 29 April 2024   09:59 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Pergumulan manusia yang terjadi berabad-abad lamanya telah menyebabkan lahirnya krisis ekiologis. Krisis ini berkaitan langsung dengan pola pergumulan manusia dan lingkungan. Dalam skala Mondial permasalahan lingkungan menjadi isu global. Hal ini disebabkan pemanfaatna ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak mempertimbangkan lingkungan.

Lahirnya humanisme ekologis sangat tergantung pada perilaku hidup manusia dalam pergumulan dengan lingkungnnya. Manusia cenderung memperlakukan lingkungan sesuai keinginan individualisme. Lingkungan dipandang dan diperlakukan sebagai objek pemuas kebutuhan semata sehingga memicu krisis ekologi. Perilaku dan kondisi hidup manusia demikian menjadi tantangan pembangunan humanism ekologis saat ini.

Humanisme ekologis merupakan pandangan komunatarian, dimana manusia terintgrasi dengan komunitas. Komunitas dibagi dalam kategori komunitas sosial dan budaya yang memungkinkan manusia memperoleh berbagai macam manfaat serta memberi kontribusi melalui aktivitas yag dilakukannya. Oleh kerena itu, setiap aktivitas sosial dan budaya manusia selalu berkaitan dengan lingkungan.


"Ironis memang, luka yang paling dalam dan mengerikan dari seluruh proses pembangunan justru di alami lingkungan hidup sebagai penyangga pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Pembangunan cenderung konsumtif sehingga menciptkan suasana kontra hidup manusia".


Banyak pihak telah mencari akar historis dari krisis ekologis dewasa ini. Lynn White, seorang sejarawan pada decade 1960 dan 1970-an mengatakan banyak para teologi kristen lewat artikelnya berjudulu "Historical Root Our Ecologic Crisis" mengemukakan dalil bahwa akar histori krisis ekologis adalah tradisi Yudaeo-Kristen. Perintah penaklukan alam dalam kisah penciptaan merupakan dorongan dalam masyarakat barat untuk bersikap arogan terhadap alam.


Kata pembangunan, sesungguhnya bukan istilah baru. Sejak Indonesia meredeka, kita menyatakan tekad dan komitmen bersama untuk membangun sebuah negara bernama Indonesia. Demikian pun juga NTT. Tulisan ini mengulas pembangunan berwawasan lingkungan dalam kerangka otonomi daerah dengan berpijak pada landasan program pembangunan yang memanusiakan manusia dan lingkungannya.

Arah pembangunan hari ini telah keluar jauh dari landasan dan prinsip keberlanjutan lingkungan, telah banyak pemimpin daerah mengemukakan konsep lewat program yang bertumpu pada pemanfaatan sumber daya alam, namun masih saja menhadapi tantangan menuju pembangunan yang ramah terhdap lingkungan hidup seperti yang sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup sudah menjabarkan secara mendalam bagaimana menjalankan pembangunan dengan prinsip keberlanjutan.


Bagaimana seharusnya pilihan kebijakan pembangunan?


Pilihan kebijakan pembangunan di era industry justru telah membawa manusia pada persoalan memenuhi kebutuhan hidupnya. Di mulai dari hulu bahwa kebijakan pembangunan seharusnya bertumpu pada gaya humanis ekologi dimana para pengambil kebijakan harus mampu mencerna konsep pembangunan berkelanjutan dengan menjaga keseimbangan alam.
Ketika manusia dijadikan objek pembangunan maka semenjak itu pula manusia mengalami keterpecahan dalam diri dan lingkungannya. Hal ini disebabkan tiga hal. Pertama, perilaku pembangunan yang mengesampingkan manusia dan kemanusiaannya. Dengan kata lain, yang diperjuangkan pelaku pembangunan adalah penumpukan harta guna memperoleh kekayaan. Pembangunan dipandang sebagai sarana mengeruk keuntungan sehingga ada kesenjagan yang begitu besar antara menjaga dan mendorong pembangunan.
Kedua, pelaku pembangunan yang memahami partsipasi setiap manusia dalam mendukung pembangunan. Kurangnya pemahaman ini melahirkan perilaku hidup yang menempatkan manusia bukan sebagai pribadi yang bermartabat, tetapi objek yang diperlakukan untuk mencapai kepentingan tertentu. Ketiga, motivasi para pelaku pembangunan yang memandang pembangunan sebagai sarana untuk mencapai target bukannya sebagai media dalam upaya memanusiakan manusia.
Eksploitasi manusia terhadap alam mendapat legitimasi ilmiah-filosofis melalui pandangan dunia modern bahwa manusia adalah pusat dunia (antroposentrisme). Alam dipahami sebagai sesuatu yang tidak punyai nilai intrinsik kecuali semata-mata nilai yang dilekatkan oleh manusia terhadapnya.


Arus pembangunan yang begitu massif telah melahirkan konflik kebutuhan manusia diambang batas, manusia terus melakukan eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Dalam artikel tahun 1979 yang diterbitkan The Humanist, humanis Amerika Don Marietta menulis ; Siapa lagi selain kaum Humanis yang harus mengakui bahwa kehidupan manusia tidak bisa lepas dari alam?

 Tanpa jiwa yang abadi dan tanpa harapan akan kerajaan yang bukan dari dunia ini, kaum Humanis harus menerima kenyataan bahwa ia mempunyai satu kehidupan, satu dunia. Dunia yang satu ini harus dimiliki bersama dengan semua umat manusia dan semua spesies hidup lainnya. Tidak ada ekologi manusia yang terpisah. Dengan meningkatnya pengetahuan tentang saling ketergantungan bentuk kehidupan dan kerapuhan sistem pendukung kehidupan semua spesies, kaum Humanis harus berpikir secara ekologis. 


Dalam artikel tahun 1979 yang diterbitkan di The New Humanist, humanis Amerika Don Marietta menulis "Siapa lagi selain kaum Humanis yang harus mengakui bahwa kehidupan manusia tidak bisa lepas dari alam? Tanpa jiwa yang abadi dan tanpa harapan akan kerajaan yang bukan dari dunia ini, kaum Humanis harus menerima kenyataan bahwa ia mempunyai satu kehidupan, satu dunia. Dunia yang satu ini harus dimiliki bersama dengan semua umat manusia dan semua spesies hidup lainnya. Tidak ada ekologi manusia yang terpisah. Dengan meningkatnya pengetahuan tentang saling ketergantungan bentuk kehidupan dan kerapuhan sistem pendukung kehidupan semua spesies, kaum Humanis harus berpikir secara ekologis. Rasionalitas menuntut Humanisme ekologis.


Sebagaimana disinggung oleh Marietta, ciri-ciri utama pendekatan humanis secara logis memunculkan rasa tanggung jawab terhadap lingkungan, sesuatu yang dapat ditelusuri sepanjang sejarah dan didukung oleh kemajuan dalam pemahaman ilmiah. Dalam artikel yang sama, Marietta menunjukkan tradisi penting para humanis (jauh sebelum gerakan aktivis lingkungan hidup modern) yang mengekspresikan apresiasi terhadap alam dan kesadaran bahwa manusia adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan.


Oleh karena itu, WALHI NTT terus mendorong kebijakan pembangunan di tingkat daerah untuk meminimalisir segala dampak kebijakan yang mengakibatkan terjadinya krisis lingkungan. Pada tahap ini upaya penyadartahuan terus dilakukan oleh WALHI NTT untuk memperkuat gerakan masyarakat serta menguatkan kapasitas masyarakat terkait berbagai isu lingkungan dan model-model strategi mitigasi perubahan iklim.


Deddy Febrianto Holo
Divisi Perubahan Iklim dan Kebencanaan WALHI NTT
082145183780

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun