Aku meninggalkan kota ibu. Pagi baru selesai sepi. Serpihan kenangan memancar di bawah kaki bukit di antara pohonan kelapa, pisang dan cengkeh.
Sepertinya aku hendak ke laut. Berdiri di dermaga. Mengembangkan layar. Membaca arah angin. Menghitung gerak gelombang dan rembulan.
Aku pulang menjenguk ibu. Juga ayah. Di rumah yang sudah tua. Adik adikku telah tumbuh di antara pecahan hujan dan kemarau. Semua berteduh di dalam doa dan harapan.
Aku telah melewati pasang-surut. Sebagian bunga layu di taman. Aku menyusun daun daun dan ranting ranting muda. Setiap kita akan membangun kisahnya.Â
Mimpi hanyalah batas kesadaran. Lelaki memang mesti pergi, tapi juga mesti kembali.
Kalimat terakhir seperti sayatan waktu sebelum senja yang gigil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H