Pada maknanya, puisi adalah penggambaran peristiwa. Baik itu secara batin ataupun pengalaman inderawi yang tampak.Â
Puisi memang konsisten pada kata dan makna. Namun pergulatan penyair dan upaya kontekstualisasi puisi di ruang publik terus bergerak. Dari puisi yang lirisme ke puisi yang absurd dan tanpa sintaksis. Katakanlah, dari Fansuri ke Amir Hamzah yang kental dengan lirik .
Begitulah, puisi bisa menjadi ritme personal (bukan semata teks) dan sejenis meditasi yang simpel tanpa ada embel embel segala macam sebutan dan pemaknaan.Â
Puisi itu (peristiwanya) melekat pada maknanya sendiri dan imaji penyairnya. Puisi memberi ruang subjektivitas sendiri.
Secara konstruksi sosial, puisi memang wilayah yang khas secara sastrawi misalnya. Namun, setiap kita bisa menjadi wujud dari puisi itu sendiri dengan segala orientasi falsafahnya.Â
Dalam perkembangannya kemudian, medernisme puisi tampil dalam wujud yang bebas dan menggunakan daya ungkap yang ringan bervariatif. Â Ya..Ia tetap mewakili perspektif penyairnya, namun kata kata yang dipilih adalah kenyaatan hidup masyarakat secara umum. Semisal bahasa urban, konteks pendidikan dan politik kekinian.
Bentuknya bsa menjadi kritik sosial, satire atau diubah wujud ke bentuk lain seperti gambar dan video atau semacamnya.
 Emha telah memulai itu tiga dekade di belakang dengan musikalisasi puisi dan lautan jilbabnya.Â
Begitupun Chairil. Tardji. Sapardi atau Jokpin. Dan juga Malna. Serta tokoh trend setter lainnya dengan corak yang khas.
Semua itu adalah upaya mendekatkan puisi kepada audiensnya dan membuka ruang bagi suatu apresiasi. Hingga memberi perluasan kebudayaan kita.
 Tentu pengenalan terhadap puisi semakin intens dalam 20 tahun terakhir. Hari puisi dunia dan hari puisi nasional menjadi dalil untuk itu. Walau tetap menyisakan PR di pranata sosial kita.
Memang, sebagai bagian dari bentuk seni kata dalam formatnya yang khas, puisi masih berlomba dengan teknologi musik dan film/gambar yang bergerak.Â
Puisi seakan masih di ruang yang sempit. Di panggung yang kecil. Kita masih menganggap puisi sebagai jalan sunyi. Sunyi sekali.
Untuk itu, puisi yang tercipta sebaiknya juga membangun imaji indera (mata) si audiens hingga peristiwa dalam puisi itu bisa dicerna. Langsung melekat di benak penikmatnya.
Yah..walaupun tidak. Puisi tetap utuh dengan makna dan ritmenya saat kita bisa menerima sisi keindahan (nilai kebaikan) di dalamnya. Seperti saat kita melihat hamparan savana di atas bukit, tanpa mesti menyentuh dan memahami detilnya.Â
Sebab, puisi mungkin adalah keindahan itu sendiri. Kita hanya berusaha menyingkapnya dan mengambil maknanya sebisa mungkin.
Salam puitis!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H