"Bang, tadi disekolah aku merayakan ulang tahun temanku, rasanya aku juga ingin deh bang merayakan ulang tahun." suara penuh harap dan mata yang berbinar dari Raka.Jaka pulang sekolah dengan wajah yang lelah sontak menjawab,
"Hah, merayakan ulang tahun. Uang darimana merayakannya?"
"Tapi bang aku ingin sekali, Dari kecil aku tidak pernah merayakan ulang tahun." Raka menunduk memandang ke lantai, sesungguhnya Raka tahu betul bahwa keinginannya itu hal yang sederhana namun susah bagi mereka.
"Andai saja mereka masih ada, mungkin aku dapat merayakan ulang tahun." lanjut Raka teringat kedua orang tuanya yang telah meninggal dari saat ia masih bayi.
Tak sanggup memandang adiknya, Jaka juga merasa sedih merasakan nasibnya. ia menghela nafasnya lalu dengan lembut berkata "Akan coba usahakan. Doakan saja dagangannya laris hari ini".Â
Dengan membawa membawa keranjang camilannya, Jaka pergi ke taman kota dengan tekad memenuhi harapan adiknya. Sembari menawarkan dagangannya pada pengunjung, pikirannya terbayang wajah Raka yang ingin merayakan ulang tahunnya. Namun sayang hingga larut malam camilan yang terjual makin sedikit. Jaka mulai merasa putus asa, tapi ia terus melanjutkan teringat keinginan adiknya. Hingga akhirnya, dengan barang dagangan yang masih tersisa banyak, ia pulang kerumah.Didepan rumah, dibawah lampu yang menerangi area sekitarnya dari gelapnya malam, Raka menanti kepulangan Jaka. Jaka pulang dengan tatapan kosong. Sontak Raka bertanya ke kakaknya "bagaimana bang jualannya hari ini?"
"Kurang laku.Maaf ya... abang belum bisa wujudkan keinginanmu," jawab Jaka dengan suara pelan. Mendengar itu, mata Raka berkaca-kaca, dan tanpa berkata apa-apa, ia berlari masuk ke kamarnya dan menangis sepanjang malam.
Keesokan harinya, Jaka mendapati Raka demam. Hatinya berkecamuk, keinginan Raka sederhana namun ia bahkan tak mampu memberinya keceriaan kecil di hari ulang tahunnya. Jaka hanya bisa memberikan obat seadanya yang ia beli dari warung. Namun hingga tiga hari berlalu demamnya tak kunjung turun, Jaka ingin sekali membawa Raka ke rumah sakit namun ia terhalang biaya.Dalam hati, Jaka bertekad mencari uang tambahan. Ia menitipkan Raka pada tetangga, izin tidak masuk sekolah untuk pergi berjualan.
Matahari mulai menyinari wajah Jaka yang penuh harapan. Terminal menjadi tujuan pertamanya. Menaiki setiap sarana transportasi umum untuk menawarkan dagangannya.
"Cangcimen.... cangcimen.... cangcimen." Suara Jaka secara berulang-ulang.
Saat sore hari Jaka melanjutkan jualan ke taman kota. Sepanjang perjalanan ia tak lupa menawarkan dagangannya. Tapi, sungguh sial nasibnya setelah seharian berkeliling dagangan yang terjual hanya sedikit. Jaka duduk termenung di kursi taman, berpikir apa yang bisa ia lakukan untuk adiknya. Di tengah lamunannya, Jaka melihat sebuah dompet di semak-semak. Segera ia mengambilnya dan membuka isinya. Betapa terkejutnya ia saat melihat uang dalam jumlah besar di dalamnya. Pikirannya langsung melayang pada biaya pengobatan si Raka dan keinginannya untuk merayakan ulang tahun. Ia menyimpan dompet itu dan bergegas untuk pulang.