Tidak selamanya  perkembangan teknologi memberi kemudahan bagi penggunanya. Ibarat kata-kata bijak orang dahulu, bila tidak tahu atau salah cara menggunakannya, akan menyebabkan kesulitan bagi si empunya atau si pengguna.
Teknologi yang semakin berkembang juga turut memberikan kemudahan bagi para pencari pinjaman. Mereka tidak perlu lagi repot pergi ke bank mengajukan berbagai syarat. Cukup mengunduh aplikasi via google store untuk android ataupun apple store untuk iphone dan memasangnya di telepon seluler serta mengajukan pinjaman.
Sayangnya, para rentenir juga melihat peluang emas ini. Dengan kemudahan yang menggiurkan, para pencari pinjaman tidak sadar bahwa mereka masuk perangkap.Â
Belum lama ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengumumkan ada ribuan laporan masuk dalam bentuk pengaduan. Mereka adalah para korban layanan financial technology (fintech) peer to peer lending. Istilah yang lebih populernya adalah kredit online. Namun, sekarang, masyarakat telah memplesetkannya menjadi  'rentenir online'. Â
Angka yang muncul cukup mengerikan. Â Menurut LBH Jakarta, rata-rata pencari pinjaman menggunakan 1 sampai 5 aplikasi. Bahkan, ada yang menggunakan sampai 40 aplikasi! Hal ini karena para pencari pinjaman menggunakan sistem tutup lubang, gali lubang. Â Dana yang didapat dari satu aplikasi digunakan untuk membayar pinjaman di aplikasi lainnya. Berputar terus seperti itu, tak berujung.
Memainkan ceruk tak bertuan
Pintarnya, pemain fintech ini memainkan ceruk tak bertuan di pasar keuangan. Hal ini pula yang menyebabkan dana yang disediakan oleh fintech selalu dicari dan menyebabkannya berkembang, tidak hanya di Indonesia. Apa itu? Layanan Fintech yang berbentuk peer to peer lending ini fokus menggarap segmen yang tidak tersentuh oleh dunia perbankan dan keuangan. Karena tidak dapat dilayani oleh pihak bank (unbankable) dan tidak layak mendapatkan layanan keuangan (undeserved). Â
Golongan ini terdiri dari masyarakat yang membutuhkan dana dalam jumlah kecil dalam waktu singkat, dan biasanya tidak dapat mengakses layanan bank serta tidak mampu memenuhi persyaratan yang diajukan pihak bank, seperti penyediaan jaminan dan administrasi lainnya.
Harapannya, keberadaan fintech di Indonesia dapat melayani masyarakat underserved dan unbankable tersebut. Sayangnya, rentenir online pun menyadari hal tersebut. Masyarakat golongan undeserved dan unbankable ini tidak punya pilihan, Walaupun mungkin mereka sadar beratnya syarat yang diajukan oleh para rentenir online ini.
Peran OJK Â Â Â Â Â
Otoritas Jasa Keuangan memaparkan data tentang fintech online yang kian menjamur di Indonesia. Â Per Desember 2018, sudah terdaftar di OJK sebanyak 78 penyelenggara fintech kredit online. Â Mereka tunduk pada aturan yang dibuat oleh regulator.
Namun ternyata, yang belum terdaftar di OJK juga cukup banyak. OJK pun mengetahui hal tersebut. Hingga Oktober 2018, tindakan OJK dan Satgas Waspada Investasi dalam memblokir 404 fintech ilegal belum cukup mengurangi para rentenir online yang nakal ini. Artinya, jumlah fintech ilegal memang jauh lebih banyak dibandingkan yang benar-benar aman dan terdaftar di OJK.
Edukasi dan penjelasan tentang bahaya fintech ilegal harus terus dilancarkan. Masalah keuangan dan teknologi tidak bisa menyalahkan masyarakat sepenuhnya. Sebagaimana terjadi di China. Negara ini tingkat literasi keuangannya relatif tinggi. Namun tetap saja, praktik fintech ilegal juga marak terjadi.
Walau bagaimanapun, tanggung jawab terbesar ada pada OJK yang seharusnya bisa melakukan deteksi dini fintech ilegal. Dengan demikian, kiprah para rentenir online ini bisa diberantas dan masyarakat tidak lagi dirugikan. [#]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H