Tertegun memikirkan apa sekiranya yang dapat dilakukan oleh aku, kamu, kita, untuk ikut berpartisipasi menjaga stabilitas sistem keuangan. Kalau dipikir-pikir, bukankah itu sudah menjadi tugas pemerintah, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan?
Tahukah kamu bahwa stabilitas sistem keuangan suatu negara itu sangat penting untuk dijaga? Agar jangan sampai terganggu. Karena bila terganggu, dampaknya besar, dapat mengganggu stabilitas suatu negara, bahkan bisa membawa suatu negara ke jurang kehancuran. Yup! Sistem keuangan memiliki fungsi vital sehingga perlu selalu dijaga stabilitasnya.
Suatu negara dapat hidup dari pergerakan roda perekonomiannya. Perekonomian negara digerakkan oleh sistem keuangan. Bila kita mengibaratkan negara sebagai sebuah tubuh, sistem keuangan menjadi jantung dan urat nadi yang mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Sistem  keuangan terdiri atas bermacam komponen mulai dari lembaga keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, serta lembaga non keuangan.
Bahkan sampai dengan tingkatan terkecil yaitu rumah tangga. Semua komponen ini saling berinteraksi satu dengan lainnya. Keberadaan sistem keuangan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan dan/atau penyediaan pembiayaan pertumbuhan perekonomian yang aman, stabil dan efisien. Perbankan merupakan industri krusial dalam sistem keuangan yang menjaga stabilitas perekonomian nasional.
Nah, bila perbankan tidak stabil, maka sistem keuangan pun menjadi tidak stabil. HAl tersebut menjadi efek domino yang terus berlanjut dengan kerusakan sektor perekonomiannya, dan akan berujung pada kekacauan serta kerusakan negara.
Kepercayaan Menjadi Dasar Penting
Perbankan, sebagai bagian dari sistem keuangan memiliki fungsi sebagai lembaga intermediasi yang membantu sistem pembayaran. Lembaga ini perlu dijaga agar tetap sehat. Nah, salah satu yang membuatnya sehat karena adanya kepercayaan dari masyarakat.
Kepercayaan itu penting. Tanpa kepercayaan, reputasi akan rusak, baik sebagai sebuah lembaga atau sebagai individu.
Individu? Iya, sama dengan kehidupan yang kita jalani sehari-hari. Contohnya bila kamu sudah tidak percaya dengan seseorang, baik itu teman, saudara, pacar, atau pasangan, tentu semua perkataan yang berusaha meyakinkan kamu untuk tetap percaya pun tidak akan kamu gubris. Kamu pasti akan meninggalkannya. Demikian juga dengan perbankan.
Bila masyarakat tidak percaya (distrust) dengan bank, masyarakat akan meninggalkannya. Bagaimana cara meninggalkannya? Ya dengan menarik uang yang tadinya disimpan di bank. Bila ini dilakukan dengan beramai-ramai secara serentak dalam waktu bersamaan, perbankan langsung runtuh. Kejadian ini disebut bank run, bank rush, cash rush, atau rush money. Sejarah pun sudah mencatat beberapa peristiwa kelam terkait kejadian pahit ini. Mari kita tengok beberapa diantaranya secara sekilas.
1. Depresi Besar 1929
Peristiwa The Great Depression atau Depresi Besar pada tahun 1929 di Amerika Serikat mengguncang ekonomi negara adidaya itu. Â Dalam hitungan hari, ekonomi negeri Paman Sam runtuh karena masyarakat berbondong-bondong mengambil uangnya dari bank. Penarikan uang secara massal ini dipicu oleh berita sebuah bank yang ditengarai mengalami kebangkrutan. Berita itu kemudian menjalar dari mulut ke mulut lalu berkembang menjadi kepanikan sehingga mendorong massa menarik uangnya beramai-ramai dari perbankan.
2. Krisis Moneter 1997-1998
Indonesia sudah pernah mengalami pil pahit bank rush, yang terjadi di masa krisis moneter tahun 1997-1998. Waktu itu, perbankan dilanda krisis ketidakpercayaan yang membuat masyarakat menarik uangnya dari sistem keuangan. Hal ini membuat perekonomian nasional terjerembab. Krisis ini lantas menjalar ke sektor sosial dan politik, ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto dari pucuk kekuasaan dan berakhirnya rezim Orde Baru.Â
3. Krisis Argentina 2001-2002
Pada masa itu, Argentina dilanda krisis ekonomi hebat yang menekan kondisi sosial sampai dengan politik. Hal ini membuat masyarakatnya resah. Keresahan itu semakin memuncak dengan harga-harga yang semakin tinggi dan barang-barang yang sulit didapat, maraknya PHK, serta kesulitan pekerjaan. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan berita-berita tentang semakin sulitnya melakukan penarikan uang dari bank.
Masyarakat di berbagai kota di Argentina panik, dan serta merta menyerbu bank untuk mengamankan uang yang tersisa. Pemerintah Argentina sampai perlu menutup sistem perbankannya selama beberapa waktu untuk menyetop penarikan uang besar-besaran yang terus terjadi.
Beberapa peristiwa yang diulas secara singkat tadi memperlihatkan pentingnya kepercayaan. Pemicu munculnya rasa ketidakpercayaan (distrust) biasanya berasal dari rumor atau berita-berita yang tersebar sedemikian rupa dan memberikan efek negatif serta merusak rasa kepercayaan tersebut.
Bayangkan, berbagai krisis mulai dari Depresi Besar, krisis moneter, hingga krisis Argentina memberikan dampak yang begitu dahsyat. Padahal waktu itu jaringan internet belum seperti sekarang lho, yang dapat menyebarkan berbagai informasi ke seluruh belahan dunia dalam kedipan mata. Pada waktu krisis moneter 1997 dan 2002, telepon masih "terikat" dengan kabel. Bahkan, pada masa terjadinya The Great Depression itu, pemakaian telepon belum begitu menyebar, Â masih kalah populer dibanding telegraf.
Kamu bisa bayangkan besarnya potensi kerusakan yang mungkin terjadi bila pada masa-masa kelam tersebut sudah memakai smartphone dan segalanya sudah terhubung dengan internet seperti masa kini?
Informasi di Era Milenial
Sekarang, kita berada di era milenial yang serba digital. Semuanya terkoneksi dengan internet. Kamu dapat mendapatkan berbagai berita dan informasi dengan begitu mudahnya. Sebaliknya, kamu pun dapat memberikan serta menyebar informasi secara publik melalui berbagai platform media sosial. Semua hal itu dapat kamu lakukan cukup hanya dengan sentuhan jari saja. Semudah itu.
Informasi yang berkembang dan menyebar melalui media sosial dan internet seringkali menjadi viral dan trending. Sayangnya, bagai mata pisau bersisi dua, tidak semua hal yang bersifat viral dan trending itu memberikan dampak positif.
Hoaks Yang Merusak
Contoh yang terjadi terkait penyebaran isu bank rush atau rush money di media sosial, lalu berkembang menjadi keresahan pun pernah terjadi di Indonesia. Contohnya pada tahun 2016, beredar ajakan untuk melakukan penarikan dana secara bersamaan dari bank pada akhir November 2016. Lalu contoh terakhir pada medio Mei 2019 lalu. Ketika itu, suhu perpolitikan sedang panas dan penuh aroma Pilpres 2019, yang kemudian memunculkan ajakan rush money melalui tagar #RushMoney di berbagai platform media sosial.
Hal tersebut sudah menjurus kepada hal melawan hukum dan membahayakan ketertiban umum.  Pihak yang menyebarkan, memberikan propaganda, menghasut, bahkan memanipulasi masyarakat agar menarik uang secara massal dapat dikenakan Pasal 28 UU No. 19 Tahun 2016 atau ITE. Merujuk Pasal 45a seseorang dapat dituntut 6 tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar. Tidak hanya itu, dapat juga dikenakan  UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang (TPPU) bila terbukti mendapatkan keuntungan dari tindakan tersebut.
Tindakan seperti ini pada akhirnya merusak perbankan, ekonomi serta kepentingan masyarakat. Masih banyak di antara kita yang belum bijak dan belum menyadari terkait penggunaan media sosial dengan cara yang baik. Banyak berita hoaks bertebaran, mencaci dan tindakan negatif lainnya.
Euforia berbagai kemudahan di era milenial yang serba digital harus diikuti dengan sikap dewasa dan kehati-hatian. Kegiatan menggunakan internet harus dengan proses, jangan mudah percaya dengan kabar yang baru saja dibaca. Think before share. Mulailah Saring Sebelum Sharing!
Jurus 3S, Sederhana Tapi Sulit
Jurus 3S alias Saring Sebelum Sharing, sebenarnya bukan barang baru. Pemerintah telah mulai menggalakkannya beberapa tahun lalu. Menyikapi beberapa contoh yang telah disebutkan sebelumnya di artikel ini, semakin memperlihatkan pentingnya Saring Sebelum Sharing. Sebetulnya merupakan proses sederhana, karena mendorong kita untuk berpikir dan bertindak lebih cerdas dalam melakukan kegiatan di medsos. Tapi juga disebut sulit, karena begitu ringan dan mudahnya kita mendapatkan informasi. Dan juga terkadang emosi membuat kita lupa.
Saring Sebelum Sharing mendorong kita untuk menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Ada langkah-langkahnya, yuk kita kupas:
1. Jangan Terjebak Judul
Judul selalu berupaya memainkan sisi emosi pembaca. Terkadang hanya sekedar membaca judul saja bisa membuat seseorang terpancing untuk marah, sedih, bahagia, dan lainnya. Padahal kalau sudah membaca isinya, belum tentu sesuai dengan judul yang membawa informasi tersebut.
2. Cermati Sumber Informasinya
Kamu harus tahu darimana informasi itu berasal. Apakah dari sumber tepercaya, atau meragukan? Pastikan sumber tersebut memberikan informasi yang obyektif, tidak berat sebelah.
3. Kroscek Data dan Fakta
Sama halnya bila kamu pergi ke dokter lalu mendapat diagnosa terkena kanker. Kamu boleh dan dianjurkan mencari pendapat kedua (second opinion) tentang penyakit kamu itu. Demikian juga dengan berita yang kamu dapat. Apalagi terkait stabilitas sistem keuangan. Cari informasi lainnya, dari sisi pemberitaan yang berbeda. Ingat, selalu ada tiga sisi cerita. Sisi pro, sisi kontra, dan sisi sebenarnya, alias the truth. Sisi ketiga ini yang sulit dicari, tapi perlu kamu dapatkan.
4. Tingkatkan Literasi Finansial
Agar tidak mudah terkecoh atau termakan emosi, kamu juga perlu membekali diri dengan pengetahuan dan literasi finansial. Apalagi di era internet dan medsos seperti ini, bukanlah hal sulit. Cara termudah yang dapat kamu lakukan adalah dengan mengikuti pemberitaan serta media sosial berbagai lembaga pemerintah dan keuangan resmi. Lalu, kamu dapat meningkatkan diri dengan membeli  buku bacaan ringan tentang finansial dan sistem keuangan. Selain itu, dapat juga mengikuti berbagai event terkait untuk memperkaya informasi dan perkembangan terbaru.
Kecil Ternyata Berarti Besar
Menjaga stabilitas sistem keuangan ternyata tidak hanya menjadi tugas pemerintah, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, serta berbagai lembaga keuangan terkait lainnya. Tiap-tiap individu pun memiliki peran yang tidak kecil dalam membantu menjaga stabilitas keuangan.
Bagaikan sapu lidi, bila hanya satu helai lidi tidak berarti, tapi bila diikat menjadi satu dapat menyapu kotoran yang ada. Demikian pula halnya bila tiap-tiap individu memiliki kesadaran yang sama tentang pentingnya arti stabilitas sistem keuangan, pasti dapat dengan segera menangkal dan menyapu bersih berita-berita negatif yang dapat mengganggu sistem keuangan melalui jurus 3S, Saring sebelum Sharing.
Era milenial memang memberi kemudahan, tapi membutuhkan kedewasaan dan kehati-hatian dalam berinteraksi di dunia digital ini. Ingat, hanya dengan menggunakan jari-jari yang nakal dan tidak bertanggung jawab dapat membawa kerusakan dan kesengsaraan bagi semua. Jadilah bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Yuk kita turut menjaga stabilitas sistem keuangan di era milenial dengan jurus 3S, Saring Sebelum Sharing. [END]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H