Telaah :Unsur Diksi dan Peristiwa
pada "Ladang" Goenawan Mohamad
Â
Di Sebuah Ladang
Goenawan Mohamad, Puisi Kompas.2018
Malaikat yang belum bernama
menghempaskan sayapnya yang berat
ke ladang itu.
( GM memulai puisinya dengan memilih diksi yang jarang digunakan orang untuk menggambarkan peristiwa "hebat" tapi pilu, kebahagiaan paradoks, yang terjadi kemudian)
Sedetik kemudian sunyi jadi besi.
(Dalam catatan HJ. Waluyo, 1995, Â GM dikenal dengan diksinya yang kental, absurd, multitafsir, walau umumnya bergaya naratif. Kalimat: sunyi jadi besi. menggambarkan lanjutan efek mencekam/sakral dari hempasan sayap malaikat tadi. Itu bisa menjadi peristiwa baik atau buruk di ujung puisi. atau sesuai persepsi pembacanya.
Tapi dua teriak anak
menembusnya --
tujuh kitiran kertas berjatuhan dari bendul jendela,
mungkin tanda yang mereka pasang
untuk ibu yang tak pulang setahun lalu
lari dari malam yang tuli,
sunyi yang besi, hitam yang rata,
di atas dusun --
( pada bagian ini, bukan bait, kata kuncinya ada pada: dua teriak anak yang rindu sentuhan ibu, kehangatan dan kegembiraan. Yang lari dari kehidupannya yang pedih, hitam dan tanpa berita. untuk memperdalan telaah, kita bisa menelisik kapan dan bagaimana kondisi saat puisi ini dituliskan. setidaknya peristiwa di atas/yang sedang berlangsung ini sangat mengganggu pikiran penyair, GM)
Berikan kembali
kitiran kami.
Berikan kembali
kitiran kami.
( ini lanjutan harapan keriangan dan kebebasan dua anak tadi untuk menjalani hidup pada " ladang" yang asing-sunyi)
Kulihat malaikat itu menutup matanya.
Ayo, nak, teriak lagi, kataku.
Tapi mereka diam.
(penyair sendiri yang merekam kejadian itu dan memahami betul peristiwa tadi : malaikat menutup mata, sebagai tanda bahwa peristiwa itu sudah diputuskan, sudah terjadi, malaikat itu tak bisa berbuat apa apa lagi. sekaligus menunjukkan betapa berat pilihan hidup si anak yang belum mengeri apapun.)
Tak ada tampaknya yang bisa meminta malaikat itu terbang lagi.
(mengacu pada upaya membalikkan peristiwa sesuai kehendak si anak atau kehidupan normal lainnya)
Kulihat ia bertumpu pada pohon jati yang kini hangus.
Hanya bibirnya yang tebal itu bergerak.
"Namaku Nasib," (aku kira itulah yang dikatakannya)
"tapi aku tak mau kau
memanggilku."
( malaikat tadi, baik-buruk si anak tadi, ia tumpukan pada jati yang hangus: suatu keadaan sosial yang juga berat untuk melindungi si anak, atau nilai2 sosial kita yang sedemikian lapuknya)
Begitulah cara Ayahanda kita GM memahami peristiwa nasib bagi anak anak yang tanpa" ibu: entah karena dibuang ( di ladang) atau ditinggalkan pergi begitu saja. Namun, jangan selalu menjadikan nasib sebagai kambing hitam yang disalahkan. Ini sekaligus menggambarkan perjalanan spiritual Goenawan Mohamad
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI