Mohon tunggu...
Taufiq Sentana
Taufiq Sentana Mohon Tunggu... Guru - Pendidikan dan sosial budaya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Praktisi pendidikan Islam. peneliti independen studi sosial-budaya dan kreativitas.menetap di Aceh Barat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Teknik Apresiasi Puisi: Bukan Kopi yang Pahit!

16 Agustus 2021   10:23 Diperbarui: 16 Agustus 2021   10:36 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teknik Apresiasi terhadap Puisi: Bukan Kopi Yang Pahit

Puisi dan karya sastra tulis sejenisnya memiliki ruang penghayatan publik tersendiri. Masyarakat mengapresiasi puisi dengan cara yang berbeda.

 Umumnya puisi dianggap sebagai wilayah yang sangat abstrak, inilah kesan yang lazim terhadap puisi, seperti kopi yang pahit. Padahal tidak seperti itu. Puisi dapat dinikmati dengan simpel, sederhana.

Kebanyakan penyair membebaskan pembacanya saat puisi itu dinikmati. Para pelajar dan mahasiswa serta komunitas berbasis sastra memiliki forum yang lebih luas dalam meresapi makna dalam puisi.

Sudah sering kita melihat, ada potongan kalimat puisi yang digunakan sebagai pemanis undangan nikah. Ada musikalisasi, festival, dan ada puisi yang menjadi lirik lagu bahkan novel, lalu diadaptasi ke layar kaca. 

Demikianlah puisi berubah wujud  dari sekadar kata-kata "ghaib" menjadi lembaran realitas baru, walau pada mulanya puisi disepakati sebagai karya fiksi. Itu semua bagian dari mengapresiasi puisi.

Teknik Apresiasi?:

Sepertinya tidak diperlukan buku ala "How to"
untuk menikmati puisi. 

Mungkin yang paling mengemuka saat seseorang dihadapkan pada puisi adalah cita rasa pengalaman si pembaca sendiri dan faktor genikal atau keberbakatan (misal, si pembaca memang bukan tipikal linguistik atau cerdas kata) sehingga bait-bait puisi menjadi kebuntuan makna, tak dapat ia hubungkan kaitan rima antarkata atau sentuhan warna estetis dari rangkaian kalimat puitis dari penyairnya.Hal hal itu tidak pula merangsang minatnya.

Pengalaman itu selazimnya muncul dari interaksi di rumah dan sekolah. Melalui dua tempat istimewa inilah pengalaman seseorang terhadap puisi dan karya sastra lainnya atau sikap literal (budaya baca) terbangun dan kemudian terpatri sebagai kebiasaan. Bila keduanya tidak memberikan ruang yang sewajarnya maka dibutuhkan faktor lain agar ia tersentuh oleh puisi.

Kapan tersentuh oleh puisi?:

Sentuhan itu, kata sebagian orang adalah saat seseorang jatuh cinta. Kedalaman puisi akan menyentuhnya  bahkan  dengan puisi yang paling  sederhana:

"Aku adalah rinai hujan saat kita berjauhan".

Benar kiranya kata plato, seseorang mendadak penyair ketika cinta menyergapnya. Jadi, paling minimal, saat dihadapkan pada puisi, saat Anda ingin menikmati puisi,  anggaplah itu pembangkit kisah terbaik dalam hidup Anda, yang dengan puisi tadi, Anda tak perlu berbagi dunia, biarlah menyala romantisme lama itu.

Seperti sajian kopi

Sajjan secangkir kopi takkan sampai pada cita rasa bila kita tak menyeruputnya, tak meneguk, tak pula meminumnya sambil merasakan sensasi hangat dan pahit yang menyatu dengan manis, diiringi suasana pagi dibalut sinar lembut mentari.

Menikmati secangkir kopi bisa dilakukan siapa saja, bahkan sekarang banyak wanita yang gila kopi. Demikian pula puisi, ia layak dinikmati siapa saja, termasuk anak-anak (dalam syair kita bisa menanamkan nilai keberanian, kejujuran dan kreativitas).

Sekarang banyak media online yang menerbitkan puisi. Kita juga bisa langsung mengakses puisi para penyair yang kita kenal dengan beberapa sentuhan di HP. Memulai dari buku puisi yang ringan agaknya memudahkan, walau tidak semua puisi ringan tanpa makna di baliknya, seperti puisi Joko Pinurbo "Kau adalah mata, aku airmatamu" (kepada puisi)

Teknik lainnya?:

Cobalah dengan membacanya sepintas dari judulnya, atau dari bagian yang Anda suka. Lalu, rasakan pesan si penyair, apakah ia menyampaikannya langsung atau dengan kata kiasan? 

Bila itu memberatkan, nikmati saja rajutan kata, bentuk dan iramanya sambil membayangkan "apakah puisi ini layak untuk dibacakan kembali ke kekasih (istri)? atau rekat sejawat?

Dan marilah kita ingat lagi bahwa ketika puisi telah berada di hadapan Anda, ia menjadi milik Anda, demikian kata sebagian penyair. 

Nikmatilah kebebasan itu dengan mengulasnya lewat dialog bersama teman dan lewat tulisan kecil atau menjadikannya sebagai hadiah.

Akhirnya, cobalah nikmati sajian puisi orisinal penulis berikut ini seperti Anda menyeruput sajian kopi terbaik:

"Aku Ingin Menyapa Hujan"

Pagi pagi sebelum beranjak kerja
saat mentari mengintip sepi.

sore hari ketika pulang kerja
saat pengap menguap dari  ubun ubun

malam hari sebelum tubuh rebah
saat rintik rintiknya menjadi kata pujian

kapanpun saat sesak memuncak
oleh aroma ladang yang tandus

kapan saja kecuali hujan yang kumaksud itu
tak menuntunmu ke esok pagi
.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun