Sentuhan itu, kata sebagian orang adalah saat seseorang jatuh cinta. Kedalaman puisi akan menyentuhnya  bahkan  dengan puisi yang paling  sederhana:
"Aku adalah rinai hujan saat kita berjauhan".
Benar kiranya kata plato, seseorang mendadak penyair ketika cinta menyergapnya. Jadi, paling minimal, saat dihadapkan pada puisi, saat Anda ingin menikmati puisi, Â anggaplah itu pembangkit kisah terbaik dalam hidup Anda, yang dengan puisi tadi, Anda tak perlu berbagi dunia, biarlah menyala romantisme lama itu.
Seperti sajian kopi
Sajjan secangkir kopi takkan sampai pada cita rasa bila kita tak menyeruputnya, tak meneguk, tak pula meminumnya sambil merasakan sensasi hangat dan pahit yang menyatu dengan manis, diiringi suasana pagi dibalut sinar lembut mentari.
Menikmati secangkir kopi bisa dilakukan siapa saja, bahkan sekarang banyak wanita yang gila kopi. Demikian pula puisi, ia layak dinikmati siapa saja, termasuk anak-anak (dalam syair kita bisa menanamkan nilai keberanian, kejujuran dan kreativitas).
Sekarang banyak media online yang menerbitkan puisi. Kita juga bisa langsung mengakses puisi para penyair yang kita kenal dengan beberapa sentuhan di HP. Memulai dari buku puisi yang ringan agaknya memudahkan, walau tidak semua puisi ringan tanpa makna di baliknya, seperti puisi Joko Pinurbo "Kau adalah mata, aku airmatamu" (kepada puisi)
Teknik lainnya?:
Cobalah dengan membacanya sepintas dari judulnya, atau dari bagian yang Anda suka. Lalu, rasakan pesan si penyair, apakah ia menyampaikannya langsung atau dengan kata kiasan?Â
Bila itu memberatkan, nikmati saja rajutan kata, bentuk dan iramanya sambil membayangkan "apakah puisi ini layak untuk dibacakan kembali ke kekasih (istri)? atau rekat sejawat?
Dan marilah kita ingat lagi bahwa ketika puisi telah berada di hadapan Anda, ia menjadi milik Anda, demikian kata sebagian penyair.Â