Sebuah Esaikrostik
Rasanya baru kemarin, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menuai polemik dengan Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN). Kini ramai perbincangan tentang Kamus Sejarah Indonesia.
Edisi Kamus Sejarah Indonesia terbaru yang diterbitkan Kemdikbud itu dinilai "cacat sejarah". Pasalnya, ada nama-nama besar tokoh sejarah bangsa yang luput dari kamus itu.
Versi sejarah dalam kamus itu ternyata adalah konsep naskah yang belum tuntas. Mendikbud, Nadiem Makarim menyatakan bahwa penyusunan kamus tersebut sejak 2017 lalu.
Ingatan tentang sejarah bangsa rupanya begitu kuat dalam benak masyarakat. Hingga kamus kontroversial itu menjadi sorotan banyak kalangan. Mengapa demikian? Ingatan kolektif kita tentu sudah hafal benar tokoh-tokoh bangsa yang namanya tidak tercantum dalam buku itu. Seperti KH Hasyim Asy'ari sebagai tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), tidak ditulis di dalamnya.
Siapa mengira, kesalahan yang ditimpakan kepada Direktorat Jenderal Kebudayaan itu justru menambah catatan kekeliruan Kemdikbud. Hilmar Farid, Direktur Dirjen Kebudayaan Kemdikbud sendiri sudah mengakui kesalahan fatal yang tidak perlu terjadi. Penyusunan kamus itu belum rampung, namun sudah diunggah ke website Rumah Belajar milik Kemdikbud.
Inilah fatalnya kesalahan pihak Kemdikbud. Pertama, jika kamus itu belum rampung, memang semestinya jangan dulu dipublikasikan. Kedua, alibi belum rampungnya penyusunan naskah Kamus Sejarah itu tentu bukan argumen yang tepat. Sebab, tokoh NU lainnya seperti KH Abdul Wahid Hasyim dan KH Abdul Wahab Chasbullah justru nama mereka ada disebut dalam kamus itu. Ketiga, klaim bahwa Kamus Sejarah Indonesia itu belum terbit secara resmi kurang beralasan. Kamus itu justru sudah memiliki ISBN. Artinya sudah tercatat di Perpustakaan Nasional. Dan ternyata sudah dibubuhi tanda tangan Dirjen Kebudayaan Kemdikbud. Apakah tanda tangan itu hanya tanda setuju untuk penyusunan naskah ataukah pernyataan resmi Kemdikbud?
Sayangnya, alibi Kemdikbud itu justru makin memperburuk citra mereka. Jika belum tuntas, maka proses penyusunannya harus dilanjutkan. Jika merasa bahwa kamus itu sudah layak publikasi, sepatutnya sudah melalui prosedur peninjauan dan perbaikan. Padahal, lembaga Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) pun ada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemdikbud.
Empat alasan yang saya paparkan di atas, setidaknya menjadi catatan penting untuk perbaikan bukan hanya dalam penyusunan Kamus Sejarah Indonesia. Patut ditambahkan catatan penting untuk memperbaiki alur koordinasi antar Dirjen, Badan, atau lembaga di lingkungan Kemdikbud, juga koordinasi Kemdikbud dengan lembaga-lembaga lain terkait berbagai kebijakan yang bersifat substantif.
Jika Kemdikbud saja lolos meninjau naskah kamus sejarah yang mereka susun, maka wajar jika banyak buku beredar yang dinilai cacat. Baik dari segi konten, relevansi, sumber rujukan, dan yang tidak kalah penting adalah kompetensi penulis dan/atau penyuntingnya. Sebab masih kita temukan buku-buku pelajaran yang menuai protes berbagai kalangan.